webnovel

Bab 1

Anelis memandangi pemandangan luar yang gelap di bawah guyuran hujan. Kilat dan petir tak lagi dihiraukannya. Bulir bening perlahan-lahan mengalir di kedua pipinya membuat bulu mata panjang nan lentiknya ikut basah.

"Apa kabar Ma? Damailah dirimu kini," gumamnya.

Annelise Gurawa perempuan berusia 25 tahun, ibunya meninggal dikala usianya hendak menginjak 14 tahun, tepat di hari ulang tahunnya. Indra Gurawa ayah Anelis menikah lagi tepat di hari ulang tahun Anelis yang ke 16 tahun. Dan sejak itu dia sangat membenci hari ulang tahunnya, ia menganggap tanggal dan bulan kelahirannya itu sebagai hari sial sekaligus hari yang tercipta untuk menyakitinya.

"Hujan, apakah kau diciptakan untuk mewakili perasaanku? Kalau iya, katakan padaku bisakah pelangi benar-benar hadir setelah kau pergi?" Lagi-lagi Anelis bergumam.

Tok! Tok! Tok!

Seseorang mengetuk pintu kamarnya.

"Iya, masuklah!" teriak Anelis yang enggan bangkit dari duduknya.

Ceklek!

Bik Titi pun masuk, wanita paruh baya yang selalu mengenakan kebaya lama sebagai ciri khasnya, ART yang sudah bekerja cukup lama di rumah Anelis.

"Non, kenapa?" tanya bik Titi dengan wajah polos.

Dengan segera Anelis menghapus air matanya, meskipun ia tahu yang dilakukannya itu sia-sia karena kantung matanya semakin membesar dan kontras.

"Bik Titi, ada apa Bik?" tanya Anelis sambil melemparkan senyum manisnya.

Bik Titi menatap sendu ke arah Anelis. Dia tahu betul bahwa majikan kecilnya itu sedang bersedih, lebih tepatnya selalu bersedih. Bik Titi pun berjalan hingga bisa menjangkau tubuh Anelis, ia mengusap rabut panjang yang lurus dan bergelombang di bagian bawah rambut milik Anelis.

"Kalau ada masalah cerita dong Non. Bibik siap melakukan apapun untuk Nona," ujar bik Titi.

Anelis tersenyum, baginya di dunia ini hanya ada tiga orang yang peduli padanya yaitu bik Titi, pak Atim supir pribadi dan Tera Alina sahabatnya.

"Bik, saya enggak apa-apa kok. Biasa lagi kangen sama mama saja," jawab Anelis menatap lekat ke wajah bik Titi.

"Non, kalau almarhum nyonya lihat Nona begini terus pasti dia ikut sedih. Nona pasti enggak mau 'kan kalau nyonya sedih juga?" tanya bik Titi.

Anelis menggelengkan kepalanya dengan pelan lalu menenggelamkan kepalanya ke dalam pelukan bik Titi.

"Makanya jangan sedih lagi ya, Nona cantik," ujar bik Titi sambil mengusap-usap lembut kepala Anelis.

"Oh ya, sebenarnya bik Titi kesini mau ngapain?" tanya Anelis sambil menjauhkan kepalanya dari tubuh bik Titi.

"Aduh lupa lagi. Anu Non, di depan ada non Tera. Katanya mau ketemu Nona," jawab bik Titi.

"Ya ampun Bik, kenapa enggak bilang dari tadi?" Dengan segera Anelis bangkit dari duduknya berjalan keluar dari kamar hendak menghampiri sahabatnya yang entah bagaimana ekspresinya nanti.

Anelis berjalan menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Perlahan-lahan ia pun berhasil menangkap wajah Tera, perempuan seusianya yang memiliki rambut keriting namun terlihat menawan jika dipadukan dengan wajahnya yang manis.

"Setengah jam lewat sepuluh detik, bagus Lis. Gue balik ya," ujar Tera hendak merangkul tasnya.

Dengan napas tersenggal-senggal Anelis berusaha mencegah sahabatnya yang terlihat kesal itu.

"Tadi bik Titi kelupaan bilang kalau kamu datang. Lagipula kenapa enggak langsung naik saja?" Menjatuhkan tubuhnya ke sofa panjang yang berwarna maroon.

"Pinggang gue sakit Non. Namanya karyawati SPG yang bolak-balik pakai high heels seluruh otot bawah habis semuanya tahu. Ditambah lagi dengan anak tangga itu, dramatis banget hidup gua Lis." Menunjuk ke arah anak tangga yang Anelis lewati tadi.

"Iya-iya maaf. Udahan dong marahnya. Jelek tahu kalau kamu ngambek begitu," bujuk Anelis sambil tersenyum senang.

Tera menghembuskan napasnya, ia pun mengeluarkan sebuah kantong kresek berukuran sedang dari dalam tasnya. Tampaklah sebuah kotak mini yang berlapis bungkusan kado. Lalu ia berikan pada Anelis.

"Apa ini?" tanya Anelis menatap bingung pada kotak yang ditangannya.

"Ya, dibukalah Non. Jangan mengoceh terus tahunya," jawab Tera sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Parfume?" Anelis memelotot kaget melihat parfume yang sedari dulu ia sukai, parfume yang memiliki kenangan bersama seseorang. Seseorang yang sudah menghilang tanpa jejak. Seseorang yang sangat berarti bagi Anelis.

"Yoi! Hebat 'kan! Gue dapetin itu parfume dari hasil keringat gue sendiri tahu," ujar Tera sambil melambungkan tawany heboh.

"Tapi 'kan ini mahal banget. Enggak mau ah!" Meletakkan kotak mini tersebut di atas meja.

Tera mengerutkan dahinya, tatapannya yang mulai tajam.

"Enam ratus ribu," ujar Tera.

"Apa?" Mata Anelis membulat kaget.

"Biasa aja kali, kayak enggak pernah liat uang segitu banyaknya. Padahal om Indra kayanya minta ampun. Kalau uang segitu aja dianggap seupil doang," cibir Tera.

"Tapi, Ra. Kamu 'kan masih-"

"Eit gue enggak butuh penolakan. Sebentar lagi hari ulang tahun lo. Kayaknya gue enggak bisa datang. Bos killer menyuruh kami semua lembur karena akan ada tamu penting. Ah kesal gue kalau ingat wajahnya." Mengunyah permen karet dengan tempo cepat.

"Ulang tahun ya? Hahaha apa aku berhak punya hari istimewa itu. Tidak Ra, itu hanyalah kesialan yang tidak akan pernah berakhir." Tersenyum tipis.

"Lis, dikehidupan ini. Enggak ada yang namanya hari sial. Jangan pernah anggap hari seperti itu. Ingat Lis, masih ada gue yang selalu menjadi orang terdepan jika lo butuh. Jadi please! Hargai hidup lo, oke!" Berjalan mendekati Anelis yang menunduk sedih.

"Sudah hampir sore dan hujan juga sudah mulai reda. Gue cabut dulu ya, takut hujannya balik lagi. Gak bawa mantel soalnya," lanjut Tera lagi.

"Iya deh, kamu hati-hati ya. Jangan ngebut! Ingat keselamatan itu perlu," ujar Anelis.

Tera dan Anelis pun berjalan hendak keluar dari rumah. Dengan berat hati Anelis melepaskan tangannya dari genggaman sahabatnya itu.

"Bye." Melambai ke arah Anelis yang masih tersenyum.

Tera pun berlalu pergi.

Kembali ke kehidupan semula, batin Anelis lalu menghembuskan napas pelan.

***

Malam pun tiba, seperti biasa makan malam selalu dilewati dengan hening. Santi selaku ibu sambung Anelis, orang yang tidak suka bergurau atau bercengkrama di atas meja makan tersebut.

Santi memiliki seorang putri yang bernama Erika Gurawa. Dia memakai nama akhiran yang sama dengan Anelis meskipun dia bukan putri kandung ayahnya. Erika sosok yang sangat berbeda dengan Anelis. Dia memiliki tabiat yang terbilang buruk seperti suka berfoya-foya dan main ke club malam. Dan satu hal lagi yang semakin membuatnya terlihat semakin buruk ia sangat iri dengan apapun yang berkaitan dengan Anelis.

Dibandingkan dengan Erika, Anelis jauh lebih cantik. Kulitnya halus dan wajahnya merona persis seperti Misil Agatha almarhum ibu Anelis.

"Ma, besok 'kan hari ulang tahun ku. Bisa tidak rayakan di rumah saja," rengek Erika sambil memasang mata melirik ke arah Anelis.

"Di rumah? Kenapa harus di rumah. Sewa gedung saja. Ingat papamu lagi tidak sehat sekarang," jawab Santi sambil mengusap bibirnya dengan tisu.

"Tapi pasti mahal banget, Ma."

"Tidak peduli berapa. Yang penting jangan ganggu istirahat papamu."

Erika menyunggingkan senyumnya, merasa menang dari Anelis yang sama sekali tidak membahas hari ulang tahunnya sendiri. Ya, Erika dan Anelis memiliki waktu ulang tahun selisih dua hari. Dari segi usia, Anelis dua tahun lebih tua dari Erika.

"Nona sudah selesai?" tanya bik Titi.

"Iya Bik, maaf sudah menunggu lama," jawab Anelis, lalu dibalas senyum oleh bik Titi.

"Saya undur diri dulu Ma," ujar Anelis, lalu bangkit dari duduknya.

"Tunggu sebentar. Anelis temui saya di balkon, ada yang perlu saya beritahu kepadamu. Ini mengenai papamu." Santi terlebih dahulu bangkit dan hendak berjalan menuju balkon lalu diikuti oleh Anelis dari belakang.

***

Santi menyeruput teh-nya. Di hadapannya telah duduk sosok Anelis yang sedang menatapnya sambil bertanya-tanya. Apa tujuan Santi memanggilnya?

"Anelis, kamu sudah tumbuh dewasa. Masalah ulang tahun, kamu mengertilah keuangan kita sedang tidak stabil jadi mengalah pada adikmu, Erika," ujar Santi.

"Tidak usah khawatir Ma. Aku juga tidak pernah tertarik pada pesta ulang tahun," jawab Anelis, karena acara ulang tahunnya tidak pernah ada semenjak Santi dan Erika masuk ke lingkup keluarganya. Jadi, tidak akan pernah ada yang namanya acara ulang tahun di hidup Anelis.

"Saya sedih Lis, papamu semakin hari penyakitnya semakin parah. Siapa yang akan mengelola perusahaan. Saya pernah menyarankan agar kamu yang diangkat menjadi pemimpin disana tapi papamu menyangkal karena kamu tidak tahu apa-apa tentang perusahaan jadi mau tidak mau saya yang harus turun tangan sendiri," lanjut Santi.

"Mama pantas kok jadi pemimpin perusahaan. Tegas dan juga handal sedangkan saya kuliah pun putus di pertengahan jalan jadi wajar saja kalau saya diragukan oleh papa." Jawaban Anelis membuat senyum Santi mengembang bangga.

"Terima kasih pujiannya Lis, kamu memang anak yang penurut. Saya bangga punya putri seperti kamu," puji Santi.

"Kalau tidak ada keperluan lain, saya pamit undur dulu Ma. Selamat malam," ujar Anelis, bangkit dari duduknya lalu berjalan ke dalam rumah.

Maaf Anelis, kamu memang anak baik tapi tetap saja kamu ancaman untuk hidup Erika jadi menyingkirkanmu secara perlahan adalah cara terbaik. Batin Santi sambil tersenyum sinis.

BERSAMBUNG...

Hai semua! Perkenalkan namaku Diana Anggraini

Penulis recehan yang memiliki impian tinggi sebagai penulis sungguhan.

Mohon dukungannya ya...

Apakah kamu menyukainya?

Tambahkan ke koleksi!

Adakah pemikiran tentang kisah saya?

Tinggalkan komentar dan saya akan membaca dengan serius.

Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!

Diana22creators' thoughts
ตอนถัดไป