webnovel

INAH DAN DITO

"Indy! Indy!"

Degh!

"Mas, kamu kenapa? Hei,"

Ira spontan bangun tatkala suaminya meneriakkan kata "Indy." Ia mengguncang bahu pria berkulit gelap tersebut dengan harapan suaminya akan tenang.

"Indy!"

"Mas, bangun!" titah Ira lebih keras.

Setelah menunggu selama beberapa waktu, akhirnya wanita berambut sepinggang itu kembali terlelap saat suaminya tak lagi bersuara. Aneh sekali. Lima tahun berumah tangga, baru kali ini Ira mendapati lelaki itu mengigau tidak jelas. Membuat tanda tanya bermunculan di benak Ira.

Keesokan harinya saat mereka sarapan bersama.

"Mas Dito, siapa Indy?"

Ting…

Sendok yang berada di tangan suami Ira seketika jatuh dan mendarat di atas piring. Rautnya tegang dan memerah. Sementara Ira menanti jawaban dari sang suami.

"Kenapa kamu bisa nanya gitu?"

Ira meluruskan badan seraya mengenduskan napas panjang. Laki-laki bernama Dito itu tak langsung berterus terang.

"Tadi malam Mas ngingau dan sebut-sebut nama Indy," balasnya.

"Oh, itu." Dito tertawa. "Tadi malam Mas mimpi ketemu anak kecil namanya Indy," sambungnya.

Ira memicingkan mata penuh selidik. Apakah suaminya sedang berbohong?

"Jangan khawatir, Ira. Mana mungkin suamimu ini berbuat yang macam-macam," ujar Dito saat menyaksikan mimik aneh istrinya.

Ira tak ingin dadanya semakin sesak karena terbebani oleh hal-hal negatif. Oleh karena itu, dia mencoba mengabaikan kejadian tadi malam. Ira meyakini perkataan Dito bahwa dia hanya bermimpi.

Ira mengantarkan Dito ke beranda rumah setelah sarapan pagi. Tak lupa ia membantu merapikan kemeja suaminya.

"Hati-hati ya, Sayang," ucap Ira lalu mendekap tubuh Dito.

"Kamu juga. Kabari Mas kalau ada apa-apa," balas pria itu dan membiarkan Ira bersandar di tubuhnya selama beberapa saat.

Ira membiarkan punggung Dito menghilang. Setelahnya, gegas ia menuju kamar tidur.

Ira merapikan ruangan berdiameter 7*6 tersebut. Saat Ira membersihkan kolong ranjang, tiba-tiba sepasang matanya menangkap selembar kertas yang tercecer. Ira meraih benda berkelir putih itu dan mendekatkannya pada mata.

"Apa ini?" gumamnya dalam hati.

Lamat-lamat Ira membidik kertas kecil itu. Betapa terperanjatnya ia saat mendapati list belanjaan barang-barang wanita di sana.

"Baju, tas, sepatu, kosmetik. Apa-apaan ini?" cercah Ira lalu membuang muka ke jendela.

Pikirannya sontak disambangi oleh hal-hal aneh. Belakangan ini dia belum ada ke mall untuk berbelanja. Lalu, struk itu punya siapa? Ira menduga bahwa suaminya telah membelikan barang-barang itu pada perempuan lain.

"Pasti Mas Dito lupa membuang struk ini," geming Ira.

Ia pun mengurungkan niat untuk membereskan kamar. Ira langsung tancap gas menuju café milik suaminya. Tak lupa struk belanja itu ia sertakan di dalam dompet. Ira tak sabar menanti jawaban Dito.

***

"Di mana Pak Dito?" tanya Ira pada seorang karyawan.

Saat ini ia telah menginjakkan kaki di café milik suaminya. Sepasang tangan Ira terkepal. Ia belum pernah mendapati peristiwa seperti ini sebelumnya.

"Di ruangannya, Bu," balas sosok yang ditanya.

Tanpa basa basi, Ira langsung menuju ruangan pribadi Dito. Saat melintasi lorong menuju lokasi tersebut, Ira berpapasan dengan seorang pekerja café. Wanita itu tertunduk melihat Ira tanpa menyapanya. Hanya ada satu tempat di koridor ini, yakni ruangan Dito. Mana mungkin perempuan itu berasal dari ruangan Dito, pikir Ira.

BRAK!!!

"Ira?" Dito terkejut dan sontak berdiri.

Buru-buru ia membenakan kancing kemeja yang terlepas, lalu menghampiri istrinya.

"Kenapa Mas buka baju di tempat sedingin ini?" tanya Ira seraya membidik AC yang tergantung di dinding.

"Berbeda dengan Mas Ira," balas Dito datar. "Ada apa ke sini?" tanyanya.

Gegas Ira meraih struk belanja di dalam slinbagnya dan mendekatkan kertas itu ke wajah Dito.

Glek!

Dito meneguk saliva dengan sulit. Sepasang matanya membola.

"Dari mana kamu dapat ini?" tanya Dito penuh selidik.

"Di kolong ranjang. Kamu habis buang-buang duit untuk perempuan lain ya, Mas?"

Ira tak kuasa menahan rasa penasaran serta emosi di dalam dada. Ia tak ingin berbasa-basi dengan suaminya.

"Eh, sembarangan kamu, ya!" bantah Dito tidak terima.

"Jadi, kenapa benda ini bisa berada di kamar kita? Belakangan ini aku gak ada belanja, Mas,"

"Kamu jangan suuzon dulu, Ira…" Dito menarik napas dalam. "… Ini punya rekan bisnis Mas. Kemarin mobilnya mogok dan dia numpang sama Mas sekaligus nitipin barang-barang dia. Gak tahu deh kalau struk ini ketinggalan,"

Kedua mata Ira menyipit. Ia melipat kedua tangan di dada. Apakah benar yang suaminya katakan?

"Gak baik fitnah suami. Mas sudah capek-capek kerja, kok kamu mikirnya macem-macem." Dengan lembut, Dito mengecup dahi Ira.

Ira tak berkutik. Tak mudah baginya untuk percaya dengan Dito begitu saja. Namun di sisi lain, Ira memang tidak memiliki bukti kuat untuk membantah ucapan Dito. Akhirnya, Ira pun ngacir tanpa mengatakan apa-apa.

Bugh!

Suara pintu terdengar saat Inah melangkah keluar.

Fyuh…

Dito mengenduskan napasnya berulang kali. Ia menyandarkan tubuh ke kursi kebesarannya guna menetralkan deguban jantung.

Sementara itu, Ira terus saja memikirkan ucapan suaminya. Dia begitu khawatir kalau rumah tangganya disambangi oleh orang ketiga. Terlebih hingga saat ini Ira belum mampu memberi Dito keturunan. Jangan sampai suaminya berpaling karena hal itu. Ira tak ingin jadi janda.

"Selama ini Mas Dito sudah begitu baik. Dia gak pernah mengeluhkan kekuranganku. Kayaknya gak mungkin deh, kalau Mas Dito selingkuh. Mungkin akunya aja yang terlalu sensitif." Ira berdiskusi dengan dirinya sendiri.

"Lagian kalau Mas Dito selingkuh, pasti sikapnya berubah. Sampai sekarang dia masih memperlakukan aku seperti yang dulu kok. Iya, ini cuma ketakutanku aja. Mustahil Mas Dito selingkuh. Dia kan sayang sekali sama aku," ujarnya lagi.

Akhirnya Ira tak mau ambil pusing. Cepat-cepat ia pulang ke rumah dan memasak ayam mentega untuk menu makan malam sang suami. Anggaplah Ira sedang meminta maaf pada Dito atas tuduhannya tadi.

***

"Enak sekali masakan kamu, Ira," ujar Dito. Keduanya tengah dinner bersama. Ayam mentega memang menjadi makanan favorit bagi Dito.

Ira tersenyum, lalu mengumpulkan piring dan gelas kotor untuk dibawa ke wastafle. Ira memilih untuk bekerja seorang diri dari pada memiliki asisten rumah tangga. Wanita bersurai panjang itu tidak mudah percaya pada orang asing.

"Sini, Mas. Aku bukain bajunya," ujar Ira setelah meja makan kembali kosong.

Merawat kebersihan serta pakaian Dito memang menjadi kewajibannya sejak awal menikah. Namun, alangkah terkejutnya Ira saat mendapati sehelai rambut di bahu suaminya.

"Rambut siapa ini, Mas?" Mata Ira melotot.

Dito spontan memejamkan mata. Ia juga membuang rambut yang melekat di kemejanya.

"Tadi pagi kan kamu peluk Mas. Ya, ini rambut kamu," balas Dito setenang mungkin.

Ira langsung mesem-mesem malu mendengar penuturan Dito. Entah kenapa semenjak kejadian tadi malam, ia kerap diliputi perasaan was-was.

"Maaf, Mas. Aku kira kamu habis ngapa-ngapain sama wanita lain," balas Ira lirih.

***

Bersambung

ตอนถัดไป