webnovel

S2-7 VICE VERSA

Hmm, just prepare for everything you read. Hope you find their great journey here.

___________

"Because destiny is only created to be the most perfect part."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

USAI mendengarkan penjelasan dari dokter, Mile pun keluar dengan langkah berat. Katanya, gejala Apo ini hanya awal. Masih mudah ditangani, asal psikis Apo semakin membaik. Omega itu bukan butuh istirahat fisik. Tapi tertekan akan situasi sekarang. Dokter pun menyatakan boleh pulang dua hari lagi, sementara Mile masih harus berjuang dalam ranahnya.

Alpha itu siap-siap setelah sampai ke rumah. Dia memerintah pelayan menemani Apo, lalu pergi ke Hotel Akara, Bangkok.

Sepuluh menit sebelum pertemuan, Mile sudah stand by dan menunggu para calon kolega barunya. Dia ditemani Pin, Wen, Yuze, dan Jirayu. Selebihnya merupakan kursi-kursi kosong yang disediakan untuk delapan orang. Diantaranya Paing, Luhiang, sementara yang lain belum diketahui.

Kursi untuk Apo kosong tentunya. Namun, sebagai penghormatan atas ketidakhadiran, satu tempat tetap dibiarkan tak terisi. Hal itu membuat Mile memikirkan kata-kata bagus, tentang bagaimana harus mengawali pertemuan penting nanti.

"Tuan Mile, sepertinya mereka baru saja tiba," bisik Yuze kepada Mile. Alpha itu duduk memeriksa berkas. Lalu mengangguk pelan.

"Hm, beritahu Jirayu untuk ke depan," kata Mile. "Pastikan kolega dari luar merasakan sambutan hangat sini."

"Baik."

Yuze pun melangkah berdampingan dengan Jirayu. Co-translator itu kelihatan agak rikuh, padahal sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Mungkin karena pertemuan tersebut krusial, apalagi pihak-pihak di luar dugaan menyatu. Mungkin aku harus minta pendapat Pa kapan-kapan, pikirnya. Bagaimana pun beliau bawahannya Tuan Takhon. Pasti lebih paham cara menghadapinya daripada siapa pun.

"Sawadde khab," sapa Manajer Yuze kepada Paing. Alpha yang berjalan paling depan itu tersenyum, lalu membalas tangkupan tangan sama hormatnya.

"Sawadde khab," kata Paing. Dia pun langsung melenggang masuk, didampingi Yuze yang selalu sigap di sisi. Mungkin ada yang akan dibicarakan? Tapi Paing justru diam saja.

Alpha itu merapikan kancing jas depan sebelum masuk lift. Di belakangnya ada Luhiang yang sama diamnya, meski wanita itu sempat tersenyum.

Suasana terasa berat sekali. Sungguh. Jirayu yang sudah berpikir keras menata bahasa Belanda-nya pun hanya dikacang, sebab hanya sapaan perkenalannya yang ditanggapi. Namun, lelaki co-translator itu tetap coba tenang, lalu mempersilahkan satu per satu tamunya duduk.

"Gaat u alstublieft zitten, Mijnheer de heer. Bienvenida también, senora señora. Esperemos que nuestro trabajo sea fluido hoy," kata Jirayu sembari menarik kursi satu per satu. Lelaki itu tampak sangat-sangat gugup, sebab lirikan mata mereka serasa lebih tajam daripada kolega yang lain. (*)

(*) Kalimat pertama Bahasa Belanda: "Silahkan duduk, Tuan" || Kalimat kedua Bahasa Spanyol: "Selamat datang juga, Nyonya. Semoga pekerjaan kita lancar hari ini."

Para bussines-woman itu hanya mengangguk, lalu fokus ke Mile Phakpum di ujung meja. Dia yang kini berdiri di depan para bawahannya. Segera memberikan pembukaan yang wajar. Namun, Mile sebenarnya menekan diri dalam setiap kata. Dia paham Paing mengeluarkan effort besar untuk membawa mereka kemari. Karena wajah-wajah ini cukup sulit dijangkaunya.

Tiga diantara mereka bergerak dalam bidang ekstraktif, dua yang lain memiliki persatuan firma, sementara tiga sisanya sama-sama manufaktur dan industri. Hanya Paing saja yang menyediakan jasa Angkasa Pura. Dia menyimak baik perkataan Mile, begitu pun yang lain. Mereka mencatat beberapa hal dengan menggunakan pulpen. Lalu berjabat tangan di akhir sesi. (*)

(*) Estraktif: Biasanya mengelola pertambangan. Persatuan firma: Biasanya didirikan dua pengusaha yang bekerja sama, dan ini menyangkut hukum serta keuangan/bank misalnya. Manufaktur dan Industri: Pabrik barang jadi. Angkasa pura: Penerbangan/bandara.

"Baiklah, Tuan Romsaithong. Kami rasa cukup baik sejauh ini," kata Luhiang mewakili. Wanita Alpha itu segera menjabat tangan Mile. Lalu tersenyum lebar. "Soal kehakiman kasus kalian, semuanya akan disokong oleh Nyonya Bretha dan orang-orangnya. Kalian tidak perlu khawatir lagi. Senang bekerjasama denganmu."

"Baik, terima kasih," kata Mile. "Senang bekerjasama denganmu juga, Nona Luhiang. Semoga kedepannya segala hal berjalan seperti yang diharapkan."

"Ya, tentu. Sukses terus untukmu dan Tuan Natta."

"Terima kasih."

Luhiang pun berlalu dengan Bretha dan rekan-rekannya. Mereka keluar lebih dulu karena pengaturan tempat duduk paling dekat pintu, lain lagi dengan Paing Takhon.

Alpha itu masih berbincang dengan Dew di ujung, sementara sang manajer menyimak dengan anggukan. Mungkin ada beberapa perintah yang harus langsung dilaksanakan, yang pasti Paing baru merapikan berkasnya di akhir. Dia pun dibantu Dew untuk siap-siap pulang, tapi Mile mendekati mejanya. "Tuan Takhon."

"Ya?"

"Maaf, tapi aku ingin bicara sebentar denganmu. Secara pribadi," kata Mile, sembari melirik Dew sekilas. Dia juga lepas dari gaya obrolan yang formal. Pertanda ranah ini memang bukan untuk didengarkan orang lain. "Apa masih ada waktu? Jika tidak pun tak masalah. Nanti coba kutanya Anda di lain hari."

"Oh, sebentar ...." Paing pun mengecek arloji. Hampir pukul 10 malam, sebenarnya. Namun, Mile yang datang lebih dahulu? Paing rasa ini sulit diabaikan. "Ada, tentu. Nanti tunjukkan saja tempatnya. Dew biar menunggu di bawah terlebih dahulu."

Dew pun langsung mengangguk karena namanya disebut. "Baik, Tuan," katanya. Lalu segera mendekap berkas. "Saya akan turun sekarang juga. Permisi ...."

"Hati-hati."

"Baik."

Mile sendiri tidak tahu kenapa dia hangat kepada bawahan orang lain. Padahal biasanya tak begitu, mungkin karena kini posisinya adalah pihak yang menerima bantuan. Lelaki itu pun tersenyum tipis kepada Paing. Lalu melenggang bersamanya ke sebuah balkon lounge.

"Apa tak masalah di sini?" tanya Mile.

"Ya, lebih bagus, malah," kata Paing sembari memandang langit malam. "Lagipula udara setelah ruangan ber-AC? Aku tentu tak akan menolak. Memang ada apa sebenarnya?"

Mile memandangi wajah damai itu dengan teliti. Cara Paing memasukkan tangannya ke saku celana. Mengambil rokok. Menyulutnya. Lalu maju sedikit untuk membuang asap ke udara--Dia tidak jauh beda dengan Apo. Hanya saja punya pengendalian diri yang lebih kuat.

Paing juga tipe yang menekan batin. Semua itu bisa dilihat Mile selama mereka diskusi, tapi mata tak mungkin bohong.

Di luar ranah profesi, Mile tahu Paing menatap istrinya berbeda. Dia yang tampak sehebat itu, bisa kacau saat datang ke pernikahan mereka. Belum mandi, acak-acakan, tergesa-gesa, telat tapi tetap masuk, dan hadiah yang diberikan besar sekali--tolol jika Mile tidak menganggapnya serius. Tapi lebih tolol lagi jika menuduhnya melakukan hal buruk.

"Sebenarnya aku dan Apo membicarakan soal dirimu berkali-kali," kata Mile transparan saja. "Ya, karena kau adalah teman lamanya. Dan yang paling sering dia banggakan."

"Oh, benarkah?" kata Paing dengan hembusan asap rokok sekali lagi. Suaranya seperti tengah tersenyum, tapi kentara kalau memendam rasa.

Yah ... sebenarnya dia bukan pecandu. Tapi menghadapi situasi sulit yang bertubi-tubi? Paing kadang membutuhkan nikotin untuk melepaskan beban. "Aku cukup tersanjung dan terima kasih. Tapi, hm ... mungkin karena dia obsesif selama kuliah? Apo memang sering datang padaku untuk rujukan tugas."

"Ya, maka tak heran dia sangat mengagumimu."

"Hmp, Apo hanya agak berlebihan ...." kata Paing. "Toh teman-teman dan juniornya juga begitu. Kita semua berteman baik, kadang juga jalan bareng untuk refreshing."

"Terdengar wajar sekali."

Paing pun mematikan rokok setelah yakin kemana arah percakapan mereka. "Ya, memang begitu masa kuliah kami," katanya, lalu berbalik. Kedua matanya fokus kepada Mile Phakpum, tanpa sadar meladeni feromon gelap lelaki itu. "Maka kuharap kau tidak keliru, tentang bagaimana Oma Miri memandangku hingga sampai di tempat ini."

Mile pun mengepalkan tangannya. "Ya, aku paham," katanya. "Tapi tolong ingat Apo adalah milikku."

DEG

"...."

".... kami menikah, Tuan Takhon. Dan anak kami tiga di rumah," tegas Mile. "Maka tolong benar-benar jaga dirimu, batasi hubunganmu dengan dia, karena aku adalah Alpha-nya."

"...."

"Selain senior, kau bukanlah siapapun. Jadi, tidak berhak untuk memandangnya begitu lagi."

Paing pun terdiam karena dia bukan tipe orang yang bergerak gegabah. Lelaki Alpha itu membiarkan Mile menekan kuat, tapi kemudian berkata. "Maaf jika yang kau katakan telah membebani," katanya. "Aku pun tengah berdamai dengan diri sendiri, maka kau tak perlu mengingatkanku."

"...."

Kali ini Mile lah yang terdiam bisu. Sebab Paing nyata-nyata hanya di tempat, meski sosok itu lebih dari mampu untuk menghancurkan untuk saat ini.

"Tapi memang, sejauh aku mengenal Apo, dia seseorang yang tangguh dengan caranya," kata Paing lagi. "Dia muda dan berprinsip. Juga tidak pernah benar-benar jatuh."

DEG

"...."

"Apo seseorang yang pantas bertahan, Tuan Romsaithong. Karena itu aku bersedia di sini," kata Paing. Dia yang sempat diinjak tanpa aba-aba, tentu mempertahankan pilarnya sendiri. "Bukan untuk merebut dia darimu. Bukan untuk mengambil keluarga kalian. Atau anak-anak yang kau sebut itu."

DEG

"Kau--"

"Phi Paing?" sahut sebuah suara yang familiar. Mile dan Paing pun menoleh serentak, lantas menatap Bie Hsu dalam balutan baju kasualnya. Sial, tunggu dulu ... sang Omega pun baru sadar datang di saat yang salah. Dia barusan tak mendengar apapun. Karena headphone dari telinga baru dicopot. Jadi kemari murni karena melihat sosok yang familiar.

"Ya?"

Bie Hsu pun berhenti melangkah sambil meremas botol boba-nya. "Sedang apa di sini?" tanyanya menahan panik. Omega itu melirik Mile sekilas, tapi fokus kepada Paing kembali. "Maksudku, malam-malam. Pemotretanku saja sudah selesai. Apa tidak mau pulang?"

Paing pun menatap Mile sekilas. "Oh, ya. Baru akan," katanya. "Mungkin tidak lama lagi. Tapi harus kuselesaikan dulu pekerjaan di sini."

"Mmm," gumam Bie Hsu. Lalu tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan. Aku hanya tak menyangka bertemu Anda sekarang. Hehehe."

Paing pun membalas senyuman Bie. "Kau juga berhati-hatilah. Sudah larut," katanya. "Pastikan sampai rumah selamat."

Bie Hsu mengacungkan jempolnya ke punggung. "Oke, tentu. Aku tadi bersama teman kok. Cuman sekarang hilang entah kemana," katanya. "Ah ... maaf kalau sempat menganggu, ya. Anu ... tadi aku hanya sedang mencari-cari mereka."

"Hm."

"Sip, good night," kata Bie. Lalu berbalik dengan langkah urgennya. Omega itu ternyata lucu kalau tak memakai suit, apalagi saat menyapa dua temannya. Mereka seperti sekelompok remaja, padahal tokoh media dalam bidang modelling. "Oi bro! Mein hat! Gila! Kucari kalian kemana-mana!" Dia pun ditempelengi dua teman Omega lainnya.

"Apaan yang gila, Brengsek? Kami yang mencari-carimu! Ayo pergi!"

"HA HA HA HA!"

Setelah saling merangkul, langkah mereka pun makin menjauh. Sementara Paing menghela napas panjang. "Apa ada lagi yang masih mengganggu?" tanyanya kepada Mile. "Jika ada, kutunggu. Kita selesaikan segalanya langsung di sini."

"...."

"Kuharap pekerjaan kita pun tidak terganggu, Tuan Romsaithong. Jadi, tolong pikirkan perkataanku."

"Tidak ada," kata Mile pada akhirnya. Dia ikut menghela napas panjang, bahkan melonggarkan dasi karena suasana mencekik barusan. "Maaf sudah menyita waktumu. Dan terima kasih atas kedatangannya."

"Ya."

"Kuharap hal seperti ini tak ada yang kedua kali."

Paing pun membuang puntung rokoknya ke tempat sampah, lalu berjabat tangan dengan Mile Phakpum. Dia permisi setelah memastikan semuanya tuntas. Lalu tenggelam dalam lift seorang diri.

"Hahh ... ya Tuhan ...." desah Mile sambil meremas rambutnya. Dia pun berteriak agar lega, lalu menendang tempat sampah hingga terguling. "ARRRRGHHH! FUCK!"

BRAKHH! BRAKHH!

PRANG! PRANG! PRANG!

Benda itu pun jatuh, menandakan betapa kerasnya dia menahan rasa barusan. Mungkin, bukan karena Paing tidak keliru yang membuat marah. Tapi firasatnya benar-benar terjawab, dan Paing mengakuinya meski bukan dengan kata romansa. Kenapa tidak menertawakannya saja?! HAH?! Kenapa Mile sulit menemukan alasan untuk membenci?!

Dia pun gelap mata hingga tersengal-sengal, tanpa tahu sang Omega tercinta merosot di balik dinding. "Benar-benar mustahil ...." batinnya sembari meremas piama pasien yang dikenakan. "Apa yang baru saja kudengar ...."