webnovel

Memiliki Sepenuhnya

Septi bolak-balik mengubungi nomor itu, tapi nomor itu masih tidak bisa dihubungi hingga pukul tujuh ini. Rencana mau berangkat jam lima pagi tampaknya gagal, kemana Bara?

Septi meraih kunci motornya, ia takut ada sesuatu hal buruk yang terjadi. Bukankah kemarin Bara meninggalkan kunci apartemen miliknya untuk Septi bawa? Jadi lebih baik ia kesana untuk mencari tahu kenapa Bara susah sekali dihubungi, padahal ia sudah bikin janji bukan?

Ia bergegas memacu motornya ke sebuah apartemen yang lumayan berkelas di kotanya itu. Tak perlu waktu lama, karena apartemen itu berada di tengah kota yang tidak jauh dari rumah Septi. Ia bergegas memarkirkan motornya di area parkir mall yang satu area dengan apartemen Bara.

Lantai lima nomor D31 kemarin kan? Septi bergegas naik ke atas dengan lift, dengan sedikit kikuk ia mulai mencari nomor yang kemarin Bara sebut. Dan di sini! Dengan tangan bergetar Septi memasukkan kunci itu, lalu memutarnya, dan benar saja pintunya dengan sangat mudah tsrbuka.

Unit apartemen itu begitu sepi, kemana Bara?

"Abimana?" panggil Septi sambil celingak-celinguk di depan pintu, namun tidak ada jawaban.

Dengan perlahan Septi masuk ke dalam, hanya ada satu kamar di apartemen itu dan Septi berubah gemas ketika menemukan sosok Bara tengah terlelap di balik selimutnya, astaga!

Septi hendak mengejutkan sosok itu, namun ketika melihat betapa pucat wajah laki-laki itu ia mengurungkan niatnya. Sebenarnya sangat bodoh jika ia hendak mengukur suhu dengan telapak tangannya, namun tidak ada pilihan, ia tidak bawa Thermo gun atau alat apapun untuk mengukur suhu badan.

Septi menempelkan tangannya di dahi Bara, dan ia tersentak ketika mendapati betapa panas suhu tubuh Bara. Mungkin hampir empat puluh derajat Celsius!

"Abi ... Bi ... bangun." Septi berusaha membangunkan Bara.

"Hhmmmm ...," sosok itu hanya menlenguh pelan, sama sekali tidak membuka matanya.

"Abi, kenapa badanmu panas sekali sih? Kemarin kan baik-baik saja!" Septi masih berusaha membangunkan Bara, namun Bara sama sekali tidak membuka matanya.

Septi bangkit dan melangkah ke dapur, ia mengambil air dan handuk kecil untuk mengompres Bara. Septi menyibakkan selimut tebal yang menutupi tubuh Bara, bagaimana suhu tubuhnya mau turun kalau tubuhnya di tutupi selimut setebal ini sih?

"Abi ... kamu kenapa sih?" dengan perlahan Septi meletakkan handuk kecil itu di kening Bara, ia menyetel AC nya sedikit sejuk, kalau terlalu dingin bisa membuat tubuh Bara mengigil.

Ia duduk di samping tubuh yang terbaring itu, rasanya Septi benar-benar suka memandangi wajah itu. Ahh ... bodoh kalau dia dulu menolak Nindi dikenalkan dengan sosok ini, tapi akhirnya mereka malah bertemu sendiri bukan? Rasanya Septi benar-benar beruntung.

"Sep ...," panggil suara itu lirih.

"Iya Bi ... aku di sini," Septi menggenggam erat tangan itu.

Bara mulai membuka matanya, "Kamu di sini?"

"Aku menghubungi mu sejak tadi, kita janji mau berangkat jam lima bukan? Karena tidak ada jawaban sama sekali jadi aku kesini."

Bara kembali memejamkan matanya, "Maafkan aku, kepalaku pusing banget."

"Badanmu panas, ke dokter yuk?" ajak Septi lembut.

"Nggak usah ah, aku istirahat saja Sayang." tolak Bara hendak meraih selimutnya lagi.

"Eh, jangan! Kalau selimutan tebal macam itu kapan suhu tubuh mu akan turun?"

"Begitu? Kalau begitu sini peluk aku!" Bara menarik Septi hingga gadis itu jatuh ke sisinya, lalu memeluknya erat-erat.

Septi tersentak, bukan karena panasnya suhu tubuh Bara yang menyapa kulitnya, namun juga karena ini pertama kalinya Bara memeluk tubuhnya.

"A ... Abi, ini bahaya lho." bisik Septi sedikit gugup, namun Bara tidak menjawab. Septi melirik sosok yang tengah memeluknya erat itu. Sebuah dengkuran halus menyapanya, rupanya ia sudah kembali tidur.

Dan terjebaklah Septi di sana, di atas ranjang itu, dalam pelukan tunangannya. Septi menghela nafas panjang, ia hendak menyingkirkan tangan Bara yang memeluknya itu. Namun ketika Septi hendak mengangkat tangan itu, pelukan Bara malah semakin erat memeluknya.

Akhirnya Septi menyerah, ia diam membisu dalam pelukan Bara. Hingga tak terasa lama-lama mata Septi ikut terpejam. Rasanya begitu nyaman pelukan itu, dan Septi benar-benar terbuai olehnya.

***

Bara mengerjapkan matanya, ia sedikit terkejut ketika menemukan Septi tengah tertidur pulas dalam pelukannya itu. Ia menatap sekeliling, aman! Mereka tidak melakukan hal yang kelewat batas hari ini.

Bara dengan perlahan melepaskan pelukan itu. Ia menarik tangannya, namun tepat disaat ia menarik tangannya Septi ikut terjaga.

"Sudah bangun? Tidurmu pulas sekali," Septi bergegas bangun dan duduk tepat di hadapan Bara.

"Rasanya tadi benar-benar pusing. Jam berapa ini?" Bara menoleh menatap jam kecil yang ada di nakasnya, "Astaga, jam sebelas siang?" lama juga ia tidur.

Septi buru-buru meletakkan kembali telapak tangannya di dahi Bara. "Suhu tubuhmu sudah normal, tadi pagi panas banget." gumannya lalu tersenyum.

Bara meraih tangan itu, mata mereka bertemu sesaat. Sungguh wajah itu benar-benar mengalihkan dunia Bara. Manik mata itu begitu menggoda untuk terus ditatap sedalam ini, dan bibir itu. Bara mendekatkan wajahnya lalu dengan lembut ia meraih bibir itu. Sudah begitu lama bukan ia tidak menikmati bibir semanis ini?

Ciuman yang awalnya begitu lembut itu berubah panas ketika Septi hanya membeku diam tidak melawan, bahkan setelah beberapa detik ia malah membalas lumatan Bara dengan sama panasnya.

Ini ciuman pertama mereka bukan? Dan Septi benar-benar menikmatinya. Bara melepaskan tautan bibir mereka setelah cukup lama bibir mereka bertaut satu sama lain, setelah puas beberapa kali bertukar Saliva dan setelah ia rasa mereka hampir kehabisan nafas.

Wajah Septi merah padam, ia menundukkan wajahnya, Bara hanya tersenyum lalu meraih kembali wajah itu dan menatap manik mata Septi.

"Maaf acara kita hari ini gagal," bisik Bara lirih.

Septi hanya mengangguk pelan, ia balas menatap manik mata itu. Bara tersenyum, lalu dengan cepat kembali melumat bibir merah Septi tanpa lebih dulu meminta izin pada sang pemilik.

Nafas Bara memburu, setelah hampir satu tahun lebih puasa tidak menyentuh wanita, rasanya gejolak itu tidak mampu Bara kendalikan lagi. Gairah itu sudah sampai ubun-ubunnya, sesuatu miliknya dibawah sana sudah memberinya kode dan Bara benar-benar sudah tidak sanggup lagi.

Ia mendorong tubuh Septi ke ranjang, tanpa melepaskan tautan bibir mereka, tangan Bara sudah bergerak kemana semestinya harus bergerak.

"Ahhhh ... Aaaabbbiiii ...," Septi melenguh keras-keras sambil mencoba menjauhkan wajah Bara dari lehernya.

Namun Bara tidak mundur, ia terus menjelajahi leher Septi hingga gadis itu menggelinjang hebat.

"Aaaabbbiiii ...," Septi kembali memekik ketika tangan Bara mulai menyusup dalam bra-nya. Memainkan sesuatu miliknya di dalam sana.

Nafas Bara tersengal-sengal, ia menatap mata Septi dengan tatapan berkabut penuh harap. Tak perlu menunggu apa jawaban gadis itu, ia bergegas membuka kaos yang dikenakan Septi hingga pemandangan indah itu menyapa matanya.

Bara makin beringas, ia meraih gundukan lemak dihadapannya yang begitu mulus dan menggoda itu.

Septi hendak memberontak, namun kenapa rasanya tubuhnya sama sekali tidak mau diajak kompromi? Kenapa ia malah tubuhnya begitu menikmati sentuhan-sentuhan itu?

Septi hanya memejamkan matanya sambil mengigit bibirnya kuat-kuat, hingga kemudian ia merasa tangan Bara masuk hingga ke bawah sana ... jauh di bawah sana ...,

"Aaabbbiii ...."

***

Maaf ya mulai panas lagi hehehe

Please bantu Review Bara dong, Bara masih butuh kira-kira dua puluh review lagi nih, yuk bantuin Bara.

Review aja ya, kasih bintang lima hehehe

Terimakasih banyak

ตอนถัดไป