"Kak, sini saya bantu ...."
Aslan memalingkan wajahnya, melihat adegan yang membakar hati baginya.
"Kurang kerjaan banget bantuin cowok kayak gitu." Aslan menarik kerah baju Aldo dengan kasarnya.
"Berapa kali harus gue bilang, jangan dekati Meysa? Lo gak punya telinga?"
"Kenapa gak melawan? Sengaja biar Meysa iba?" tuduhnya.
"Cukup!! Lepaskan Kak Aldo sekarang!" perintah Meysa.
Cewek itu menahan air matanya, beberapa murid yang lewat memilih untuk berhenti, menyaksikan pertengkaran itu.
"Lo bukan siapa-siapa gue, Lan! Gak bisa seenaknya Lo ngatur kayak gini. Gue minta, jangan ganggu hidup gue lagi, mulai sekarang."
"Lo bercanda 'kan Mey?"
"Gue serius."
Meysa membopong tubuh ketuanya, menuju ke UKS, agar dia segera mendapat penanganan di sana. Rupanya tak ada tim yang berjaga, Meysa hampir lupa karena ini masih jam istirahat.
"Biar saya saja Kak, semua ini terjadi juga karena saya," ucapnya mengambil alih kapas berisi obat merah.
Aldo tampak meringis kesakitan, setiap kali benda itu menempel kulitnya.
"Tahan ya Kak, bentar lagi selesai ...."
"Meysa, kamu kenapa bisa kenal sama cowok kayak gitu. Keselamatan kamu jauh lebih penting, apa yang ada di pikiran kamu sebenarnya?"
Cewek itu duduk, menatapnya dalam-dalam.
"Kak, saya juga bingung. Semua mengalir begitu saja bahkan sampai di titik ini. Saya cuma berusaha menjalani sebisanya, tapi gak tahunya semakin lama bertahan malah membahayakan banyak orang," jawabnya.
"Kalau kamu mau dengerin ucapanku, menjauh. Kita gak bakalan bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya, bisa saja dia bertindak kriminal karena terobsesi sama kamu, kayak gini contohnya," tutur Aldo.
Ucapan cowok itu, hampir sama jika dia kaitkan dengan nasehat papanya beberapa pekan lalu.
"Mau makan dulu, Kak? Tadi, saya suruh Bima buat belikan bubur ini ...." Cewek itu selalu saja lari dari setiap topik pembicaraan yang berkaitan dengan Aslan.
Pulang sekolah.
Meysa sudah siap berangkat bersama Aldo, mereka akan berbelanja untuk keperluan, sedangkan anggota lain tetap di sekolah untuk mengatur persiapan. Dari kejauhan, Aslan senantiasa memperhatikan gerak-gerik keduanya. Meysa tampak ceria, seolah tiada beban ketika bersama cowok itu.
"Lan, ayo pulang malah melamun di sini. Buruan ke basecamp, si Tama dapat kabar penting katanya." Edo menepuk pundak cowok itu.
Tangannya dia lambaikan naik turun, di depan wajah sang bos, tapi tak ada reaksi sama sekali.
"Lihatin apa sih, serius banget? Oh, pantesan. Lo gak bisa biarin semua ini terjadi Lan, kalau mereka sering jalan berdua yang ada bakalan muncul rasa suka," ujar Edo.
"Bukan urusan gue!"
Ini bukan suatu kebetulan, tapi sialnya motor Aslan terparkir rapi tepat di samping kendaraan milik Aldo. Tanpa melihat ke arah Meysa sekalipun, cowok itu mengundurkan motornya, dan segera pergi dari sana.
"Maafin gue, Lan, lebih baik Lo merasakan sakitnya sekarang, ketimbang nanti, justru semakin dalam rasanya," gumam Meysa.
Cewek itu masih menatap kepergiannya sampai punggung Aslan benar-benar tak terlihat lagi.
"Menjauh memang bukan hal yang mudah, tapi kalau dengan tekad yang kuat pasti bisa kamu lalui ...."
Keduanya sudah berkeliling, lebih dari setengah jam, mencari pasar yang masih buka sore hari di sekitar sana. Sayangnya, semuanya tutup.
"Mey, kamu punya ide gak? Gimana ya, ini bahannya mepet banget mau segera dipakai," ucap Aldo.
"Kak, kenapa harus ke pasar? Bukannya di mall, dan toko-toko banyak?"
"Selain menghemat dana, kas OSIS kita juga belum seberapa," jelasnya.
Meysa mengangguk-angguk paham. Cewek itu baru ingat, jika ada sebuah pasar yang lumayan besar, di ujung jalan sana. Kebetulan tempat tersebut adalah langganannya dengan sang mama.
"Saya tahu Kak, biar saya yang jadi petunjuk ya," sahut Meysa.
Banyak sekali barang yang Meysa bawa. Cewek itu sampai kerepotan, bahkan kedua tangannya tak bisa lagi dia gunakan untuk memegang tali tas yang penuh dengan belanjaan itu.
"Memangnya kita mau buat berapa tenda, Kak?"
"Lima belas."
"Hah? Banyak bener?"
"Iyalah, semua kelas. Itu belum sama yang punya guru mereka juga berpartisipasi soalnya," jawab Aldo.
Mereka sampai di sekolah kembali, sekitar pukul lima sore. Mungkin, lembur khusus hari ini adalah yang terakhir Meysa ikuti.
"Kak Aldo, kami pulang dulu ya," pamit beberapa anggota yang sudah menyelesaikan tugas mereka masing-masing.
"Hati-hati, terima kasih ya ...."
"Mey, gue juga pulang dulu ya," ucap Elsa.
"Kak El, ya kali biarin aku sendirian di sini sama Kak Aldo. Gak mau ah, temani dong," pintanya merengek.
"Udahlah, tenang saja gak bakalan terjadi apa-apa. Kalaupun berteriak, ada satpam di luar, dia pasti dengar. Kapan lagi bisa berduaan sama cogan, ya gak?"
Meysa menghentakkan kakinya melihat kepergian cewek itu. Tampak Aldo keluar dari ruangan, berjalan ke arahnya.
"Aduh, gimana nih. Pokoknya kalau gak Aldo sampai macam-macam nanti, bakalan aku kasih dia pelajaran," tekadnya.
"Kak Aldo mau ngapain?" Meysa mengibaskan tangan cowok itu yang dia pikir hendak memegang kepalanya.
"Mey, tenaga kamu kuat banget, sampai sakit tanganku," jawabnya.
"Maaf Kak, saya terkejut tadi ...."
"Di atas kepala kamu ada kotorannya, niatnya mau saya bersihkan," jelasnya.
Cewek itu meraba-raba, dan menemukan sesuatu yang Aldo maksud.
"Mampus! Gue udah buruk sangka sama nih, orang," gumamnya.
"Masih sakit, Kak?" Melihat Aldo masih memijit tangannya karena ulah cewek itu.
"Mendingan. Kamu kalau mau pulang gapapa, saya udah biasa lembur sendiri di sekolah. Nanti dicariin sama orang tua kamu lagi," suruhnya.
"Seriusan, Kak?"
"Iya, kecuali kalau kamu mau temani saya, gak, cuma bercanda kok," jawabnya sedikit bergurau.
Cowok itu sudah kembali terlebih dulu. Pilihan ada di tangan Meysa, selain mengemban tugasnya, dia juga harus ingat kedudukannya sebagai wakil ketua di sini.
"Gue ikut organisasi ini, sebetulnya gak sepenuhnya karena niat. Tapi, kalau udah terlanjur kayak gini, sayang kalau gak dilanjutkan."
"Kak Aldo! Tunggu!"
"Gak jadi pulang?"
"Kasihan aja sama Kakak, nanti ketakutan lagi sendirian di sini," ejeknya.
Di basecamp.
Sedari tadi anak buah Aslan, merasa pusing. Bos mereka tak henti-hentinya memutar lagu penuh kegalauan. Bahkan, Edo sendiri ingin muntah rasanya, hanya satu lagu yang diulang berkali-kali, sampai mereka hafal liriknya.
"Do," panggil Tama, memerintahkan agar cowok itu mendekatkan telinganya.
"Sembarangan aja, Lo! Mau cari mati?"
"Habisnya kuping gue panas, berisik banget, lagunya gak bemutu lagi," kesal Tama.
"Apa Lo bilang? Gak bermutu?" Aslan hampir saja naik darah mendengar penghinaan tersebut.
"Eh, gak Bos, salah denger palingan, gue gak bilang kayak gitu kok," jawabnya beralasan.
"Denger ya, gue mau keluar bentar. Kalian semua di sini, jangan ada yang pulang. Pokoknya sampai gue kembali, musiknya gak boleh diganti atau dimatikan! Awas aja kalau gue sampai tahu, lihat sendiri akibatnya," ancam Aslan memungut jaketnya yang tersampir di atas kursi.
"Hey, Lan! Mau ke mana? Gue ikut, ya," teriak Edo.
"Gak usah, cuma bentar doang!"
Bersambung ....