webnovel

Keputusan untuk bercerai

"Dari mana Kakak tahu kalau Mas Danar selingkuh?" desakku tak percaya.

"Ponselnya!" lirih Kak Nurul.

"Aku gak sengaja membaca chat dari seorang wanita dan isinya kata-kata romantis," lanjutnya lagi dengan suara tercekat.

"Lalu?"

"Lalu apa? Ya aku langsung tanya dia dan ia terus berkelit tapi kamu tahu kan feeling seorang istri gak pernah meleset?!"

Aku menghela napas dalam, pasangan yang menjadi panutanku selama ini tidaklah sesempurna yang terlihat. Aku sangat mengidamkan rumah tangga seperti Kak Nurul tapi ternyata rumah tangga mereka kini ternoda oleh orang ketiga. Jujur, aku masih ingin tidak percaya kalau Mas Danar bisa berbuat seperti itu.

Tak ada manusia yang sempurna, kata-kata itu memang tepat. Seorang Mas Danar yang terlihat baik luar dalam, nyatanya ia pun memiliki kelakuan yang busuk dan sekarang mungkin waktunya semua kebusukannya itu terungkap.

"Jadi ... Apa yang mau Kakak lakukan sekarang?" tanyaku yang ingin tahu rencana selanjutnya dari Kak Nurul.

"Aku mau minta cerai, Mir! Kalau dia pulang nanti, aku akan mengajukan perceraian. Setelah itu, entah dia atau aku yang akan keluar dari rumah," papar Kak Nurul, air matanya kini sudah menganak sungai, ia tak sanggup lagi membendungnya.

Aku bergegas memeluknya, di saat seperti ini, di saat kita sedang hancur, yang kita butuhkan hanya dekapan serta dukungan dari orang yang tulus dan aku akan melakukan semua itu untuk Kak Nurul.

"Kakak sabar ya, yang kuat. Apapun keputusan Kakak, aku hanya bisa mendukung dan berdoa semoga semua itu adalah keputusan yang terbaik," tuturku sungguh-sungguh.

"Makasih, Mir! Tapi aku minta tolong sama kamu," lirih Kak Nurul.

"Apa?" tanyaku, apapun itu, selagi aku sanggup pasti akan aku bantu.

"Jangan bicarakan masalah ini dulu sama Ummi dan Abah," pinta Kak Nurul, ia menggenggam tanganku erat.

Aku menghela napas dalam. Sungguh, aku pun tak akan sanggup melakukannya.

"Tentu aja Kak, biar nanti Kakak sendiri aja yang bicara ke Ummi sama Abah, aku gak mau ikut campur," ujarku mengulas senyum.

***

"Reza?!" pekikku saat sudah terlihat jelas sebuah mobil yang terparkir di depan rumahku ini.

Dengan langkah kaki panjang, aku segera menghampirinya, ada perlu apa kiranya ia sampai datang ke rumahku? Namun tinggal beberapa langkah lagi menuju mobilnya, aku hentikan langkah.

"Tunggu! Dia kan memang seorang driver, siapa tahu dia sedang dapet orderan atau mungkin selesai antar penumpang di sini. Ya, pasti seperti itu!" batinku meyakinkan diri.

Terdengar kaca mobil terbuka, sepertinya Reza melihat diriku yang mematung di samping mobilnya.

"Hai Mir!" sapa Reza seraya turun dari mobilnya.

"Hai Za, kamu ada orderan atau habis antar penumpang ke sini?" tanyaku ketika kami sudah berhadapan.

"Gak dua-duanya," jawab Reza santai.

Keningku berkerut membuat kedua alisku saling bertaut. Jadi apa maksud kedatangan Reza ini?

"Terus kamu ke sini —?" Aku tak bisa melanjutkan ucapanku karena aku tidak mau menebak-nebak.

"Sengaja! Aku memang lagi gak narik karena driver online itu memang bukan pekerjaan utamaku," jelas Reza semakin membuatku tak mengerti.

"Sengaja maksud kamu?" Aku ingin Reza memperjelas maksud kedatangannya ini.

"Ya ampun, Mir! Kita ini kan teman sekolah, pernah deket juga. Apa salah kalau aku main ke rumah kamu?" ucapan Reza begitu mengejutkanku.

"Jelas salah! Dia datang tiba-tiba tanpa memberitahuku terlebih dahulu dan justru karena kami pernah dekat jadi rasanya sekarang tidak pantas kalau kami bertemu seperti ini." Aku membatin, berbicara dengan diriku sendiri.

"Kok malah ngelamun sih, Mir?!" kekeh Reza.

Aku pun tersadar setelah mendengar ucapan Reza barusan "Maaf, Za! Kayaknya aku gak bisa terima kamu di rumah soalnya —"

"Oh ... Kalau kamu gak nyaman di rumah, gimana kalau kita ngobrol di luar? Kita cari tempat makan ya?! Pasti kamu juga belum makan siang kan?!" cerocos Reza, memotong ucapanku.

"Bu-bukan gitu maksudku, Za!" sanggahku cepat.

"Jadi?"

"Kayaknya kita gak pantes aja kalau harus ketemuan berdua dan sebenernya kalau kamu mau main pun boleh, asal ajak istri kamu juga."

Seketika Reza tertunduk lesu, sepertinya ia merasa kecewa atas ucapanku itu. Sungguh aku tak bermaksud membuat dia terluka tapi aku memang harus tegas karena status kita sudah berbeda sekarang, ada hati yang harus kita jaga.

"Sorry ya, Mir! Kayaknya aku udah keterlaluan," sesal Reza.

"Sekali lagi maaf ya, Za! Semoga kamu ngerti maksud aku," harapku.

"Kamu gak perlu minta maaf, Mir! Aku yang salah, aku pikir setelah kita menjalin komunikasi yang baik —"

"Apa? Maksud kamu gimana, Za?"

"Ah, enggak! Lupain aja, aku pamit ya?!"

Kedua bola mataku ini masih tertuju pada Reza, aku perhatikan semua gerak-geriknya sampai ia masuk ke dalam mobil lalu melaju dan hilang dari pandanganku.

"Apa maksud ucapannya tadi? Apa mungkin dia salah mengartikan sikapku selama ini?" Aku masih berkutat dengan pikiranku sendiri.

"Apa Reza gak ngerti kalau sikapku selama ini hanya sebatas rasa terima kasih karena dia udah pernah membantuku dan dia perhatian pada kondisi Ayla? Apa mungkin dia salah tanggap?" Banyak tanya bermunculan di benakku ini.

***

Seminggu berlalu, Kak Nurul memberi kabar kalau ia dan Mas Danar sudah pisah rumah namun Mas Danar belum mau menceraikan Kak Nurul.

"Statusku digantung begini, Mir! Kesel aku!" pekiknya ketika pagi ini aku menyambangi rumahnya.

"Mungkin Kakak harus lebih tegas, tanya mau dia kayak gimana?" saranku pada Kak Nurul.

"Mau dia? Enak aja! Aku gak mau, jelas dia yang salah, harusnya semua berdasarkan keputusan aku," ucap Kak Nurul ngotot.

Rupanya semua kejadian yang telah menimpa dirinya sudah merubah sifat Kak Nurul, tidak ku lihat lagi perempuan yang lemah lembut dan selalu bersikap tenang seperti dulu.

"Ya sudah kalau gitu, itu kan cuma sekedar saran aja. Yang jelas kalau Kakak mau semuanya cepat selesai, ya Kakak sendiri harus tegas," paparku mengalah dan berusaha memberi solusi.

Kak Nurul hanya diam, tatapan matanya kosong, entah melihat ke arah mana, mungkin ia sedang mencerna setiap perkataanku tadi.

"Oh ya, apa Kakak udah cerita sama Abah dan Ummi?" tanyaku memecah kebisuan yang kini tercipta.

Terlihat Kak Nurul semakin membenamkan wajahnya lalu ia menggeleng lemah "Aku belum sanggup cerita, aku gak bisa bayangin gimana reaksi Abah, terutama Ummi."

Benar yang Kak Nurul ucapkan, Mas Danar adalah menantu kesayangan mereka yang selalu mereka bangga-banggakan. Akan sehancur apa Abah dan Ummi kalau tahu menantu kesayangan mereka itu ternyata membagi cintanya, ia berselingkuh, mengkhianati dan menyakiti putri mereka.

Aku tak mampu berkomentar lebih lanjut, kini aku yang terdiam, semua masalah Kak Nurul kini sudah mengganggu pikiranku juga.

"Mir, Kakak minta si kembar sementara tinggal di sini dulu ya?! Kakak gak enak tinggal sendirian," ucapnya sedikit memohon.

"Tapi kalau Kakak ngajar gimana?" tanyaku bingung.

"Ih, kamu nih. Kan kemarin habis kenaikan, libur panjang."

"Oh, iya ya?! Ya maaf Kak, aku kan belum ngurusin anak sekolah."

"Jadi gimana? Boleh?"

"Ya bolehlah!"

Aku tahu Kak Nurul pasti sangat kesepian, si kembar pun senang kalau tinggal bersama uwanya jadi tidak ada salahnya kalau mereka tinggal di sini dulu selama beberapa minggu.

Akhirnya aku bisa melihat senyum Kak Nurul lagi, ia pasti senang akan ditemani dua jagoanku.

"Apapun yang membuatmu bahagia, pasti akan ku lakukan, Kak!" bisikku dalam hati.

Aku yang sedang mengamati Kak Nurul yang mulai bermain bersama si kembar, tiba-tiba terhenyak karena getaran ponsel yang ku simpan di saku celanaku.

Sebuah pesan masuk, 'Bang Anwar' tertera di layar ponsel.

[Di mana lo? Pulang! Laki mau makan malah gak ada di rumah]

Ku remas ponselku itu, menyalurkan segala kekesalanku usai membaca pesan dari Bang Anwar. Padahal sebelum berangkat ke sini aku sudah izin terlebih dahulu dan dia tidak bereaksi apapun, bahkan sejak ku ceritakan masalah Kak Nurul pun ia acuh saja.

"Dasar manusia gak punya empati!"

****