webnovel

Chapter 40 - Kau di sini? (1)

Sebuah suara erangan keluar dari remaja yang masih memejamkan mata di atas pembaringan. Perlahan remaja itu mengerjapkan kelopak matanya. Sebelum akhirnya mata itu terbuka. Menunjukkan manik mata berwarna hitam kecoklatan.

Valias mengerang. Membawa tubuhnya bangun sembari menutup kedua matanya dengan satu tangan.

"Tuan muda."

Langsung mengerutkan kening begitu mendengar suara familiar dari arah sampingnya.

Menoleh, melihat Alister yang berdiri dengan kedua tangan di belakang tubuhnya. Memasang senyum ke arah Valias yang masih belum setengah tersadar dari tidurnya. "Yang mulia Frey menghubungi nona mage Mareen." Alister tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Dia bilang yang mulia Frey meminta Anda untuk ke istana."

Valias mengernyit. Masih merasa mengantuk tapi juga bertanya-tanya kenapa pemuda itu memanggilnya.

Valias menggelengkan kepalanya pelan. Mencoba untuk menyadarkan dirinya.

Dia perlahan menurunkan kakinya ke lantai. Memberdirikan dirinya. Tapi tubuhnya sedikit oleng. Alister meraih bahunya dan membantu tuan mudanya itu berdiri.

Alister memandangi Valias dengan mata datarnya.

Kenapa dia begitu menurut?

Jika memang Valias sedang tidak bisa memenuhi panggilan sang putra mahkota, dia hanya perlu menolak.

Tapi Alister kemudian memasang senyum miring. Mari biarkan dia bertindak semaunya dan lihat apa yang akan terjadi.

"Hm." Valias mengeluarkan gumaman. Memberitahu Alister bahwa dia berterimakasih karena sudah membantunya menjaga keseimbangan.

Valias masih ingin tidur. Dia merasa sangat lelah.

Tapi Frey memanggil. Dia yakin ada hal yang penting. Valias harus ke sana.

Dia teringat sesuatu. "Bagaimana dengan Dina?"

Dia mengerutkan kening. Dirinya sebelumnya tertidur begitu saja dengan sangat tiba-tiba.

Apa yang terjadi? Pingsan? Valias benar-benar tidak menyangka dirinya akan pingsan seperti itu.

Dia ingat kelelahan yang menyelubunginya sebelum kegelapan mengambil alih seluruh tubuhnya. Tapi itu terlalu tiba-tiba hingga membuat Valias bertanya-tanya pada dirinya sendiri. "Nona Dina sempat terkejut dan panik. Tapi Alister ini sudah menenangkannya. Memintanya untuk tidak mengatakan apapun," ucap Alister tersenyum. "Saya yakin tuan muda tidak apa-apa dan hanya sedang kelelahan sedikit."

Valias mengangguk. Membenarkan ucapannya.

Akan buruk jika Dina mengatakan sesuatu pada Hadden. Pria itu akan menyulitkan Valias.

Dia merasa dirinya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan dia harap orang-orang di sekeliling Valias Bardev juga berpikir begitu.

Aku harus bergerak cepat.

Valias memijakkan kakinya. Masih dengan kedua tangan Alister di bahunya. "Saya pikir ada baiknya Anda berganti pakaian terlebih dahulu, tuan muda." Sang pelayan berkata.

Valias tersadar dan langsung menundukkan kepalanya. Melihat pakaiannya yang memiliki noda merah darah. Meski hanya sekedar sedikit bercak kecil. Selain itu kemeja putihnya kusut karena dia gunakan tidur.

Valias mengangguk. Setuju pada ucapan pelayan itu.

Alister membantu Valias mengganti pakaiannya. Bahkan memberikan Valias sedikit riasan agar remaja itu terlihat lebih segar meski aslinya terlihat pucat.

Valias membenahi pakaiannya sedikit. Sebelum teringat sesuatu dan mengangkat wajahnya. "Kau akan ikut denganku."

Alister menaikkan alisnya. "Ya?"

Valias meraih surai merah panjangnya dan membawanya ke belakang telinga. "Aku punya firasat ada seseorang yang datang. Kau harus melihatnya juga."

Alister tidak bersuara di tempatnya.

Ini pertama kalinya Valias mengajaknya untuk ikut ke istana. Biasanya tuan mudanya itu selalu menolak. Mengatakan bahwa dia ingin pergi sendiri.

Alister memandangi Valias yang masih membenahi beberapa bagian pakaiannya datar.

Siapa kira-kira? Alister bertanya-tanya.

Mari kita lihat saja. Aku harap aku akan dipertunjukkan sesuatu yang menarik. Alister menyeringai tipis.

"Saya mengerti. Saya akan memanggil Nona Mareen kemari."

Valias memberikan anggukan. Alister pergi keluar ruangan dan kembali tidak lama kemudian. Membawa Mareen sang mage wanita ke dalam kamar Valias.

"Maaf atas kelancangannya, Tuan Muda."

Valias menggeleng tanpa ekspresi.

Untuk melakukan sihir berpindah maka seseorang harus membuat pola lantainya terlebih dahulu.

Kapan Mareen melakukannya?

Tapi Valias kemudian mengabaikan hal itu. Itu tidak penting. Yang penting adalah Mareen bisa melakukan sihir berpindah padanya.

"Dia akan ikut bersamaku." Valias berkata. Menunjuk Alister dengan menoleh ke arahnya. Mareen sedikit terkejut. Baru kali ini tuan muda berambut merah itu memintanya untuk mengirim orang lain selain dirinya. Dia kemudian mengangguk.

"Saya mengerti." ucapnya. Valias memberdirikan dirinya di titik yang ditunjuk Mareen.

Itu adalah sebuah pijakan lantai tidak jauh dari ranjang Valias. Valias bisa melihat pola samar di atas lantai keramiknya.

Alister berdiri di sampingnya. Mareen mengaktifkan mantranya. Membuat cahaya mengelilingi kedua orang lain di dalam ruangan itu.

Alister memejamkan matanya pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum. Diam-diam menyerapi sensasi dikenakan sihir berpindah yang sudah lama tidak dia rasakan.

Alister membuka matanya perlahan begitu dia merasakan cahaya sihir berpindah telah meredup. Melihat ruangan kerja besar yang sudah dia kunjungi sebelumnya.

Itu adalah ruangan Frey.

Laki-laki berambut perak itu berdiri di depan mejanya. Wajahnya terlihat aneh.

Kedua tangannya yang bergelantung di kedua sisi tubuhnya terlihat kaku. Seperti sudah menanti keberadaan tamunya sejak beberapa menit yang lalu. Dan akhirnya terlihat sedikit lebih lega begitu melihat orang yang dinantinya telah datang.

"Valias. Ah," Frey terlihat terkejut melihat kehadiran Alister di sisinya.

"Saya membawa Alister bersama saya, yang mulia." Suara Valias membuat Frey terdiam dengan wajah terperangah. Alisnya terangkat naik dan matanya sedikit membulat. Laki-laki itu menelan ludah sebelum kembali bersuara. "Baiklah. Kalau itu maumu maka pelayanmu bisa ikut bergabung dengan kita."

Alister yang masih berdiri tanpa mengalihkan pandangannya dari sang putra mahkota menyadari setitik ketidaknyamanan juga sedikit keterkejutan bahkan kepanikan dari pemuda calon raja Hayden itu.

Kita? Alister bertanya-tanya apa yang dimaksud sang pemuda dengan 'kita'.

Alister melihat sang putra mahkota yang menolehkan wajahnya ke samping. Bibirnya merapat. Terlihat gugup dan masih diselimuti ketidakpercayaan. Dia juga merasakan Valias yang mengalihkan pandangannya ke samping. Jadi Alister ikut mengalihkan pandangannya.

Terdiam melihat keberadaan empat sosok manusia, dengan telinga runcing. Dan pakaian sederhana yang tertutup jubah.

"Bukankah mereka para elf yang sebelumnya kau temui?" Alister mendengar sang putra mahkota bersuara.

"Iya, Yang Mulia." Dilanjut dengan Valias yang ikut berucap. "Nona Pralta."

Remaja itu memasang senyum. Melihat sang elf perempuan hadir di antara ketiga elf lainnya.

"Tuan Valias." Pralta meletakkan tangan kanannya di depan dada. Menundukkan kepalanya khusyuk. Diikuti oleh ketiga orang lainnya.

Salah satunya adalah Rama. "Tuan Valias." Dia berucap dengan sangat hikmat. Menghimpun seluruh rasa hormat dan memuja di dalam dua kata itu. "Kami datang."

Valias mengangguk. "Terimakasih. Silahkan duduk." Dia mengulurkan tangannya. Memberitahu keempat elf itu untuk mendudukkan diri mereka di sofa yang tersedia. Frey tidak memiliki pikiran akan kelancangan remaja putra count itu sedikitpun.

Nyatanya dia masih terlalu syok.

Dirinya sedang mengurusi tumpukan dokumen kerajaan seperti biasa. Menghela nafas frustasi. Tidak sabar untuk meninggalkan tanggung jawab dan pergi ke kamar tidur.

Dia sedang menggerakkan tangannya menulis dengan kepala setengah melamun. Ketika dirinya melihat cahaya keluar dari pola lantai di ruangannya. Disusul dengan kehadiran empat sosok manusia di atas pola lantai itu. Keempatnya mengenakan jubah yang menutupi seluruh tubuh dan wajah mereka.

Jantung Frey berdegup kencang. Buru-buru berdiri sembari mengulurkan tangannya mencari pedang yang biasanya tersandar di kolong mejanya

Tapi kali ini benda panjang dan tajam itu sedang tidak ada di sana. Dia ingat dia sempat meminta Kalim untuk membersihkannya. Membuatnya semakin mengkilap. Karena dirinya merasa tidak akan membutuhkan benda itu untuk beberapa waktu ke depan. Segala hal berlangsung dengan damai. Tidak ada sedikitpun keperluan baginya menyimpan senjatanya di dekatnya. Tidak ada sedikitpun keharusan untuknya menyiapkan perlindungan diri.

Tapi saat ini, dengan begitu tiba-tiba, empat sosok misterius dengan jubah muncul begitu saja di ruangannya. Di kala seperempat waktu menuju tengah malam. Memberikan ketersiagaan pada sang pemuda berambut perak itu.

Kesiagaannya semakin menjadi-jadi ketika dia menyadari salah satu dari mereka menggerakkan tangannya ke arah kepala. Menarik turun tudung jubah. Hingga menunjukkan apa yang sebelumnya tersembunyi di balik kain berwarna hijau kecoklatan itu.

Frey terperanjat. Alisnya terangkat naik dan matanya melotot lebar. Mulutnya menganga. Melihat bentuk telinga yang dimiliki oleh orang yang membuka tudung jubah itu. Disusul dengan ketiga orang lainnya.

Seorang pria.

Dengan bentuk telinga yang tidak biasa.

Bentuk telinga yang biasa Frey lihat dalam bentuk sketsa di buku-buku anak-anak yang biasa dia baca ketika dirinya kecil dulu.

Sekarang, dia melihat empat orang, memiliki sepasang telinga yang bentuknya menyamai bentuk di gambar sketsa buku yang dia baca.

Yang pertama kali menunjukkan wajahnya adalah seorang pria yang jelas lebih tua darinya, tapi belum setua mendiang ayahnya, Chalis Nardeen.

Kemudian seorang wanita muda. Juga dua orang lain yang merupakan laki-laki tinggi yang juga terlihat sedikit lebih tua darinya.

"Di mana tuan Valias?" Pria yang pertama kali membuka tudung bersuara. Frey yang masih tidak sanggup berkata-kata hanya bisa tergagap. Dengan tangan meraba-raba meja. Mencari bola kaca.

Salah satu dari pemuda tinggi dengan telinga runcing itu mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya. Membuat Frey mampu melihat benda apa yang ada di genggaman sosok elf itu.

"Tarez,"

Pria tadi menoleh. Sudut matanya memandang pemuda tinggi itu datar.

Sang pemuda terlihat sedikit berwajah masam. Sebelum memasukkan lagi pedangnya ke dalam sarung yang tersembunyi di balik jubah miliknya.

"Boleh saya tau siapa Anda?"

Pria itu bertanya kepada Frey. Frey yang sudah menemukan keberadaan bola kaca itu terperanjat sebelum menelan ludah.

"Aku Frey Nardeen. Calon Raja Hayden."

Dia menjawab dengan seluruh keberanian yang terkumpul olehnya. Pria elf itu mengangguk-angguk. Sebelum kemudian memandangi Frey dengan sepercik kehormatan. "Apakah kami akan bisa menemui Tuan Valias, Yang Mulia."

Frey menelan ludahnya.

Dia teringat pada perkataan Valias.

Bahwa seorang elf, atau lebih, akan mendatanginya melalui titik koordinat yang diperoleh melalui Vetra.

Frey sudah memberi izin untuk itu. Tapi dia tidak menyangka para elf itu akan menghampirinya di saat sekarang. Di kala dia memiliki penampilan yang berantakan sebagai seorang putra mahkota. Karena telah mendorong dirinya untuk menyelesaikan segala hal sebelum hari pengangkatannya menjadi Raja Hayden tiba.

Penampilannya saat itu sangatlah tidak layak untuk menunjukkan sosok calon raja Hayden. Dia merasa tidak nyaman dan kikuk.

"Aku akan memanggilnya ke sini." Frey berujar dengan suara sebermartabat mungkin. Dia juga memusatkan segala kefokusannya untuk bisa meraih postur puta mahkotanya. Membuat dirinya setenang dan seberwibawa mungkin.

Pria elf itu mengangguk. "Saya mengerti." Dia kemudian menoleh. Memberi anggukan.

Yang kemudian dibalas oleh elf wanita yang ada di sampingnya. Elf wanita itu melangkahkan kakinya ke arah sofa ruangan kerja Frey yang sedari tadi sudah dia sadari keberadaannya. Disusul dengan ketiga orang lainnya. Meninggalkan Frey sendirian di balik meja kerjanya yang berletak cukup berdekatan dengan pola sihir di lantai.

Frey melihat bagaimana keempat orang itu berdiri khusyuk di balik salah satu sofa panjang. Berdiri dalam diam seolah menunggu seseorang untuk datang.

Frey menelan ludahnya. Buru-buru membuat panggilan pada Mareen yang ada di kediaman Bardev. Berharap mage wanita itu belum menyelamkan dirinya ke alam mimpi. Begitu juga Valias yang Frey pikir pasti sudah tertidur di waktu semalam sekarang. Pemuda pucat dan ringkih itu harus banyak beristirahat. Sudah benar jika laki-laki itu sudah tenggelam dalam alam mimpi demi mengistirahatkan dirinya.

Tapi hanya untuk saat ini. Frey berharap Valias belum tidur dan bisa menerima panggilannya.

Dan sekarang di sinilah Valias. Berdiri di depannya. Mempersilahkan keempat elf itu untuk duduk dengan penuh ketenangan dan karisma yang bisa Frey rasakan dari sekedar melihat punggungnya saja.

Perlahan ketenangan menghampiri dirinya. Merasa segala hal akan baik-baik saja sejak sang putra misterius count Bardev itu sudah hadir berdiri di depannya.

Frey perlahan-lahan merapihkan penampilannya. Memantaskan diri setelah berdiri untuk cukup lama dengan penuh penantian dan kekhawatiran menunggu sesosok pemuda dengan rambut merah muncul di ruangannya. Untuk membawanya keluar dari ketercanggungan.

Frey menghela nafas tanpa suara sebelum menyadari sosok sang pelayan bernama Alister yang berdiri diam tanpa suara di tempatnya. Belum bergerak sedikitpun dari tempatnya.

Wajahnya tidak terlihat berubah sama sekali. Masih datar dan mengeluarkan aura yang memancing kecurigaan. Tapi Frey bisa merasakan keterkejutan orang tua itu. Sudah pasti tidak menyangka akan melihat empat sosok manusia dengan telinga runcing yang sejak awal hanya dianggap sebagai bualan penulis belaka.

Alister terdiam di tempatnya.

Luar biasa.

Dia melihat bagaimana Valias Bardev berinteraksi dengan salah satu elf itu. Mempertunjukkan hal yang tidak Alister duga sama sekali.

Sejak kapan tuan mudanya mengenal sosok manusia bertelinga runcing itu. Bagaimana dia menemukan mereka. Bagaimana keempat orang itu terlihat sangat menerima kehadiran Valias dan menghormati sosoknya.

Hal itu membawa kesiagaan pada Alister.

Tuan mudaku, bukanlah orang biasa.

Ada banyak sekali misteri yang Alister rasakan dari sosok pemuda yang dia layani sebagai putra pertama misterius keluarga count Bardev tempatnya mengabdikan diri itu.

Dia menanti Valias Bardev yang mempertunjukkan lebih banyak hal kepadanya.

"Terimakasih sudah datang." Valias berkata begitu dirinya mendudukkan diri di atas sofa di depan Rama dan Pralta yang duduk bersama di seberangnya. Sedangkan kedua elf lainnya berdiri tegap seperti pengawal di kedua sisi sofa yang diduduki kedua pasangan ayah dan putri elf itu.

"Dengan senang hati, Tuan Valias. Kami para kaum elf akan melakukan apapun yang Tuan Valias perintahkan. Tuan Valias hanya perlu meminta." Rama berkata dengan begitu khusyuk dan hikmat dengan penuh penghormatan.

Valias sedikit terperangah. Tidak menyangka elf pria itu akan bersikap seperti itu terhadapnya.

Begitu juga dengan Pralta. Yang terlihat sangat menunduk. Menunduk ke arah dirinya. Seolah dirinya adalah sosok yang begitu dihormati oleh kedua elf itu.

Hal itu membuat Valias bingung tapi dia memutuskan untuk mengabaikannya.

Sebaliknya, dia menyadari ketiadaan Frey. Menoleh ke belakang untuk melihat pemuda itu berdiri di belakangnya. Bersama Alister yang juga berdiri di belakang kiri Frey.

"Yang mulia. Duduklah kemari." Valias memberitahu Frey melalui pandangan mata. Memberitahu calon raja Hayden itu untuk duduk bersamanya. Menghadapi kedua elf yang ada di dalam ruangan.

Frey sedikit terperanjat. Tidak menyangka remaja itu akan menyuruhnya duduk berhadapan dengan kedua elf yang sebelumnya terlihat begitu acuh pada fakta bahwa dirinya adalah calon raja Hayden.

Sebaliknya, mereka lebih menunjukkan rasa hormat kepada Valias dibanding dirinya.

Frey merasa tidak nyaman. Tapi dia merasa tidak wajar untuknya sebagai sosok raja Hayden untuk takut pada empat sosok manusia elf yang masih bisa dibilang hidup di lingkungan Hayden yang berada di bawah kekuasaannya.

Frey dengan gerakan yang sedikit kikuk membawa dirinya ke samping Valias dan mendudukkan dirinya di sisi remaja itu. Valias mengangguk dan mengembalikan perhatiannya pada kedua sosok elf di hadapannya.

"Hayden akan sangat menghargai bantuan kalian dan memegang janji untuk merahasiakan keberadaan serta melindungi keselamatan kaum elf di bawah nama Hayden." Valias berujar dengan penuh ketenangan. "Untuk saat ini aku hanya ingin mempertemukan kalian dengan calon raja Hayden Frey Nardeen. Kalian akan membantu Hayden atas namanya. Perang akan terjadi dalam sembilan bulan. Kami harus mengumpulkan setiap kekuatan yang tersedia untuk menemui hari itu."

Suara Valias berkumandang di telinga setiap orang yang ada di dalam ruangan. Termasuk Alister yang merasakan alisnya terangkat naik terhadap apa yang baru saja disebutkan oleh laki-laki itu.

Perang? Hayden? Dalam sembilan bulan? Dengan siapa?

Alister bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Sedangkan Frey yang duduk di sebelah Valias melebarkan matanya dan kehilangan kemampuannya untuk menjaga ketenangan dirinya. "Sembilan bulan? Perang akan terjadi dalam sembilan bulan? Itukah yang kau lihat?" Frey memajukan tubuhnya demi bisa lebih leluasa memperhatikan ekspresi Valias. Ekspresi itu tidak mengalami perubahan.

Perang akan terjadi dalam sembilan bulan, dan itu adalah hal yang pasti terjadi.

Frey kehilangan kata-kata dan langsung dengan perlahan menurunkan bahunya. Merasa lemas dan kehilangan tenaga.

Para elf itu juga sedikit bergidik begitu mendengar keterangan waktu yang diberikan oleh sang penerima berkah dewa di hadapan mereka.

Dalam sembilan bulan. Mereka harus mempersiapkan diri menghadapi perang dan bertarung demi sang pemuda berambut merah itu.

Sedangkan Alister di tempatnya mulai menganalisis keadaan dengan kepalanya sendiri.

Valias Bardev tau akan masa depan yang akan terjadi. Dengan mimpi yang dia dapat sebagai petunjuk dari dewa, laki-laki itu melihat apa yang akan muncul dalam sembilan bulan.

Alister juga harus mempersiapkan dirinya sendiri jika itu akan terjadi.

Rama telah bergidik, tapi segera mengumpulkan ketenangan dirinya. "Kami mengerti. Tuan Valias hanya perlu memberitahu kami apa yang harus kami lakukan." Dia berucap.

Valias mengangguk.

Sudah tahu apa saja yang akan dia pintakan kepada para elf itu.

04/06/2022

Measly033