webnovel

#5-Awan, Sang Penyelamat Mentari dan Senja

Namanya Awan Nugraha.

Cowok itu berusia dua puluh lima tahun, sama seperti Senja Alexandro. Dia juga merupakan sahabat Senja sejak mereka berdua masih sama-sama bocah, yaitu ketika keduanya berusia lima tahun. Saat itu, Awan dan keluarganya baru saja pindah ke rumah kosong di samping kediaman Alexandro. Keluarga Awan juga baru saja merintis perusahaan keluarga mereka dari nol dan langsung berkembang dengan cukup pesat. Bryan Alexandro, ayah dari Senja, yang tertarik untuk bekerjasama dengan perusahaan keluarga Awan, membuat perusahaan mereka menjadi semakin terkenal hingga sekarang.

Saat ini, Awan sedang berdiri di samping mobil sedannya. Dia sudah menunggu sekitar lima belas menit, tapi sahabatnya yang tadi meminta tolong untuk menjemputnya di sekolah dan menyuruhnya untuk menjadi sopir ke suatu tempat itu tak kunjung datang. Sejak lima belas menit yang lalu juga, Awan sudah gerah dipelototi oleh cewek-cewek SMA yang mengagumi ketampanannya. Well, Awan bukan orang yang munafik. Dia menyadari ketampanannya dan kehadirannya yang sangat berpengaruh untuk kesehatan mental kaum hawa di sekitarnya. Maksudnya, tidak mungkin kaum hawa itu tidak akan tergiur saat melihat ketampanannya, bukan? Dan hal itulah yang ditakutkan oleh Awan. Takut kalau mereka mendadak jadi gila karena tidak bisa memiliki dirinya yang memang hanya ada satu di dunia ini.

Oke. Dia seorang yang narsis. Puas?

Awan berdecak dan membuka kacamata hitamnya. Dia memijat pangkal hidungnya dan mendesah berat. Sudah terlalu lama berdiri di dekat pintu mobilnya membuat kedua kakinya pegal. Awan juga tidak terlalu suka duduk berlama-lama di dalam mobil. Akhirnya, cowok berambut panjang sebahu yang diikat satu ke belakang itu mengambil ponselnya dari saku celana belakang dan segera menghubungi Senja. Cukup lama dia menunggu, sampai nyaris mengumpat keras, ketika sambungan teleponnya terhubung.

"Heh! Kalau lo nggak keluar sekarang juga—"

"Arrrgh! Awan! Awan! Please, help me! It's going to kill me!" teriak Senja dari ujung panggilan, tidak memberikan kesempatan bagi Awan untuk mengomelinya dan mengancamnya karena sudah membuatnya menunggu terlalu lama. Tentu saja teriakan frustasi dari sang sahabat membuat kening Awan mengerut. Dia menggantungkan kacamata hitamnya ke kaus yang dipakainya.

"Apaan, sih? Kok tiba-tiba ngelantur begini omongan lo, Sen? Lo sehat, kan? Apa jangan-jangan lo lagi mabuk? Lo bawa minuman ke sekolahan? Gila! Jangan mendadak sinting gitu dong, Sen. Kalau ketahuan sama pihak sekolah, terutama kepala sekolah yang udah berbaik hati ngasih lo pekerjaan kan, bisa gawat nantinya. Lo bisa dipecat, Sen. Udah gitu, banyak anak-anak di bawah umur, kan? Jadi panutan sedikit, lah."

Alis Awan terangkat satu ketika dia tidak mendapatkan respon dan justru mendengar seruan heboh dari seberang sana. Bahkan, Awan berani bersumpah dia bisa mendengar jeritan seorang cewek yang menyerukan kata, 'bunuh dia'.

"Dasar sinting! Sakit jiwa!" teriak Senja kemudian, membuat Awan tersadar dari lamunannya dan mengerjap. "Gue bukan tukang minum kayak elo, sialan! Cepat masuk dan datangin gue ke ruangan gue! Kalau lo nggak tau, minta tunjukkin sama siapa pun yang lo temui, tapi jangan bawa mereka ikutan masuk ke dalam ruangan gue!"

Belum sempat Awan membalas ucapan Senja, sambungan telah diputus secara sepihak oleh sahabatnya itu. Sambil mengerutkan kening karena bingung dan mematikan mesin mobil kemudian menguncinya, Awan bergegas masuk ke dalam sekolah tempat Senja mengajar. Tak lupa dia menanyakan ruangan Senja kepada satpam sekolah yang juga hendak masuk ke dalam sekolah. Seperti perintah Senja, Awan tidak mengajak satpam tersebut untuk ikut bersamanya ke ruangan Senja. Begitu Awan tiba di depan pintu ruangan Senja dan membuka daun pintu tersebut, cowok itu mengerjap dan melongo. Di sana, di dalam ruangan Senja, sahabatnya itu sedang berdiri di atas sebuah sofa bersama dengan seorang siswi SMA. Keduanya nampak histeris dan pucat sambil mengoceh entah apa. Begitu Awan menatap ke arah dinding yang dipelototi oleh Senja dan siswi SMA tersebut, cowok itu kembali mengerjap untuk yang kesekian kalinya.

"Kecoak?" gumam Awan tanpa sadar. Suaranya itu langsung membuat Senja dan Mentari menoleh bersamaan.

"Pak Senja! Pemilik kecoaknya udah datang! Kita selamat!" seru Mentari dengan kalimat yang sanggup membuat Awan mengerutkan kening.

"Awan! Cepat usir binatang mematikan itu! Bawa dia pergi dari ruangan ini! Dia bakalan membunuh gue! Cepat!" teriak Senja tak kalah heboh dari Mentari. Bahkan untuk saat ini, Mentari sudah tidak peduli dengan perubahan sikap Senja. Senja juga sudah masa bodoh jika Mentari melihatnya ketakutan seperti ini hanya karena seekor kecoak.

"Hei," sahut Awan sambil berkacak pinggang, "apa ini caranya meminta tolong sama seseorang?"

"Dasar sahabat sialan!" maki Senja. Dia sudah sangat melotot, hingga Mentari yang melihatnya mendadak bergidik. Cerita ini akan berubah genre menjadi horor jika mendadak kedua bola mata Senja memutuskan untuk melompat keluar dari kedua rongganya itu. "Lo mau gue tagih semua pengeluaran yang udah gue habisin untuk menghidupi lo?!"

"Ck, ck," decak Awan. Cowok itu memperlihatkan wajah sengak, menyeringai dan menggoyangkan jari telunjuknya. "Senja, kalau lo ngomong kayak gitu, nanti yang ada siswi tersayang yang ada di samping lo itu mengira kalau kita berdua punya hubungan spesial yang sanggat menggairahkan, hingga lo menghabiskan semua harta lo hanya untuk membahagiakan gue."

"Ugh! He's your lover?" tanya Mentari dengan tatapan dan wajah jijiknya. Tentu saja dia refleks melakukan hal tersebut akibat mendengar kalimat Awan barusan. Senja langsung mengalihkan pelototannya dari Awan yang sudah membungkuk untuk menyembunyikan tawa gelinya ke arah Mentari.

"Jangan asal ngoceh kamu, Mentari, atau nilai kamu akan saya kasih tinta merah!" ancam Senja, membuat Mentari mendengus dan bersedekap.

"Bapak tuh kayaknya senang banget menyalahgunakan kekuasaan sebagai guru, deh. Dikit-dikit ngancem saya. Hati-hati, Pak, nanti pacar Bapak itu," tunjuknya ke arah Awan yang kini semakin tertawa setelah mendengar ucapannya, "bakalan kabur kalau sikap Bapak terus kayak gini. Tenang aja, Pak. Saya nggak me-judge Bapak, kok. Kita bebas untuk mencintai siapa saja. Tapi kalau dari sisi agama sih, err, saya rasa Bapak tetap salah. Ya, saya nggak mau ngoceh hal-hal yang berkaitan dengan agama, karena saya sadar kalau pengetahuan saya tentang agama masih kurang. Nanti yang ada, saya malah salah ngomong." Mentari mengedikan bahu dan menatap ke arah Awan yang kini menarik napas panjang untuk meredakan tawanya. "Jadi, Om, bisa tolong usir makhluk menyeramkan itu sebelum dia memutuskan untuk terbang ke arah saya dan guru keluaran neraka ini?"

Senja Alexandro bersumpah dia akan membuat pertanyaan-pertanyaan paling sulit untuk Mentari dan semua teman-temannya di kelas cewek itu. Jadi, kalau mereka kesulitan menjawab dan mendapatkan nilai jelek, Senja akan menyalahkan Mentari dan menyodorkan cewek itu ke teman-teman sekelasnya agar diomeli habis-habisan.

"Fine," kekeh Awan. Dia masuk ke dalam ruangan Senja dan menunjuk ke arah sapu yang ada di belakang pintu. "Gue boleh pakai benda itu?"

"Silakan pakai benda apa pun yang lo mau untuk membunuh makhluk itu, Wan!"

Awan terkekeh geli dan menggeleng. Ini semua karena semua sepupu Senja pernah mengerjai sahabatnya itu. Dulu, Senja sedang asyik membaca, ketika beberapa sepupunya menumpahinya dengan kecoak-kecoak mainan. Sangat banyak. Sayangnya, di antara mainan tersebut, ada kecoak asli yang menyempil. Kurang lebih sebanyak tiga ekor. Dan, salah satu di antaranya masuk ke dalam pakaian Senja, menyebabkan seisi rumah heboh karena Senja menangis histeris. Sejak saat itu, Senja jadi sangat takut pada kecoak.

Setelah berhasil kecoak itu berhasil dikeluarkan oleh Awan, Senja dan Mentari langsung mendesah lega. Keduanya terduduk di atas sofa dengan lesu dan lemas. Tidak ada perdebatan seperti biasa. Yang ingin dilakukan oleh Senja dan Mentari hanyalah beristirahat dan melupakan semua hal mengenai si kecoak. Nyaris saja nyawa keduanya terancam. Jika Awan mendengar hal ini, mungkin cowok itu akan kembali menertawakan Senja dan Mentari.

"Jadi," kata Awan kemudian, membuat Senja dan Mentari mendongak ke arahnya. "Ada hubungan apa di antara kalian berdua?" tanyanya dengan nada geli dan menggoda. Membuat Senja dan Mentari mengerjap dan melongo, kemudian saling tatap dan menunjuk masing-masing individu.

"Sama si guru neraka ini?"

"Sama si siswi tengil ini?"

Awan tertawa lagi dan menggeleng geli. Kedua orang di depannya benar-benar merupakan hiburan untuknya.

"Yang benar aja!" seru Senja dan Mentari bersamaan, lalu mendengus dan membuang wajah.