webnovel

Antariksa [ Dari Angkasa ]

Yang dingin belum tentu galak. Rinai merasakannya dengan Antariksa Zander Alzelvin, ketua band The Rocket sekaligus ketos itu mengisi hari-harinya di masa-masa SMA Seperti apa keseruannya? Mari kita halu bagaimana memasuki kehidupan para tokoh seakan-akan berperan di dalamnya

hiksnj · แฟนตาซี
เรตติ้งไม่พอ
51 Chs

50. Rumah Antariksa

Sampai sore harinya, Antariksa menyapu, Agung mengepel. Sampai ada Koko yang memegang undangan kenduren di bagikan ke rumah terdekat.

"Ba'da Isya' ya kak," ujar Koko memberikan satu undangan fotocopy bertuliskan keluarga almarhum Darmo.

Antariksa mengangguk, lumayan menghindari dua manusia yang suka berkentang, Agung dan Brian. "Iya, makasih ya ko,"

Agung meraih undangan itu. "Jadi lo yang wakilnya?"

Antariksa mengangguk, Angkasa pulangnya jam 9 malam. Kenduren itu hanya satu setengah jam yang di isi tahlil, surah Yasin, do'a, makan nasi yang di suguhkan biasanya soto ayam atau rawon.

"Wah, pasti pakai kopyah sama sarung nih. Antariksa menjelma sholeh," goda Agung, Antariksa memilih masuk, Agung dan Brian sama-sama penggemar makanan.

Agung heboh menunjukkan undangan kenduren itu pada Brian dan Rafi. Brian yang sudah tau apa itu kenduren pun bahagia, ada nasi dan jajan di kardus pastinya!

Tapi Brian memilih diam, biarlah Agung itu kudet.

"Sampai segitunya, emang kenapa sih? Terus Antariksa tadi kok cemberut?" Rafi heran saja, bibir Antariksa cemberut seperti bebek tetangganya, bebek yang paling gemuk jalannya megal-megol.

"Nanti setelah Isya' Antariksa jadi wakil kenduren," Agung membaringkan tubuhnya di kursi panjang. Sejuknya, angin alami. Rumah Antariksa memang desa, terhindar dari bisingnya kendaraan berlalu lalang, udara segar terhindar dari polusi walaupun belum meyakinkan nanti ada yang membakar sampah atau padi. Sangit-nya itu kemuleng ( asapnya banyak ).

"Oh, ke rumah Antariksa itu kayak jadi wong ndeso ya," celetuk Brian, berbeda saja rasanya dengan rumah mewahnya dengan yang sederhana ini.

"Makanya, gini nih yang bikin kebanyakan cewek minder pilih cowok yang tampangnya ganteng sama yang tajir. Heran deh gue," curhat Agung, ia tak mendapatkan satu cewek pun yang tertarik padanya. Karena apalagi kalau bukan fisik dulu, bukannya hati. Orang pintar gak mungkin menolak aing.

Di kamarnya Antariksa tengah menyetrika baju koko untuk menghadiri kenduren nanti. "Beres, udah wangi," Antariksa menghirup aroma lavender yang menguar. Kumpul dengan orang desa terutama teredekat tampillah rapi, bukan hanya orang dewasa saja yang hadir nanti, ada kalangan muda, remaja, anak-anak yang di wakilkan karena ayahnya masih sibuk bekerja.

Saat adzan maghrib berkumandang Antariksa mengajak ketiga sahabatnya itu ke musholla.

"Eh, gak bisa nih. Nanti sandal gue hilang gimana? Nanti di tuker merk swallow," Agung beralasan, ia memakai merk Adidas.

Brian menggeleng heran. "Gini ya, di mana pun sandal yang hilang atau di tuker, amalan lo di akhirat sebagai saksi dari sandal itu baik. Tujuan lo kan ibadah, bukan niat nyuri sandal sembunyi-sembunyi," Brian menceramahi. Tumben sekali pintar, gak usah minder ya.

"Iya deh. Ikhlas kalau hilang," Agung ikut, keempat cowok ganteng ini menuju musholla melaksanakan sholat maghrib.

Tapi yang namanya ganteng di manapun ada yang tertarik. Seperti saat ini, tiga ibu-ibu itu tersenyum malu-malu dengan Antariksa dan Brian.

"Oalah, ganteng banget. Calon imam idaman nih,"

"Jadi pingin nikah lagi,"

"Kenalin, saya Marpu'ah mas,"

"Sa, kalau sampai ada yang bilang lo jelek itu salah. Dimana pun kalau dia cantik atau ganteng pasti di mata siapapun itu indah," bisik Agung. Ia menggiring Antariksa segera masuk ke musholla.

Setelah selesai, Agung kini meratapi nasib malangnya. "Huhuhu, masa gue pulang nyeker sih?" kedua sandalnya sudah menghilang entah kemana.

Brian menepuk bahu Agung. "Sabar, gimana kalau gue gendong?" tawaran yang salah, Agung melotot. "Ogah! Yang minat di gendong sama lo siapa?" ada kok gung, aku sama readers.

"Ayo deh, ngapain ngurusin Agung," kesal Rafi, bukankah nyeker itu sehat? Lagipula jalan disini baik, hanya batu-bagu kecil saja. Pasti rasanya seperti di pijat bebatuan kecil, melancarkan peredaran darah. Apalagi olahraga di pagi hari.

Dengan terpaksa Agung akhirnya nyeker, tanpa menggunakan sandal. "Nasib-nasib, kenapa ya selalu gue yang lucu sama yang apes?"

Sampainya di rumah Antariksa, Agung merengek lapar. "Tadi sore kan singkong rebusnya habis sa, Brian mulutnya lebar," curhatnya.

"Ya, habisnya singkong rebus itu enak. Jadi gue habisin deh," ujar Brian tanpa merasa bersalah.

Agung berjalan ke meja makan, membuka tudung saji. Nasi habis, hanya tinggal satu tempe dan ikan asin. "Kalau gini gak kenyang,"

Antariksa menghampiri Agung. "Tenang aja, kalau kenduren selesai lo boleh makan kok. Nanti nasinya ada dua malahan,"

Agung tersenyum. "Wah, beneran? Enak nih, makasih Antariksa markisa," Agung refleks memeluk Antariksa, terharu.

Brian yang tadinya ingin mengambil air putib melihat peristiwa mengejutkan pun menatap Agung horor. "Ngapain lo?" tanya Brian garang.

Agung menjauh. "Sehari gak usah galak-galak bisa gak?" lama-lama Agung kesal, suara bariton Brian itu terkadang mengejutkannya.

"Gak bisa, emang udah dari sananya gue galak. Wajah biasa di bilang emosi, jangan salah paham lah, mungkon gitu kali ekspresinya. Kayak Antariksa, dulunya galak, sekarang jinak gara-gara si kompor,"

Antariksa mengernyit. "Kompor?"

"Iya yang tau merk kompor Rinnai?" good!

"Mana gue tau, itu aja merk Quantum," Antariksa membelinya di sales yang lewat.

Lampu padam, membuat Agung berteriak histeris. "Aaaa, kalau ada hantu gimana? Sa, rumah lo gak angker kan?" Agung meraba sekitar, hingga ia mendapatkan hidung mancung. Agung memencetnya. Brian kesal. "Hidung gue!" Agung melepasnya, tak berani mengusik manusia saudara macan.

Mungkin adzan Isya' tidak akan berkumandang, Antariksa menyalakn senter di ponselnya, bersiap menuju rumah mbah Darmo.

Brian menyalakan senter warna-warni di ponselnya. Agung kagum. "Wah, punya lo kok beda sendiri Bri?"

"Aplikasi, bukan dari bawaan. Yuk di ruang tamu aja, kayaknya padang bulan nih," tak terlalu gelap, sinar yang masuk di celah-celah rumah Antariksa menunjukkan adanya padang bulan.

Antariksa sudah siap, ia membawa senter berwarna pink, kalau bukan milik ibunya tak mungkin punya ayahnya, nanti syantik katanya.

Antariksa memilih lewat pintu belakang rumahnya saja.

Agung, Rafi dan Brian di ruang tamu.

"Antariksa kemana sih? Kalau di culik hantu gimana?" Agung menakut-nakuti.

"Yang ada hantunya jatuh cinta sama Antariksa," jawab Brian, benar juga ya.

"Kenduren," Rafi lebih benar.

Selama satu setengah jam itulah ketiga makhluk hidup itu memilih bermain game di ponselnya.

Hingga Antariksa datang, lampunya nyala kembali. Antariksa menenteng kresek putih, lalu Koko dengan sepiring soto ayam yang di bagikan tetangga terdekat. Beberapa ada yang tak hadir, mungkin lampu mati ini.

Agung meraih kresek putih itu. "Hm, kayaknya enak nih," Agung membuka kardus putih polos itu. Ada roti kukus, apem, ketan dan ketan hitam, pastel, donat, pisang, wingko, roti mangkok, agar-agar.

Brian menyingkirkan kardus itu, di bawahnya ada nasi yang di wadahi rinjing. "Ini lebih enak, ada sate kambing, acar, mie, telur, cerepeng, cenggereng, krupuk udang," sebut Brian sudah hafal.

Rafi meraih piring yang di pegang Koko. "Biar gue aja. Lo kenyang kan sa?"

"Iya, tadi udah makan disana. Eh, ayah jangan lupa ke bagian jajannya," peringat Antariksa, nanti ayahnya arep-arep ( berharap ).

"Makasih ya ko soto ayamnya,"

"Iya mas Antariksa, saya pamit dulu," setelah Koko pergi saatnya makan bersama, apakah Agung akan membuat kericuhan?

Agung sekarang memakan ketan dengan pasangannya ketan hitam. Airnya itu menetes ke nasi yang tengah Brian makan seorang diri.

"Heh, jauhan dikit dong," sewot Brian.

Agung kini membawa kardus putih itu, di angkut sendiri. Antariksa? Hanya duduk melihat ketiga sahabatnya lahap memakan berkat. 'Moment gini nih yang bakalan gue kangen dari kalian,' Antariksa merasa senang jika rumahnya ramai dengan ocehan Agung, Brian si pemarah dan Rafi pelerai.

Rafi yang kesusahan mengigit sate kambingnya pun tak sengaja menyenggol Agung yang tengah memakan ketan hitam, beberapa airnya tumpah ke kaos Brian, berwarna putih pula.

Brian menoleh Agung, hanya dia yang duduk di lantai memakan nasi rinjing. "Heh, kotor nih. Gimana sih,"

Agung menunjuk Rafi. "Kayaknya sate kambingnya susah di gigit, Raf awas gigi lo ompong,"

"Makanya, punya gue nih gamo mudah di gigit. Daripada gigi lo sakit Raf," Brian kadang baik dan garang.

Akhirnya Rafi ikut makan bersama dengan Brian.

"Ayah pulang," Angkasa memasuki rumahnya. Suara Agung dan Brian terdengar dari luar, ramai sekali. "Kalian lapar ya? Habisin aja nasinya, jajannya sekalian,"

Mendengar hal itu Agung bersorak senang. "Makasih om ganteng, enak banget ya kalau berkat dari kenduren gini,"

"Jarang gung, belum tentu juga tiap hari. Kadang hajatan orang nikah, khitan, sama memperingati hari kematiannya. Udah tradisi," Angkasa ikut duduk, melihat Rafi dan Brian yang lahap memakan sate kambing.

"Kalau udah habis, di beresin ya terus tidur," Angkasa juga lelah, kerja dari pagi hingga malam membuatnya ingin di pijat Antariksa. "Pijetin ayah, di kamar aja. Kalau temenmu ngomel baunya balsem,"

Antariksa mengikuti ayahnya ke kamar urutan kedua.

Nasi habis, jajan juga habis. Ketiga makhluk hidup itu pun tertidur, Brian dan Rafi lesehan. Agung di kursi panjang. Tidur habis makan bikin gendut, selisih dua jam dulu biar pencernaannya lancar gak berhenti, kan tidur.

☁☁☁