webnovel

I Love You, Kak Laras!

"Kakak mau bilang sesuatu," ujar Andra dengan nada bertanya. "Sesuatu?" tanya Laras, mengulang kata belakang yang Andra ucapkan. "Bener, 'kan?" Andra berhore-ria tidak jelas. Gadis berponi itu menggeleng dan memegang kepala. Ia mulai takut kalau tahun terakhirnya di masa SMA akan berakhir nahas, karena kehadiran sosok Andra yang selalu saja mengikutinya. Semenjak awal bertemu ketika masa orientasi, Andra tak henti-henti mendatangi Laras. Sekalipun datang hanya untuk menyapa tanpa menyampaikan hal yang penting, Andra akan tetap melakukannya. Hal itu membuat si gadis berponi merasa jengah dan kesal, rasanya ia ingin pergi yang jauh ke tempat di mana tidak ada seorang Andra. Padahal gadis itu terus menolak, tapi anak laki-laki berkulit putih itu terus saja mengejarnya. "Andra, aku kan udah bilang kalau kamu jangan gini terus," ucap Laras lirih nan hati-hati. "Gini gimana?" Andra tampak tak mengerti. Laras menghela napas panjang dan memejamkan mata sesaat. "Kita itu nggak seumur, Ndra. Harusnya kamu juga tau." "Tapi aku mau seumur hidup sama Kak Laras," sahut Andra dengan cepat. Bagaimana tanggapan Laras tentang hal tersebut? Langsung saja ikuti kisahnya di "I Love You, Kak Laras!" karya Author Ampas. Created by: Ampass_Kopi23 Jatim, Jum'at, 20 Agustus 2021

Ampass_Kopi23 · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
195 Chs

Ketua Kelas

Bima langsung menuju ke kelasnya, berjalan ke belakang kelas dan membuka loker Laras yang kebetulan tak dikunci. Ia mengambil seragam gadis berponi itu dan beranjak keluar kelas menuju UKS.

Dalam perjalanannya ia sempat membuka ponsel, terdapat pesan dari Andra yang masuk secara berkala.

Kera:

Bang, nitip minuman dong, kasih kak Laras. Apa pun yang dia suka, ntar duitnya gua ganti

Kera:

Ya? Ntar gua ganti, sumpah!

Kera:

Iya pokoknya, nggak boleh enggak!

Kera:

Nggak usah pelit, demi alex ntar gua ganti di rumah!

Kembali dimasukkannya ponsel ke dalam saku celana, dan Bima menghela napas pelan. Dalam hati ia ingin membunuh Andra dan memotong satu persatu bagian tubuhnya, tapi dalam hatinya yang terdalam ia bersumpah akan selalu menjaga Andra dan sabar akan kelakuan nakal adiknya.

Setelah mengambil seragam dari loker, Bima berjalan keluar, menuju ruang kesehatan. Ditentengnya seragam Laras di tangan kanannya dan ia berjalan seperti semestinya. Melewati kelas-kelas 12 yang berada di lantai bawah, juga melewati toilet siswa.

"Bima!" panggil seorang gadis dari balik pintu toilet yang Bima lewati.

Anak laki-laki berkulit sawo matang itu menoleh, dan mendapati kepala Laras yang tengah mengintip dari balik pintu toilet. Tanpa berujar dan tetap dengan wajah datarnya, Bima menuju ke arah Laras berada.

"Kok, bisa jalan? Katanya kaki lo keseleo?" tanya Bima, setelah sampai di hadapan Laras.

Laras cengengesan dan menunjukkan jajaran giginya yang rapi. "Loncat-loncat pake kaki kiri, soalnya yang kanan masih sakit," jawabnya.

Bima hanya mengangguk. "Nih." Disodorkannya seragam Laras.

"Makasih, ya." Laras menerimanya dengan tersenyum.

"Abis ini ke kelas aja, kali aja takut sendirian di UKS. Ntar gue samperin ke kelas, gue mau ke kantin dulu," ujar Bima panjang lebar.

"Dih." Laras tersenyum jahil. "Tumben banget kamu ngomong panjang, mau ngapain ke kantin, hayo?"

"Ada urusan bentar," jawab Bima tak acuh.

"Kan, masih jam olah raga."

"Bentar doang."

"Jangan bolos, dih!"

"Enggak. Lo cepetan ganti, deh. Biar nggak masuk angin." Bima mendorong bahu Laras pelan, agar gadis itu berhenti mengajaknya berbincang.

"Iya, iya." Laras berbalik dan menutup pintu toilet, lantas masuk dan mencari bilik kosong untuk berganti baju.

***

Andra menyenderkan kepalanya pada lipatan tangan kiri di atas meja. Ponselnya berdiri miring mengikuti kepalanya. Dilihat lagi layar pipih tersebut, dan tak kunjung mendapat balasan pesan dari Bima. Andra pun menghela napas panjang dan kembali duduk dengan benar.

Kelas 10-1 tampak riuh dan gaduh. Para siswanya tengah ribut oleh pemilihan ketua kelas tahun pertama mereka SMA. Beberapa siswa yang duduk di bangku belakang hanya diam, berharap tak disadari keberadaannya agar tak dijadikan pengurus kelas. Beberapa yang lain sibuk bermain ponsel, dan anak-anak yang duduk di bangku depan lah yang paling aktif.

Sementara Andra sendiri berada di baris kedua dan duduk dipojok sebelah tembok. Pintu kelas berada di ujung, tepi bangku para anak-anak yang tengah ribut akan kepengurusan kelas. Mereka sibuk bertanya siapa yang mau mencalonkan diri sebagai ketua dan wakilnya, sementara tidak ada satu pun di antara mereka yang mau mencalonkan diri sendiri.

"Hobi banget nyusahin diri sendiri," gumam seorang gadis berambut pendek di bangku depan Andra.

Andra mendongak dan membelalakkan mata. Ia kontan duduk tegak dan menarik pundak gadis yang duduk di depannya.

"Kak Laras?!" panggilnya seraya menolehkan paksa pemilik bahu di depannya.

Gadis itu tersentak menoleh ke belakang, alisnya menekuk tajam menatap Andra.

"Sorry, gue bukan Laras," ujar gadis tersebut, menepis tangan Andra dari bahunya.

'Anj- gue kira kak Laras. Model rambutnya sama persis,' batin Andra merasa malu.

Gadis itu menghela napas panjang dan mengulurkan tangannya. Dengan tersenyum manis ia menyebutkan namanya, berniat mengajak Andra berkenalan.

"Oh?" Andra bengong sejenak. "Salam kenal, Luna. Gue Andra," lanjutnya sembari kembali merebahkan kepala pada lipatan tangan.

Luna yang tak dibalas jabatan tangannya pun melongo sejenak. Ia lantas menarik kembali tangannya dan menekuk alis tajam pada Andra. Di saat Andra berulang-ulang menghela napas panjang, mendadak Luna terpikir untuk menjahili Andra.

"Woy! Andra ngajuin diri jadi ketua kelas katanya!" teriak Luna pada kumpulan anak-anak di bangku tengah bagian depan.

"What?!" Anak laki-laki yang disebutkan namanya itu pun kontan bangun. Matanya melotot lebar dan mulutnya menganga.

"Kagak! Gila, ya! Amit-amit gue jadi ketua! Kagak mau, woy!" tolaknya, dengan suara keras dan tegas.

Luna terkekeh dan kembali duduk dengan tenang menghadap ke depan, sementara Andra mulai dikrubung anak-anak yang ribut memilih ketua kelas.

Awalnya anak-anak kelas tersebut tak tahu mana anak yang bernama Andra. Namun, setelah melihat anak laki-laki berkulit putih yang berteriak, mereka langsung berasumsi bahwa dialah anak yang bernama Andra.

"Lo yang namanya Andra? Bagus banget nyalonin diri sendiri."

"Jadi, elu aja deh, ketua kelasnya. Gue males."

"Eh, tapi lu datengnya kagak telat-telat, 'kan?"

"Lu harus ikut kurasi dulu."

"Kita tetep harus voting, sih."

"Lo baru boleh masuk kandidat dulu, nih."

Andra yang mulai pusing dengan ocehan teman-temannya pun mulai berdiri dan menggebrak meja. Dengan lantang ia berteriak, membuat siswa-siswi yang berkerumun di antaranya langsung terdiam.

"Apaan, sih? Gue kagak mau jadi ketua kelas. Lagian kurasi apaan, dah?!"

Sejenak keheningan memenuhi ruang kelas 10-1. Namun, tak lama kemudian suara guru dari ambang pintu memecah keheningan tersebut, hingga membuat semua orang kembali ke bangkunya masing-masing.

Andra yang semula berdiri pun mulai kembali duduk. Sendirian, karena memang ia tak memiliki teman untuk duduk bersamanya. Begitupun Luna yang juga duduk sendiri, karena memang lebih suka bangku di sampingnya lengang tak berpenghuni.

Setelah mengucapkan selamat datang pada murid-murid baru di kelas tersebut, Pak Guru pun mulai berbasa-basi sejenak. Setelahnya, ia mengambil spidol dari saku kemeja dan menuliskan sesuatu di papan putih.

"Saya yakin kalian belum memiliki pengurus kelas," ujar Pak Guru, yang tentu saja benar, mengingat hari ini hari pertama kegiatan belajar-mengajar tahun ajaran baru dimulai.

"Tapi kita punya tiga kandidat, Pak." Anak laki-laki di bangku paling depan bersuara.

"Kurang satu, dong. Ketua kelas harus ada wakilnya," jawab Pak Guru.

"Eh, kan tadi ditambah satu anak, si Andra yang di pojokan itu."

"Oh, iya juga." Anak laki-laki tadi berbisik dengan temannya. "Tambah satu di Andra, Pak. Dia ngajuin diri," lanjutnya pada Pak Guru.

Andra kembali berdiri. "Kagak, Pak! Nih si rambut pendek yang ngajuin diri," ujarnya seraya menunjuk Luna yang duduk di depannya.

"Bukan, Pak. Dia sendiri kok yang ajuin diri." Luna mengelak dengan santai.

"Gue bantai lo, ya!" ucap Andra lirih nan menusuk.

"Gue bodo amat," jawab Luna tetap sangat santai.

"Ya, udah. Kalian berdua saya ajuin jadi pengurus kelas." Pak Guru membuat seisi kelas terkikik dan dua orang yang dimaksud kontan melotot.

*****

Lamongan,

Kamis, 16 September 2021