Entah sudah berapa kali Randa menoleh ke belakang dimana sang kakak sudah lengkap dengan seragam sekolah tengah berdiri di pijakan ban belakang sepeda yang tengah dikayuhnya.
Kemudian bertanya lagi "Bang, Lo gak papa pergi ke sekolah? Lo takut gak masuk absen? tenang aja bang, Kan tinggal kirim surat izin lagi" Jelasnya penuh kekhawatiran. Ya walaupun dia sendiri tidak yakin apakah surat tempo hari sampai ke tangan guru atau tidak.
Rino tersenyum meski wajahnya sedikit pucat, "Abang sehat kok, Bentar lagi mau ujian kenaikan kelas, Kalau Abang sering tidak masuk absen, Takutnya ditinggal kelas" Ujar Rino menjelaskan.
Diam, Remaja sawo matang itu membelokkan sepedanya ke depan pintu gerbang sekolah Rino. Segera setelah Rino turun, Randa menyusul dan memapah kakaknya.
Yang lebih tua ingin mengutarakan protes namun Randa dengan cepat mendahului, "Gak usah protes, Kalo Abang gak mau Randa anterin lebih baik Abang pulang ke rumah!" Ketusnya mengeratkan jemarinya di pundak Rino.
Membuang nafas, Rino mengulas sebuah senyum yang membuat lesung pipinya tenggelam, "Oke, Terima kasih" Randa membalas anggukan kepala.
Tetapi langkah mereka terhenti kala Lintang secara mengejutkan berdiri bersedekap dada menghalangi jalan keduanya.
Randa, "Ngapain Lo ngehalangin jalan kita? Minggir!" Remaja itu bertambah kesal ketika Lintang tak kunjung beranjak dari sana. Pria itu malah menatap Rino dengan intens.
Rino, "Sudah Ran, Ayo lewat di sebelahnya saja" Dia menarik tangan Randa hendak pergi namun dengan sigap Lintang menahan pundaknya.
Baru saja Randa ingin angkat bicara sebelum ucapan Lintang membuat tensi darahnya naik, "Biar gue yang mapah dia ke kelas, Lo bocil mending pergi sana ke habitat asli Lo" Lintang menepis tangan Randa dari pundak Rino kemudian mengganti dengan tangannya sendiri.
Rino, "Tapi-" Ucapannya terpotong oleh Lintang.
Lintang, "Diem! Nurut sama gue!" Selanya.
Hendak mengejar pria brengsek itu tapi terpaksa diurungkan Randa saat mendengar suara bel sekolahnya berbunyi. Bolak-balik dia menatap punggung kakaknya yang semakin jauh dan juga sekolahnya, Diantara bingung satpam menegurnya.
Satpam, "Dek, Sana masuk ke sekolahmu, Nanti kamu dihukum kalo terlambat" Ujarnya.
Randa, "Awas Lo Bangsat!!" Umpatnya dan segera dia berlari terbirit-birit ke sekolahnya.
Pak Satpam menepuk dahi disertai gelengan kepala melihat kelakuan remaja sawo matang tersebut, "Bocah jaman sekarang kalau nggak ngegas ya nggak seru!" Celetuknya kemudian.
Di perjalanan menuju kelas, Mereka berdua menjadi bahan perhatian para pelajar disekitarnya. Jelas mereka seperti itu, Sebab Lintang dikenal sebagai si tukang pembully Rino di sekolah.
Pemandangan itu nyaris membuat mereka membuka mulut lebar-lebar. Meski tampan, Lintang memiliki karakter wajah yang terlihat galak. Tetapi yang dimata mereka sekarang bagaikan seorang remaja yang membantu kekasihnya berjalan dengan sikapnya yang cuek bebek.
Rino, "Aku bisa berjalan sendiri Lin" Ucapnya menatap pemuda disampingnya tersebut.
Lintang, "Mending Lo mingkem daripada gue banting ke tanah!" Geramnya. Rino kembali bisu, Bahkan menunduk dan membiarkan remaja itu memapahnya yang jelas-jelas bisa berjalan.
Semalam telinganya harus dipanasi oleh omelan dari sang bunda tercinta. Wanita itu melarang keras Rino pergi ke sekolah disebabkan kondisi kesehatannya yang belum stabil setelah 7 hari sebelumnya demam dan muntah-muntah.
Walaupun begitu, Rino tetap kekeuh memaksa ke tempatnya menuntut ilmu tersebut karena takut tertinggal pelajaran. Dan akhirnya dengan sedikit tidak ikhlas sang bunda mengizinkannya ke sekolah dengan syarat harus diantar oleh Randa.
Saat tiba di kelas Lintang segera menuntunnya duduk di kursinya. Belum selesai dengan itu, Mendadak dia ikut duduk di samping Rino, Untunglah pelajar di kelas mereka belum banyak yang datang.
Rino, "Kenapa kamu ikut duduk di sini? Mejamu kan disana" Ia menunjuk meja kedua dari barisan belakang.
Lintang, "Males gue, Mulai sekarang gue duduknya di sini" Alis Rino bertaut mendengar penuturan pemuda ini.
Rino, "Sejak kapan kita akrab?" Pertanyaan tersebut ia lontarkan kepada Lintang, terlihat remaja itu nampak kelimpungan mencari alasan.
Lintang, "Ya itu... Gue pengen aja! Apa hak Lo buat kepo? Lo juga kan gak punya temen duduk, Jadi seharusnya Lo berterima kasih sama gue" Ucapnya angkuh.
Rino, "Tapi aku lebih suka duduk sendiri Lin, Lebih baik kamu kembali ke tempat dudukmu, Aku tidak mau mendengar gosip-gosip aneh dari murid-murid di sekolah ini, Apa kamu tidak melihat pandangan yang mereka berikan untuk kita tadi?"
Lintang berkata acuh, "Gue tanya, Mereka siapa buat Lo?"
Rino, "Bukan siapa-siapa" Polosnya.
Gemas, Lintang mengusak surai Rino, Lalu mengomeli remaja itu, "Nah itu Lo tau! Jadi mulai sekarang gak usah dengerin kata-kata mereka, Lo panik kek cewek aja"
Kemudian Rino bertanya yang membuat Lintang kesulitan menjawab, "Kenapa kamu jadi baik kepadaku, Bahkan kamu tidak mengizinkanku untuk berjalan sendiri"
Mata remaja itu bergerak gelisah, Berusaha mencari jawaban yang tepat. Tidak mungkin Lintang jujur mengakui bahwa sebenarnya dia rindu dengan remaja berlesung pipi disampingnya ini.
Benar, Lintang rindu dengan Rino. 7 hari dilaluinya tanpa membully remaja itu terasa kurang. Dia pribadi juga bingung dengan rasa kekurangan ini. Hal ini bermula saat kejadian dimana ia merobek tas Rino, Dari situlah perasaan tersebut selalu hadir di hatinya tanpa diundang.
Diam-diam ia juga berusaha mendekati Rino dengan berbagai cara, Dari bertanya-tanya mengenai hal kecil dan lain sebagainya. Namun semua itu tidak membuahkan hasil sebab Rino seakan membangun tembok besar yang menghalanginya.
Lintang, "Lo kan sakit! Makanya gue baik, Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih gue buat Lo karena udah rawat luka-luka di muka gue sampe sembuh" Kilahnya.
Rino refleks mengulas senyum penuh, "Sama-sama, Lagipula itu juga salahku terbawa emosi sampai memukulmu" Ujarnya bersalah.
DEG!
Sebisa mungkin Lintang mengalihkan matanya agar tidak bersitatap dengan remaja disampingnya ini.
Lintang, "Santai aja kali, Mau gak ke kantin bareng gue, Lo belum makan kan?" Tebaknya.
Rino menggeleng, "Aku memang belum makan, Tapi aku bawa bekal dari bunda, Sayang kalau di buang. Lagipula aku tidak membawa uang saku" Ulas Rino jujur.
Pria itu terperangah mendengar ucapan Rino, "Lo beneran gak bawa duit? Pantesan gue gak pernah lihat Lo di kantin!"
Remaja tersebut mengangguk membenarkan, "Untuk apa aku jajan di sekolah kalau makanan di rumah lebih enak?"
Mendengar penjelasannya, Giliran Lintang yang mengangguk, "Bener juga kata Lo, Tapi ya bosan lah makan di rumah terus! Sekali-kali di luar juga gak papa" Tukasnya.
Rino, "Terserah kamu" Pasrahnya lantas menilik jam dinding di kelasnya, "Ini hampir jam 8, Kamu masih punya waktu satu jam lebih untuk jajan di kantin"
Mengikuti arah pandang Rino, Lintang menjawab, "Lo gak papa kan gue tinggal sendiri?" Ujarnya cemas namun jelas tidak nampak karena tertutup raut mukanya yang galak.
Rino, "Terima kasih sudah perhatian kepadaku, Tapi sudah kukatakan tadi jika aku sehat"
Lintang salah tingkah, "Si-siapa yang perhatian sama Lo! Dasar Gr!" Cibirnya.
Rino, "Kamu tahu tidak bahwa kamu dan adikku memiliki banyak kesamaan" Kata Rino tidak terduga.
Lintang, "Maksudnya adek Lo yang namanya Randu...eh, Randa! Iya?" Segera Rino membenarkan ucapannya.
Berikutnya pria itu sontak bergidik ngeri membayangkan darimananya Rino mengatakannya memiliki banyak kesamaan dengan remaja berkulit sawo matang yang hampir selalu mengumpatkan kata-kata mutiara padanya.
Lintang, "Gak usah bahas Adek brengsek Lo itu" Balasnya.
Rupanya Rino tidak menyerah, "Dia juga bilang begitu kepadaku" ungkapnya.
Refleks Lintang menatapnya penuh arti, "Jadi... Lo sering ngomong soal gue sama Adek Lo?"
Rino, "Benar, Aku mulai jujur padanya soal kamu sering membullyku di sekolah" Wajah Lintang langsung datar menatap remaja itu, Pantas saja adiknya terlihat begitu benci padanya.