webnovel

Bab 2

Siang hari begitu terik dan cuaca panas menyengat kulitnya begitu dia keluar dari tempat kos. Olivia menyeret kopernya menuju ke jalan raya di mana dia dapat dengan mudah mendapatkan angkutan umum.

Dikarenakan uang yang ia miliki sisa beberapa ratus ribu saja, dia harus berusaha lebih hemat lagi.

Tidak lagi punya tempat tinggal, Olivia berencana ingin pergi ke rumah sakit mengunjungi sang ayah, setelah itu dia akan memikirkan rencana lanjutan.

Rumah sakit tempat ayahnya di rawat berada di pinggiran pusat kota. Membutuhkan waktu setengah jam dari tempat tinggalnya menggunakan angkutan umum untuk bisa sampai ke sana.

Ketika Olivia tiba di rumah sakit Husada Care Center, ia berpapasan dengan salah seorang perawat yang dikenalnya.

"Suster Iffah." panggil Olivia dengan wajah tersenyum. Di kalangan para perawat, Olivia dikenal dengan sifat ramah serta baiknya.

Meskipun ada juga orang-orang yang memandangnya penuh hinaan dikarenakan gadis itu yang memiliki hutang pada pihak rumah sakit. Tak tanggung-tanggung, puluhan juta masih menjadi tanggungan Olivia atas perawatan sang ayah selama di rawat di rumah sakit tersebut.

Suster Iffah dengan setelan perawat khasnya kemudian berbalik mencari asal keberadaan suara yang baru saja memanggil. Ketika dia melihat bahwa Olivia lah yang memanggilnya, senyum lembut turut terbit di wajahnya.

"Liv, tumben sekali kau sudah datang." sambutnya sama ramahnya.

Seraya mengangkat kopernya, Olivia berjalan mendekat. "Aku ingin melihat ayah sebentar. Apa dokter Ivan ada di ruangannya?"

"Dokter Ivan?" ulang Suster Iffah seraya melihat jam di pergelangan tangannya. "Sepertinya dokter Ivan belum tiba." ucapnya memberitahu.

"Kalau begitu aku akan menunggu sampai beliau datang."

"Apakah ada hal penting yang perlu dibicarakan?" tanya Suster itu lagi pada Olivia. Bukan maksudnya untuk kepo pada urusan orang lain. Hanya saja karena betapa dekatnya mereka belakangan ini, jadi mereka berbincang layaknya teman yang sudah akrab lama. Olivia juga tidak keberatan dengan keingintahuan pihak lain terhadapnya.

"Masalah biaya obat untuk minggu ini. Ada yang harus aku diskusikan dengan beliau." ungkap Olivia dengan nada lemah.

Melihat bagaimana murungnya wajah Olivia yang tiba-tiba itu, Suster Iffah tampaknya bisa menebak sesuatu. "Ya Tuhan, Liv. Apa kau baik-baik saja?"

Barulah dia mengerti mengapa gadis cantik ini membawa koper ke rumah sakit. Karena sepertinya keadaan Olivia sedang tidak baik-baik saja. Terakhir kali mereka bertemu dan saling berbincang, Olivia memang menceritakan padanya tentang keterlambatan membayar uang sewa itu lagi. Pada saat itu, ketika dia bertanya dan menawarkan bantuan, Olivia menolak dengan halus dan menyatakan jika biaya uang sewa kosnya tidak terlalu berat dipikirkan.

Namun pada saat ini, dengan cara gadis itu membawa barang-barangnya, serta menunjukkan wajah sedih seperti itu, sepertinya apa yang direncanakan oleh Olivia tidak berjalan lancar.

"A-Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara serak akibat menahan tangis.

"Sayangnya, aku tidak bisa berlama-lama disini. Kalau kau bersedia menunggu, aku akan menghampirimu nanti setelah aku selesai dengan pekerjaanku. Bukankah kau akan menunggu dokter Ivan datang juga? Sambil menunggu dokter Ivan tiba, kau boleh pergi ke kamar ramat ayahmu." ucapnya panjang lebar. Karena ini masih waktu jam kerjanya, dia tidak bisa lama-lama menemani Olivia apalagi mendengarkan keluh kesah gadis itu seperti biasanya.

Olivia mengangguk mengerti. "Terima kasih." ujarnya merasa bersalah karena lagi-lagi harus mengganggu suster Iffah.

Setelah kepergian wanita dewasa itu, Olivia pergi ke ruang rawat ayahnya yang berada di lantai dua rumah sakit swasta tersebut. Pada saat dia tiba di sana, hanya ada dua tiga orang yang sedang asyik mengobrol dan diketahui jika orang-orang itu merupakan keluarga pasien lainnya seperti halnya Olivia.

Kedatangan Olivia saat itu menyebabkan orang-orang yang tadinya sedang mengobrol kemudian berpaling ke arah gadis tersebut. Saat mengetahui bahwa Olivia yang datang, orang-orang itu hanya menyapa singkat lalu mengabaikan keberadaan dari Olivia.

Kenyataannya sikap seperti ini sudah bukan hal baru lagi bagi Olivia. Karena memang semenjak keributan yang dia lakukan kali itu mengakibatkan sosoknya cukup terkenal di rawat inap lantai dua tersebut. Tentu saja, meskipun keberadaannya di pandang remeh oleh orang lain gadis itu memasang wajah acuh tak acuh.

Sebelum Olivia duduk, ia menarik kain kelambu agar menutupi keberadaannya dengan sang ayah dari di intip oleh orang lain. Beruntung brankar sang ayah berada di paling ujung dekat jendela sehingga satu-satunya penghalang dari empat brankar di ruangan itu dapat ditutupi dengan kelambu panjang yang melingkar.

"Ayah, aku datang." Olivia meraih tangan pria paruh baya yang terbaring di atas ranjang. Raut wajahnya yang tadinya tidak menampilkan ekspresi apa-apa kini berubah diliputi kesedihan dan kemurungan.

Satu menit, dua menit, beberapa menit kemudian menatap wajah damai ayahnya, Olivia yang sudah tidak tahan akan rasa sakit dan perih di dadanya mulai menyembunyikan wajahnya di telapak tangan sang ayah. Tetes demi tetes air mata berjatuhan di telapak tangan pria paruh baya itu dan isakan tertahan dari gadis tersebut teredam rapat.

Hanya di saat-saat seperti ini Olivia dapat dengan leluasa menumpahkan segala beban yang memberati pundak rapuhnya, memberati kehidupan yang dijalaninya. Seandainya ayahnya sehat-sehat saja dan membuka maka kini, pastilah badan kecilnya di raup dalam pelukan hangat pria itu.

Namun sayangnya, takdir buruk menimpa keluarga mereka, menyebabkan kemalangan demi kemalangan silih berganti datang.

Tak cukup dengan insiden sakit sang ayah, kedatangan seorang pria berkuasa di dalam hidup Olivia membuat gadis itu semakin sulit menjalani kehidupan normalnya.

"Apa yang harus aku lakukan Ayah? Aku takut, takut sekali." bisiknya pelan di antara tangis derasnya. Sepasang mata almond gadis itu berubah bengkak kemerahan. Semakin membuat wajah kecilnya yang cantik dan menawan menjadi layu kehilangan rona indahnya.

Ini masih seminggu, batinnya menghembuskan napas berat. Dan pria itu sukses memporak-porandakan hidupnya menjadi seperti ini. Bukan saja dia kehilangan tempat tinggalnya, ia juga kehilangan satu-satunya pekerjaan yang menjadi mata pencahariannya selama ini. Dan itu dikarenakan pria arogan yang dia temui.

Seandainya aku tidak menyelamatkannya ... seandainya aku tidak menarik minat pria tak waras itu, aku tidak akan susah seperti ini.

Namun semuanya sudah terlanjur terjadi. Tak peduli seberapa menyesal dirinya akan kejadian waktu itu, ia tidak dapat memutar waktu demi menghindari bertemu dengan pria yang menjadi kesialannya.

Selagi Olivia meratap pilu di dekat ayahnya, seorang pria mengenakan jas dokter datang ke kamar rawat inap tersebut.

"Dokter Ivan..."

Seketika itu Olivia yang sedang menangis langsung menegakkan badannya, lalu dengan terburu-buru menghapus air mata dari pipinya. Seolah semua kesedihan dan ratapan tadi tidak pernah terjadi, gadis itu mulai berpura-pura bahwa tidak ada yang salah terjadi padanya.