Bisa-bisanya Juna secuek itu?
Apa dia beneran Juna yang baru beberapa hari kemarin membalas email gue?
Dan benarkah dia Juna yang selalu gue ingat selama ini?
Rasanya, yang gue lihat di bandara tadi adalah orang lain. Bukan seseorang yang selama ini ada diingatan gue.
Dan benarkah Dito dan Juna kakak beradik?
Hahh, terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan di dalam pikiran gue.
***
Beranjak Ara menuju sebuah ruangan di dalam kamar hotelnya, ruangan tersebut adalah kamar mandi untuk kamar yang ditempati Ara dan Dewita.
"Wit, gue pake kamar mandi duluan ya?" ucap Ara.
"Okey Ra, gue mau rebahan dulu di sini." Balas Dewita sambil menepuk-nepuk kasur berseprei putih.
Ara membungkus buku catatan yang akan dia baca, menggunakan handuk berwarna biru yang dia bawa sendiri dari apartemen. Lalu berjalan ke arah kamar mandi dan menguncinya.
Ara membolak-balikkan sebuah buku catatan mencari tulisan tentang awal mula Ara mengetahui nama teman-teman kampusnya. Dan berakhirlah pada sebuah halaman berjudul 'Maba 2013'. Ara membaca sambil mengingat tentang hal yang ia tuliskan saat itu, dan inilah kesalahan awal Ara tentang Dito.
**
Flashback
"Kamu sebelah Dewa. Siapa namanya?" ucap pak Karto menunjuk seseorang di sebelah Dewa.
"Saya Dito Prakarsa Yoga pak. Nama panggilan saya Dito," ucapnya.
**
Arjuna Prakarsa Yoga dengan Dito Prakarsa Yoga, kedua nama tersebut pasti memiliki hubungan yang saling berkaitan. Hah, seharusnya Ara bisa tahu hanya dengan nama lengkap Dito.
"Bodoh banget lu Ra." Ucap Ara, pada dirinya sendiri sambil duduk di atas closet memangku kepalanya dengan tangan kanan.
Tok... tok... tok...
"Ra, udah belum?" tanya Dewita.
"Oh, iya bentar Wit."
Ara bergegas menutup buku catatan dan menaruhnya di tempat yang tidak terjangkau oleh air. Setelah selesai dengan rutinitasnya di dalam kamar mandi, Ara melangkah keluar sambil membawa buku catatan yang telah ia sembunyikan di dalam pakaian kotornya.
"Udah ni Wit."
"Oke Ra."
"O iya, gue jalan-jalan ke luar kamar dulu ya."
"Gak papa sendirian?"
"Iya gak papa kok ,Wit."
"Yaudah kalau begitu. Tiati ya Ra!"
"Siap Wit."
Setelah Dewita memasuki kamar mandi dan Ara menyimpan buku serta merapikan baju kotornya ke dalam tas kecil khusus pakaian kotor. Ara melangkahkan kaki ke luar kamar hotel menuju cafe outdor hotel di lantai 4. Untung cafe tersebut berada di lantai yang sama dengan lantai di mana Ara akan menginap, sehingga Ara tidak perlu naik lift atau pun tangga.
Ara keluar kamar masih dengan rambut basah yang sengaja ia gerai, Ara tidak suka memakai hydryer maka dia akan sengaja mengerai rambut panjangnya yang basah agar mampu mengering secara alami.
***
"Kak, kita gak papa kan tidur sekamar bertiga?" tanya Dito.
"It's oke dek, kan ada dua bed."
"Nanti gue yang tidur bareng Dito aja kak. Kak Juna bisa tidur di bed yang satunya," ucap Dewa.
"Oke-oke. Yaudah, kakak keluar dulu ya."
"Mau ke mana kak? Sendirian gak papa?"
"Jalan aja lihat-lihat interior hotel. Gak papa dek, kakak berani kok."
"Jangan-jangan kak Juna masih takut buat masuk rumah hantu ya kak?" tanya Dewa.
"Wa," ucap Dito sambil menyengol tubuh Dewa.
"Hahaha, yaudah kakak keluar dulu ya."
"Tiati kak!" ucap Dito dan Dewa barengan.
"Jangan sebut-sebut rumah hantu lagi Wa!"
"Emang kenapa Dit? Kak Juna masih takut buat masuk?"
"Bukan takut, tapi dia suka keingetan sama kenangan yang pengen dia lupain."
"Ohh, gitu. Sorry Dit gue gak tahu."
"Yaudah gak papa. Sekarang siapa yang mau pake kamar mandi duluan nih?" tanya Dito.
"Lu duluan aja Wa, gue masih pengen rehat dulu."
***
Angin malam yang semilir di cafe outdor mengingatkan Ara akan suasana kampung halaman orang tuanya, walau tidak sedingin Bandungan tapi Jogyakarta mampu membuat ia teringat akan kenangan di Bandungan.
Ara sengaja mencari sebuah bangku yang mengarah ke pemandangan lepas kerlap-kerlip suasana Jogjakarta. Ara memesan segelas hot choco dan beberapa pisang goreng. Sepertinya makanan ini mampu menemani hati dan harinya yang kacau gara-gara sebuah nama yang selalu dia ingat setiap hari, siapa lagi kalau bukan Arjuna Prakarsa Yoga.
Ara sengaja tidak membawa ponsel atau pun buku kecil yang selalu ia bawa, Ara hanya ingin menikmati suasana ini tanpa memikirkan untuk mencatatnya. Disaat Ara telah beberapa lama terduduk sambil memejamkan mata lalu membukanya kembali, serta menghirup udara dalam-dalam lalu mengeluarkannya secara perlahan, ada sebuah suara memanggil namanya. Suara yang sangat Ara tahu, karna tadi di bandara Ara sudah pernah mendengarnya. Walau suara yang ia dengar sedikit berbeda dengan suara yang selama ini ia ingat setiap hari, tapi Ara yakin bahwa dua suara ini adalah orang yang sama.
Ara berbalik lalu memaksakan diri untuk tersenyum menyambut suara tersebut "Hmmm."
"Boleh duduk?"
"Silahkan."
"Aku gak nyangka kalau kita bakalan secepat ini ketemu di sini," ucapnya.
"Secepat ini? Apakah menurut dia, selama 4 tahun lebih ini adalah waktu yang singkat?" batin Ara.
"Iya," balas Ara singkat.
"Maaf."
"Untuk?"
"Karna aku gak menyambut baik kamu di bandara."
"It's oke Jun. Mungkin gue udah tua, jadi muka gue beda dengan waktu SMA dulu."
"Hahaha, kamu masih sama Ra. Aku hanya terlalu terkejut dengan pertemuan kita tadi."
"Selama ini ke mana aja?"
"Aku study ke Sidney Ra, Kamu kok bisa ambil jurusan arsitektur, Ra?"
"Papa kan dulu pinter gambar desain-desain rumah dan gedung Jun. Nah, dari situ gue jadi suka desain."
"Keren. O iya, kabar papa mama gimana?"
"Mereka sehat kok."
"Alhamdulillah, terus cita-cita kamu jadi penulis gimana? Masih berlaku?"
"Hey, itu rahasia dong Jun."
Entah mengapa, perbincangan diantara Ara dan Juna mengalir dengan baik, Ara yang awalnya canggung menanggapi obrolan Juna menjadi lebih santai dan mulai menjadi Ara yang biasanya.
Obrolan mereka terlihat asik sekali, hingga membuat sepasang mata menatap bertanya-tanya dengan apa yang dia lihat.
"Kak."
"Hey dek, sini!" ucap Juna, sambil mempersilahkan Dito duduk di sebelahnya.
Dito melangkahkan kaki menuju bangku yang ditunjuk oleh Juna dengan senyum tipis terpampang diwajahnya.
"Asik banget kalian ngobrolnya," ucap Dito.
"Iya Dit, kita dulu satu sekolah semasa SMA soalnya." ucap Ara.
"Benarkah kak?" tanya Dito penasaran.
"Iya dek, kita dulu satu kelas selama 3 tahun di masa SMA."
"Ohh. Pantesan kalian terlihat akrab banget," ucap Dito sedikit lega.
"O iya Ra, berarti lu tahu dong soal kak Juna?"
"Soal apaan Dit?"
"Itu Ra, soal cewwwm…" belum sempat Dito menyelesaikan kalimatnya, mulut Dito sudah di bungkam dengan telapak tangan besar Juna.
"Kenapa sih Jun? kok ditutupin gitu?"
"Gak papa Ra. Ada sesuatu di mulut Dito tadi," ucap Juna memberikan alasan.
"Iiiihh. Apaan sih kak Jun," ucap Dito kesel, sambil menarik lengan Juna agar melepas bungkamannya.
"Udah-udah, kok malah berantem sih."
"Hehehe, sorry Ra. Kita emang suka becanda gini kalau ketemu," ucap Juna.
"Yaudah yuk masuk! udah malem. Besok masih ada destinasi lokasi kan?" ucap Juna.
"Masih dong, kan kita belum ke mana-mana. Iya gak Ra?"
"Iya bener banget, masih banyak yang harus kita nikmati Jun besok."
"Kalau gitu masuk kamar yuk, istirahat biar besok bisa fresh."
"Oke deh Jun," balas Ara.
Dito hanya menggerakkan kepala tanda setuju sambil berucap "Oke."
Lalu mereka bertiga berjalan beriringan menuju kamar masing-masing untuk mengistirahatkan diri. Juna yang berada di belakang Ara, memandangi punggung Ara dengan tatapan penuh arti dengan seulas senyum dikedua sudut bibirnya.
Entah apa yang akan terjadi dan dirasakan oleh 5 pemuda ini saat berada di Jogjakarta, yang pasti ada beberapa hal yang akan dimulai di sini, di daerah istimewa Jogjakarta.
Alhamdulillah, terima kasih untuk semua yang udah support aku selama ini. Hingga aku masih bisa di sini, jangan lupa untuk selalu berbahagia dan bersyukur pastinya.
Selamat berbahagia yaaa
O iya, kalau diantara kalian berkenan send gift untuk karya aku, aku akan sangat-sangat berterima kasih. Itu salah satu kebahagiaan ku.>_<
Tapi, dalam bentuk apapun support yang kalian berikan untuk aku, aku tetap berterima kasih banget.
Sekali lagi
Selamat berbahagia...