webnovel

Tatapan Pertama

Iris sewarna langit terpejam menghayati samar aroma candu yang meraba indera penciumannya. Wangi khas besi penyusun cairan merah kental seolah memabukkan kesadarannya. Akal sehat sebagai manusia terhempas musnah menyisakan jadi diri asli dengan gairah liar binatang buas.

Derap tapak kaki telanjang meninggalkan relief pada permukaan tanah sepanjang dua pasang tungkai berselimut pirang melangkah. Bunyi debam menggetarkan akar pepohonan yang terpendam dan mengoyak keheningan hidup hutan.

Petang masih awal dan rembulan belum total. Dedaunan saling bergandengan bagai memperkuat pertahanan dari intipan sinar bulan. Secercah cahaya menembus barisan pepohonan rindang, menjadi pelita hutan yang temaram.

Parasnya yang menawan tersamarkan kemarahan. Bola mata cerah memerah darah. Desahan yang selalu tenang kini menggeram bagai nyanyian kematian. Nadanya memantul pada barisan kambium pohon elder. Rintihannya memekakkan telinga makhluk-makhluk melata.

Sementara nun jauh dari hutan, terhamparlah sebuah wilayah kekuasaan sebuah kerajaan makmur sentosa. Pemukiman-pemukiman penduduk tampak elok mengitari istana Kerajaan Silentbosque. Pelita-pelita penduduk laksana bintang yang hormat pada kearifan penguasa.

Sang ratu melangkah panik sepanjang permadani merah lorong lantai dua. Ratu Soare Allard tergesa menuju ruang kerja sang raja, Reymound Allard. Langkahnya yang laju tetap dalam tata krama kerajaan. Kedua tangannya sedikit manahan bagian bawah sutra yang membelai pijakannya.

Dua pengawal raja melebarkan daun pintu. Sang ratu menyeruak panik menuju ruangan megah yang dikelilingi susunan rapi kitab dan buku dalam rak setinggi pilar.

Sang raja yang tengah berbalut jubah kebesaran lengkap dengan lencana kerajaan, terperanjat. Beliau meletakkan buku dalam genggamannya kembali pada permukaan meja. Beliau beranjak dari meja kerja keemasan dan menyambut sang wanita tercinta dengan cemas. Kekhawatirannya mengganda usai mendengarkan penuturan sang istri.

Raja Remound mengumpulkan para pengawal. Mereka yang sigap menggenggam pedang dan tombak diperintahkan menjelajahi setiap sudut istana termasuk penjara bawah tanah.

Mereka patuh kemudian undur diri demi melaksanakan perintah baginda raja. Alas kaki berat mereka bergemicing serempak meninggalkan ruang kerja sang raja.

Ratu Soare membelai sudut matanya yang berair. Riasan tipisnya sedikit terhapus.

Raja Reymound membelai helai merah bata yang tersanggul rapi disatukan dengan tiara. "Sayang, tenanglah. Ceritakan bagiamana bisa terjadi?"

Ratu Soare merendahkan tubuhnya namun ditahan oleh rengkuhan suami tercinta.

"Semua kesalahan saya, Yang Mulia. Saya tidak segera menyapa putri kita, Putri Floare, di kamarnya, setelah para pelayanan menyelesaikan tugas mereka melayani tuan putri." sesalnya tersedu.

Raja Reymound mengusap punggung sang ratu pelan.

Ratu Soare menahan isakannya. "Tuan Putri terlalu lama dalam kamar mandi, Baginda! Saat pelayan pribadinya mengetuk tak ada sahutan. Akhirnya pelayan memanggil saya. Kami membuka pintu kamar mandi dengan paksa. Namun putri kesayanganku tidak meninggalkan jejak apa-apa!"

Raja Reymound mempererat depannya. "Tenangkan dirimu, Sayangku! Pengawal dan prajurit kerajaan sedang menyisir seluruh sudut istana kita. Mari kita berdoa agar putri kecil kita segera ditemukan dalan keadaan selamat, Sayang!"

Mahkota berhias tiara mengangguk pelan.

Sementara darah daging mereka tengah melangkah riang di tengah remang-remang hutan. Lolongan misterius menuntunnya jauh dari kerajaan. Seolah ada sihir tak kasat mata yang meloloskan sang putri tanpa terlihat tajamnya mata penjaga gerbang utama.

Gadis sepuluh tahun itu melonjak-lonjak lincah mengikuti suara asing yang terdengar semakin nyaring. Suara yang tak pernah menyentuh gendang telinganya selama hidup

Gadis berambut merah bata yang terjalin rapi sepanjang pinggang, seolah tanpa ragu melangkah dalam hutan sunyi penuh pepohonan raksasa. Dia riang gembira tak mengacuhkan desisan ular dan gesekan kaki hewan melata yang mengincarnya. Namun anehnya, para binatang berbisa menjauhinya perlahan seolah ada sosok lain yang mengancam.

Kaki berselimut sepatu datar tertahan akar pohon yang menjuntai hingga terjerembab di tepi rawa. Gaun selututnya terkoyak gesekan tanah. Kaos kaki putih panjangnya robek memamerkan darah segar yang merembes melalui lutut.

Sang gadis kecil terisak dan merintih. Kedua kepalan tangan mungilnya menggosok pelan sudut mata.

"Ayahanda ... ibunda...." rengeknya.

Sang bocah menengadah angkasa. Mata gioknya menatap ngeri bulan penuh yang menggantung di pekatnya cakrawala. Sekelebat sosok besar mengacaukan keindahan rembulan dalam pandangannya. Sosok berbulu lebat yang kian membesar dalam retina sang gadis.

Paras sang bocah menyeringai takut. Raganya seolah kebas. Namun tubuhnya yang terduduk dipaksa merangkak mundur. Bibirnya merintih menahan luka pada lututnya.

Sosok makhluk buas menapak pada permukaan tanah tepat di hadapan sang gadis. Keempat lengannya berayun pelan dan mencekam.

Teriakan Sang gadis kecil melengking menyayat malam. Jerita yang mampu membelah dinginnya hutan. Suara penuh trauma yang dapat mengusir ketenangan.

Sang gadis tetap merangkak mundur hingga raganya tertahan bebatuan.

Matanya terpejam. "Kumohon, jangan makan aku! Aku kurus dan tak bernutrisi." pintanya.

Sosok buas bermata merah membuka rongga mulutnya yang dipenuhi gigi tajam. Saliva kelaparan membasahi seluruh sisi mulutnya. Kepalanya menghampiri paras sang bocah. Terasa embusan napas panas membelai paras sang gadis.

"Pergilah! Pergilah!" mohon sang bocah perempuan bergetar.

Tanpa sengaja mata makhluk mamalia liar itu menangkap kilatan berlian merah yang melingkar di leher sang bocah.

Makhluk malam menggeram senang. "Kau ... milikku!"

Sang bocah kelihangan kesadarannya ketika kaki berkuku tajam terasa membelai sebelah bahunya.

***

Sang gadis kecil rambut menyala membuka layar matanya perlahan. Begitu tersiksanya untuk menatap dunia dengan kepala yang terasa berat. Kesadarannya bertahap mulai berkumpul. Bayangan seseorang yang samar memompa kekuatannya untuk bangkit kembali.

Hal pertama yang menyapa penglihatannya tak lain hanya senyum merekah bocah laki-laki asing berpakaian sederhana. Rambutnya bagai rembulan yang tersesat dalam kegelapan. Terlalu terang. Sepasang iris serupa langit siang menatap penuh cemas.

Sang gadis terperanjat. "Siapa kamu?"

Bocah laki-laki berbalut kemeja lengan panjang dang celana pendek, mendaratkan tubuhnya di sisi sang gadis.

Si bocah laki-lali mengulurkan tangannya yang eksotis. "Aku Sebastian Le'blanc. Dan kamu?"

Si gadis menggigit bibirnya. Pandangannya jatuh pada lututnya yang sempat terkelupas. Keningnya berkerut. Entah bagaimana mungkin bayangan yang tertangkap pada layar matanya hanyalah balutan kain putih yang menutup kucuran darah.

Bastian memandang si gadis cemas. "Apa kamu masih terasa sakit?"

Si gadis menggeleng pelan. Pandangannya beredar dari ujung hingga ujung. Alangkah terperangahnya si cantik. Dia melihat raganya sedang bertopang pada batang pohon yang hanya di tanam pada perbatasan wilayah kerajaan. Pemukiman penduduk hanya sejauh mata memandang. Istana tempat tinggal sudah mampu diperkirakan rentangnya.

Bibir sang gadis bergetar. "Apa kamu tahu kenapa aku bisa ada di sini? Bagaimana aku bisa sampai di sini?"

Bocah laki-laki sebaya menggeleng entah. "Hari ini aku pulang bermain sedikit terlambat. Saat perjalanan pulang ke rumah, aku melihatmu tergeletak di sini lalu aku obati dengan kain seadanya."

Mata si gadis memanas. "Terima kasih."

Bastian menepuk ubun-ubun si gadis pelan. "Namamu siapa? Rumahmu di mana? Aku antar pulang, ya?"

Si gadis menarik napas kalem sebelum berhembus pelan. "Aku Floare Allard."

Bastian kecil terperanjat. Raganya tertatih bangkit tiba-tiba. Mata cerahnya beredar menelusuri penampakan sang gadis. Sebuah berlian merah nampak berpendar mengusik keingintahuan Bastian.

Bastian memberi salam sopan dan membungkukkan punggungnya.

"Maafkan saya, Yang Mulia Putri Floare Allard."

Floare mengangguk anggun membalas salam Bastian.

Derap rampak langkah sepatu pengawal kerajaan di sela-sela ketukan cepat tapal kuda menyita perhatian keduanya. Barisan pengawal yang bersemangat nampak gagah dari kejauhan menuju perbatasan wilayah kerajaan.

Bibir Bastian melengkung senang. "Tuan Putri Floare, utusan kerajaan akan segera menjemputmu!"

Anggukan Floare tak kalah girang.

Bastian kembali menekuk punggungnya sejenak. "Saya permisi undur diri, Tuan Putri!"

Mimik wajah Floare tampak kecewa karena perpisahan. "Apa kita berdua bisa bertemu kembali? Bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu?"

Bibir merah Bastian mencondong pada daun telinga Floare. "Dengan menjadi milikku di masa depan dua pertanyaanmu akan terjawab." bisiknya tegas.

Sepasang pipi gembil Floare memerah mengantarkan berlalunya Bastian menuju pemukiman.