17 Pertemuan keluarga

Ketika Cavero ingin membuat keputusan terakhirnya, suara ponsel Keenan dan kedua pria lainnya berdering. Ketiga asisten rumah tangga mendekati mereka. Harrison dan Devano masih tak berhenti dengan pertarungan mereka.

"Tuan muda Harrison, Tuan muda Devano, ada telepon dari nyonya," ujar Shana.

"Mama?" Harrison dan Devano saling melirik. Karena ibu mereka menghubungi nomor ponsel Devano, ia pun mengangkat teleponnya.

"Halo, mamaku yang cantik! Ada apa?" ucap Devano bersuara lembut. Cindy tertawa pelan mendengar panggilan itu.

"Putraku sayang, apa kamu masih di green house?"

"Iya. Apa mama akan kemari?"

"Tidak, Devano. Justru sebaliknya, kamu segera ke grand royal house, ya."

"Ke rumah papa? Untuk apa? Apa papa ingin mengundangku secara khusus atau kakak juga diundang?" tanyanya sembari menatap Harrison.

"Papa ingin kalian berdua datang. Bilang, ya sama kakakmu."

"Siap, mamaku yang cantik."

"Ya udah, see you, My son."

"Love you, Mom."

"Me too." Telepon pun terputus. Devano menoleh ke arah Harrison. Walau kesal karena seakan tak dianggap oleh ibunya, Harrison berusaha tetap tersenyum. Pria itu tampak menyedihkan.

"Apa yang dikatakan mama?"

"Kita disuruh pulang.

"Sekarang?"

"Hmm," jawabnya cuek. Ia meninggalkan Harrison sendirian.

Sementara itu, Keenan menutup ponselnya. Ia melihat Kyra sepintas. Ia tak ingin meninggalkan Kyra bersama Xyever. "Shana!" panggil Keenan.

"Iya, Tuan muda?" Shana menundukkan kepala.

"Panggilkan David kemari untuk mengantarkannya pulang."

"Baik, Tuan muda." Shana melaksanakan apa yang dikatakan Keenan.

"Kamu memperbolehkan aku pulang?"

"Iya. Kamu keberatan? Kalau kamu enggak mau, aku akan…"

"Tunggu! Siapa bilang aku tidak mau? Aku hanya kaget saja. Aku tidak menyangka bisa pulang."

"Kamu jangan senang dulu! Kamu akan tetap kembali kemari."

"Duh, iya, iya, aku tau." Kyra tak berpikir akan kembali ke green house. Selain ia merindukan kasurnya yang empuk, ia juga malas berada didekat kelima orang itu.

Keempat pria itu bersiap-siap pergi menuju grand royal house. Hanya Xyever dan ketiga asisten rumah tangga yang masih disana. Karena bosan sendirian, Xyever melakukan siaran langsung di instagramnya. Bernyanyi adalah pilihan terbaiknya.

Xyever memiliki banyak penggemar di media sosial, padahal ia bukan artis. Namun, ketampanannya menghipnotis kaum hawa seketika.

                           *******

Melva berkali-kali menatap cermin. Ia berpenampilan cantik, tak mau kalah dengan Eileen dan Cindy. Ada sedikit keriput yang tampak pada wajahnya. Ia mendengus kesal. "Aku tidak boleh membiarkan wajahku seperti ini terus-menerus. Aku enggak mau Edward berpaling dariku," gumam Melva.

Ia hanya ingin kesempurnaan pada dirinya. Selain wajah yang ia perhatikan, kuku juga tak luput dari pandangannya. Wanita itu menatap ponselnya, mungkin kalau ia pergi ke salon untuk membenahi dirinya, akan sempat. Namun, ia tak punya banyak waktu.

Ia terlalu sibuk menghabiskan waktunya di cermin, sehingga tak me-manage waktu dengan baik. Walau bukan acara resmi hanya perkumpulan antara keluarga, ia tak ingin bersantai ria. Terakhir yang ia lakukan sebelum meninggalkan kamarnya, lipstik dibuat setajam mungkin.

Ia tak mau bibirnya terlihat pucat dan kering. Karena sudah mendekati sempurna, ia pun meninggalkan kamarnya, berjalan dengan anggun. Ketika ia menuruni tangga, Edward menikmati secangkir teh dengan Cindy yang duduk disebelahnya. Wanita itu mengeram.

Namun, ia tak boleh menunjukkan kekesalan pada suaminya. Senyuman mengembang pada bibirnya yang cantik. "Sayang!" panggil Melva bernada lembut. Ia menyentuh leher Edward sambil mengecup pipinya lembut. Dia menyandarkan kepalanya pada bahu kokoh pria itu.

Cindy agak tertawa melihat penampilan Melva. Tatapannya menuju bibir Melva yang tampak tebal. Walau terlihat lebih tajam dan mempesona, tetapi kurang cocok jika tidak dipakai pada acara tertentu. Melva tak memperdulikan Cindy menertawainya.

Dia memberanikan diri mencium bibir Edward dengan rakus. Cindy mengepalkan tangan. Ia terlambat selangkah darinya. Ciuman mereka berlangsung cukup lama hingga Cindy memilih meninggalkan mereka. "Sial! Beraninya dia mengumbar kemesraan di depanku? Apa bibirku harus seseksi dia agar Edward akan melirikku?" gumam Cindy.

Beberapa menit kemudian, Edward menyudahi ciuman itu, ia menatap Melva sambil tersenyum dingin. Aura itu mirip seperti Keenan. "Lipstikmu baru?" ucap Edward. Dia memperhatikan sedetail itu. Walau ia memiliki tiga istri, ia selalu tahu perubahan yang terjadi pada mereka.

"Iya, Sayang. Gimana, cantik enggak?"

"Lumayan. Hanya saja, aku lebih suka yang sebelumnya. Warna ini terlihat agak sedikit mencolok."

"Kalau kamu tidak suka, aku bisa membuangnya dan memakai yang lama," kata Melva, bibirnya mengerucut.

"Terserah kamu saja." Edward menghabiskan tehnya. "Kenapa hingga sekarang, mereka masih belum datang? Eileen juga belum muncul juga," kata Edward

"Mungkin, mereka terlibat macet. Kalau Eileen…"

"Aku disini," sahut Eileen.

Edward takjub dengan penampilan istri keduanya. Dia berpenampilan sempurna, anggun dan tidak mencolok. Edward seperti tersihir oleh kecantikan Eileen. Ia akui, dari ketiga istrinya, hanya Eileen yang memiliki wajah yang paling sempurna. Ia tak pernah lelah memujinya dalam hati.

Melva tampak kesal suaminya memperhatikan Eileen seperti itu. Hal pertama yang ingin ia lakukan, bukan menyingkirkan Eileen, melainkan membetulkan lipstiknya yang mencolok. Ia kembali ke kamarnya. Ia menghapus lipstik, kemudian ia mengganti lipstiknya.

Dia tak main-main membuang lipstik barunya yang hanya dipakai sekali saja. "Lipstik tidak berguna! Hanya bisa menyusahkanku saja." Dia menatap kesal lipstik itu. Sepuluh menit kemudian, ia keluar dari kamarnya. Lalu, berjalan menuruni tangga. Disaat itulah ia melihat putranya, Keenan.

"Keenan!" panggil Melva, menampakkan senyuman yang memukau.

"Ma, sebenarnya ada acara apa ini? Kenapa kami semua dikumpulkan seperti ini?" tanya Keenan.

"Mama juga enggak tau. Papamu hanya bilang ingin mengumpulkan kita semua," ungkap Melva. Ia menatap agak lama. "Kenapa wajahmu agak kering? Kamu nggak pakai pelembab yang mama berikan?"

"Aku enggak suka aromanya. Aku seorang pria, bukan perempuan."

"Semua pelembab rata-rata seperti itu. Pelembab itu cocok untuk pria dan wanita. Kamu tahu, pelembab itu sangat sulit didapatkan. Kamu malah menyia-nyiakannya." Melva menggelengkan kepala.

"Mama bisa pakai pelembab itu. Pelembab itu masih utuh, hanya segelnya saja yang terbuka."

"Lihatlah, wajah Devano terlihat berseri! Kamu mau dikalahkan seperti itu?"

"Cavero dan Harrison juga enggak pakai pelembab. Wajahku juga tidak terlihat tua, kenapa harus memakainya?"

"Kalau Cavero sudah dari gen ibunya, tidak pakai pelembab enggak masalah. Kalau Harrison, jangan melihat pria menyedihkan itu."

"Masih banyak urusan yang lebih penting." Keenan meninggalkan Melva.

"Anak ini, benar-benar tidak menghargaiku," batin Melva. Kerutan pada keningnya tampak jelas kalau ia sedang kesal.

"Papa!" panggil Keenan. Ia menatap dingin sang ayah sembari memasukkan tangan pada saku celananya.

"Duduklah!"

"Ada apa papa mengumpulkan kami kemari?" tanya Harrison yang duduk terlebih dahulu ketimbang Keenan.

"Apa salahnya seorang ayah mengumpulkan istri-istri dan anak-anaknya?" kata Edward.

Nada bicaranya agak keras. Harrison menundukkan kepala sambil mengepalkan tangan. Ayahnya tidak pernah mengubah gaya bicara itu terhadapnya. Emosinya semakin meningkat ketika ayahnya tersenyum melihat Devano. Bahkan, ia memperlakukan khusus Devano berada paling dekat dengannya.

Harrison menatap Devano dengan kebencian yang semakin menguat. Tak ada yang peduli dengan dirinya. Namun, ia tak boleh tersulut emosi. Ia harus tetap tenang. Ia akan menunjukkan kalau dirinya lebih layak ketimbang anak kesayangan ayahnya itu.

Suara lembut dan seksi mengagetkan mereka sesaat. Senyuman merekah pada bibirnya. Wajahnya yang cantik membuat jutaan kaum adam tergila-gila padanya. Dia dijuluki sang ratu kecantikan sejagat raya. Siapa sebenarnya perempuan itu? Kenapa dia hadir pada pertemuan keluarga Wilson?

avataravatar
ตอนถัดไป