webnovel

Gadis Unik

Belum pernah seumur hidupnya Vano bertemu dengan seorang gadis yang begitu berani bicara padanya, apalagi mendebatnya seperti gadis ini. Bahkan lirikan tajamnya diacuhkan begitu saja oleh Lexa yang terlihat begitu lelah di sisinya. Diam-diam Vano memang mengamati wajah Lexa yang terlihat semakin cantik dari pinggir. Dia memang sudah mulai mengenakan riasan sejak Pak Berto memberinya seperangkat alat rias itu. Tentu saja dia tahu karena itu adalah perintah darinya. Ya walaupun bisa Vano lihat, wajah gadis itu masih saja belepotan. Sepertinya memang dia saja yang tidak ada bakat dalam hal merias wajah.

"Kenapa kau tidak minta bantuan Nola atau Zoya untuk belajar merias dirimu sendiri? Setidaknya kau bisa belajar dari internet?" tanya Vano santai.

"Aku mana ada waktu untuk itu. Aku bekerja dari pagi sampai malam. Begitu tiba di rumah, aku mandi, makan, dan harus tidur lagi agar besok pagi tidak bangun terlambat dan kembali bekerja," ucapannya lebih seperti sebuah sindiran.

"Hahaha. Aku yakin kau sudah membaca perjanjian kerja yang ditawarkan Berto padamu sebelum menerima pekerjaan ini. Kenapa kau mengeluh?" tanya Vano tak kalah ketus.

"Hmh, aku tahu. Aku tidak sedang memprotes jam kerjaku. Aku sadar kalau menjabat posisi yang tinggi pasti juga akan berakibat pada beban kerja yang tinggi juga. Aku hanya sedikit kesulitan dan perlu waktu untuk menyesuaikan diri untuk itu," ucap Lexa dengan santainya.

"Jadi apa kau sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan itu?" tanya Vano lagi.

"Aku sedang mencoba!" ucap Lexa cepat.

"Aku yakin kau akan cepat melakukannya, apalagi ada Valdo yang begitu baik padamu," ucap Vano santai.

"Hm, ya dia memang baik padaku. Jauh lebih baik daripada sikapmu padaku," ucap Lexa lagi.

"Kenapa aku terlihat jahat di matamu? Coba lihat di mana kita sekarang? Aku sedang mengantarmu pulang! Kalau aku sejahat itu, aku sudah meninggalkanmu di halte tadi!" ucap Vano dengan kesal.

"Iya iya aku berterima kasih untuk itu. Maksudku, perbaikilah sedikit sikapmu itu. Hal-hal sederhana seperti tersenyum atau mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih itu hal yang sangat mudah dilakukan, tapi memberi efek yang luar biasa pada orang lain dan diri sendiri," ucap Lexa santai.

"Hmh, terlalu sulit untuk aku lakukan!" ucap Vano menyadarinya.

"Keras kepala!" ucap Lexa sangat lirih.

"Jangan sembarangan bicara. Aku mendengarnya!" ucap Vano santai.

"Ah, benarkah?" Lexa bingung karena dia bicara super lirih bahkan lebih seperti menggumam saja.

Kali ini Lexa diam saja. Dia masih ingat bagaimana dia masuk ke dalam ruang Vano tepat saat pria itu tidur. Jujur saja, pria itu terlihat sangat tampan dan polos saat tertidur. Lexa bahkan hampir jatuh dalam pesonanya kalau dia tidak mengingat kata-katanya terakhir kali mengenai dirinya dan Valdo. Saat dia bicara, semua yang keluar dari mulutnya seperti cambuk yang bisa menyakiti siapa saja.

"Hei, hei, bangun!" ucap Vano mulai terdengar jelas.

"Astaga, aku ketiduran?" tanya Lexa bingung mengusap wajahnya sendiri.

"Ck, kau hanya menumpang dan justru tidur di mobilku! Kita sudah sampai di apartemenmu. Cepat keluarlah! Aku juga ingin pulang!" ucap Vano ketus.

"Bagaimana kau tahu apartemenku?" tanya Lexa bingung.

"Kau kan sudah mengatakan alamatnya padaku!" ucap Vano cepat.

"Benarkah?" tanya Lexa seperti belum sepenuhnya sadar.

"Jangan terlalu lama berpikir! Aku juga ingin pulang dan ingin istirahat!" ucap Vano mengusirnya.

Setelah mengucapkan terima kasih, Lexa turun dan mobil itu melaju dengan sangat cepat meninggalkannya. Pria itu memang semenyebalkan itu menurut Lexa. Sedangkan di dalam mobil, Vano mengintip dari kaca spion dan melihat Lexa merengut kesal. Diam-diam Vano tersenyum simpul melihat gadis yang pelan masuk ke dalam apartemen sederhananya itu. Dia jadi mengingat lagi percakapannya dengan sang gadis unik itu.

"Kemana aku harus mengantarmu?" tanya Vano ketus.

"Apartemen Marvelo di daerah Beaoufort," ucap Lexa seadanya.

"Aku akan mengantarmu dengan cepat," kata Vano saat itu.

"Tidak perlu terlalu terburu-buru juga. Tidak ada orang tua yang menungguku di sana," tentu Vano tahu perkara ini, tapi melihat raut wajah Lexa membuatnya ingin mengetahuinya lebih lanjut.

"Orangtuamu meninggal karena kecelakaan?" tanya Vano.

"Kau tahu? Ah, ya tentu saja kau tahu. Kau kan atasanku. Hmh, ya benar. Mereka meninggal dalam kecelakaan. Sebenarnya aku bahkan lupa rasanya memiliki orang tua. Aku tidak tahu rasanya disayangi oleh ayah dan ibu. Hanya saja setiap aku melihat pemandangan semacam itu, selalu membuatku bertanya-tanya akan seperti apa rasanya? Akankah semuanya akan berbeda kalau mereka masih di sisiku?" ucapan Lexa yang entah bagaimana terdengar begitu emosional.

"Kau merindukan mereka?" tanya Vano dengan bodohnya.

"Entahlah. Bagaimana aku bisa merindukan seseorang yang bahkan aku sudah lupa wajahnya? Hanya saja, ada kekosongan dalam hatiku yang bahkan aku tidak tahu apa itu. Aku tidak tahu cara mengisi atau menutupinya," Lexa bahkan terus menundukkan wajahnya.

"Apa kau pernah mempertanyakan nasibmu sendiri? Mengasihani dirimu sendiri karena menjalani hidup seperti ini? Bertanya pada Tuhan kenapa Ia begitu kejam padamu?" Vano hanya ingin tahu.

"Tentu saja aku pernah, tapi itu dulu sekali. Kadang aku berharap untuk tidak pernah dilahirkan saja. Lalu kemudian aku melihat banyak sekali orang di luar sana yang jauh lebih menyedihkan dan menderita dibandingkan aku. Aku pikir lagi, aku bahkan punya nenek yang baik dan menyayangiku. Aku juga punya otak lumayan encer yang bisa membantuku menyelesaikan sekolahku. Tidak banyak tapi selalu saja ada orang baik yang membantu setiap aku butuh. Nikmat mana lagi yang harus aku dustakan kan?" Lexa benar-benar berbesar hati.

"Apa kau punya cita-cita? Maksudku selain bisa menjadi seorang perawat," Vano ingin mendengar jawabannya.

"Hm, membantu orang lain seperti yang aku katakana padamu," ucap Lexa seolah mengingatkan lagi.

"Aku tahu itu, tapi maksudku sekarang setelah mimpi menjadi perawatmu itu mungkin hanya akan menjadi mimpi!" Vano jadi kesal juga lama-lama.

"Jujur aku juga bingung karena untuk saat ini pekerjaan ini benar-benar menyita tenaga dan waktuku. Kalau dipikir-pikir, sekarang mungkin mimpiku akan jauh lebih sederhana. Aku ingin memiliki keluarga. Aku akan mengurus suami dan anakku dengan baik. Aku akan cukup membantu dengan itu kan?" tanya Lexa juga tak yakin.

"Punya keluarga? Apa itu bisa disebut cita-cita? Bukankah itu lebih pada tujuan hidup?" tanya Vano sangsi.

"Hahaha. Aku juga tidak tahu. Hanya saja itu yang paling ingin aku capai. Tidak dalam waktu dekat tentu saja. Mungkin tiga atau empat tahun lagi?" Lexa sendiri tak yakin.

"Kalau begitu, itu akan menjadi cita-cita yang paling mudah kau gapai," tawa cemooh Vano.