webnovel

A Tender Heart Only For You (part 1)

Disclaimer : AU buat pecinta #Lovely Runner #ImSol #RyuSunJae #WooHye #KimHyeYoon #ByeonWooSeok. Saya cuma punya imajinasi berlebih untuk buat cerita.

.

.

.

A Tender Heart Only For You

Author : F15TY

Pair : Im Sol x Ryu SunJae

.

.

Author's Note :

Lagi kena syndrome Lovely Runner, Im Sol dan SunJae. Efek kangen mereka, jadinya buat fanfic buat mereka. Klo karakter dan setting beda dengan yang di drama harap maklum ya, karena ini versi modif dari saya ^^

Yo wies, silahkan dibaca & review.

Happy Reading Everyone.

.

.

Part o1 of 02

.

.

Januari, 2023

Mataku berjelaga melihat ke selilingku, mencari tulisan petunjuk yang bisa mengirimku menuju laboratorium. Di tanganku terdapat selembar kertas rekomendasi cek darah setelah sebelumnya menemui dokter spesialis penyakit dalam.

Postur tubuhku yang tidak terlalu tinggi, bahkan nyaris masuk kategori kerdil, membuatku terpaksa harus menjulurkan leher dan berjinjit agar bisa melihat di antara sela-sela para penghuni dan pengunjung rumah sakit Seoul. Kepalaku pusing dan lemah, tapi aku harus berobat sendiri karena tidak enak merepotkan teman kantor.

Jadi ceritanya sudah hampir seminggu ini aku mengalami demam, hilang timbul sebenarnya, jadi aku tidak terlalu menganggapnya, tapi hari ini menjelang sore rasanya badanku tidak karuan. Jadilah aku langsung naik bis menuju RS Seoul, dokter sempat menanyakan ini itu hingga akhirnya aku diarahkan untuk cek darah.

Mataku hampir kunang-kunang, akhirnya aku memilih duduk di kursi tunggu seberang counter pendaftaran. Sepertinya ini gejala tifus, karena seingatku dua bulan lalu aku mengalami gejala yang sama, dan dokter menyarankanku agar lebih menjaga pola hidup. Tuntutan pekerjaan dan jarak tempuh ke kantor sangat menyita seluruh perhatianku. Pada dasarnya aku tidak banyak makan, yang penting perutku terisi, dan sering bergadang karena laporan yang menumpuk, mungkin karena itu aku sudah menyiksa diriku sendiri.

"Berobat ke poli apa?"

Aku yang tengah sibuk mengumpulkan tenaga sambil menopang kepala dengan kedua tangan, sontak menoleh ke samping kanan, ke arah datangnya suara. Seorang pria berambut pendek agak bergelombang, tengah menoleh ke arahku, badannya terbalut seragam perawat yang berwarna ungu terang dengan logo RS Seoul di sisi saku kanan.

"Oh, aku mencari laboratorium, mau cek darah."

Suaraku terdengar serak dan aneh, padahal sampai tadi masih normal-normal saja.

"Demam sudah berapa hari?" tanya lagi, kali ini iris hitam pekatnya menelitiku dengan seksama.

"Sepertinya sudah seminggu," jawabku susah payah, rasanya hanya mengobrol sederhana saja menguras tenagaku.

"Mungkin gelaja tifus," vonisnya yang seperti mengkonfirmasi dugaanku.

"Mungkin," jawabku singkat.

"Lab ada di ujung koridor sana, memang agak sulit terlihat kalau dari sini," jelasnya dengan tangan menunjuk ke koridor panjang di sayap kanan RS. Aku menjawabnya sambil tersenyum dan tak lupa berterima kasih, lanjut berjalan dengan sisa-sisa tenagaku menuju laboratorium.

.

.

.

.

Empat bulan kemudian.

Belum sampai sakura berkembang, aku kembali ke RS Seoul dengan keluhan yang sama. Perhatianku tersedot pada layar tv yang menunjukkan berita terbaru tentang aktivitas para pelancong di Gunung Hallasan. Seluruh bobot tubuhku bersandar pada kursi tunggu sementara aku berharap namaku segera dipanggil petugas apotek. Dokter bilang aku akan jadi langganan tifus kalau terus menjalani pola hidup tidak sehat seperti ini.

Apa yang bisa aku lakukan dengan kondisi seperti ini?

Keluargaku bukan yang berasal dari ekonomi yang berkecukupan. Kakak laki-lakiku yang lumpuh dan kena penyakit autoimun tidak bisa banyak membantu. Sementara ibuku hanya menjadi pekerja paruh di minimarket. Bagaimana bisa aku bersantai sementara keluarga kami sangat bergantung padaku?

Terkadang aku merasa lelah, dan ingin berhenti, berharap waktu berhenti bergerak dan memberikanku kesempatan untuk beristirahat. Namun, harapanku hanyalah genggaman hampa. Belum waktunya aku beristirahat. Aku harus berjuang dan menelan kepahitan macam apapun.

Sakit yang aku rasakan belum seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan ibuku yang berusaha membesarkan aku dan kakakku sejak kepergian ayah saat aku berusia 5 tahun. Di usia senja ini, sudah waktunya ibuku beristirahat dan giliran aku yang berjuang. Aku begitu benci tubuhku yang ringkih dan mudah drop.

Sepertinya ini gara-gara aku yang kerja terlalu ngoyo, tanpa memperhatikan asupan makanan, apalagi vitamin. Jompo sebelum waktunya.

Aku menarik napas panjang dan melihat sebuah titik terang dalam alam bawah sadarku. Sekalipun dalam keadaan mata tertutup aku masih bisa melihat titik harapan. Aku masih bisa berjuang.

"Tifus lagi?"

"Oh?" mataku terbuka seketika dan pandanganku langsung dipenuhi wajah tanpa cela dengan sorot mata teduh yang begitu dekat.

Berkali-kali mengerjap, aku baru sadar bahwa aku bersandar pada bahu orang di sebelahku dan dia merundukkan wajahnya begitu dekat hingga aku bisa melihat pori-porinya yang bersih.

"Ma-maaf!" aku sontak menegakkan badan dan merasakan panas dengan cepat merambat di wajahku.

"Oh, tidak apa-apa. Kau berobat lagi karena tifus?"

Aku mengangguk cepat. Orang yang duduk di sebelahku adalah perawat yang empat bulan lalu menunjukkan arah ke laboratorium. Kali ini dia tidak mengenakan seragamnya, melainkan mengenakan kemeja berwarna putih polos dan celana hitam sederhana, terlihat seperti karyawan magang.

"Sebaiknya kau tetap menjaga kebersihan, pola hidup yang sehat, yang terpenting tidak makan sembarangan," katanya seraya tersenyum setengah meledek.

"Iya juga sih …." Jawabku sekedarnya. Ingat bagaimana aku sering makan apa saja yang aku masuk ke radar setiap aku dikejar deadline pekerjaan.

"Bagusnya belum sampai harus dirawat. Berobat sama siapa?"

"Sendiri."

Dia sempat membelalakkan mata mendengar jawabanku.

"Pasien Im Sol!"

Sontak aku terbangun dari dudukku saat petugas menyebut namaku dari pengeras suara. Agaknya terlalu cepat aku bergerak hingga tiba-tiba badanku terhuyung hampir jatuh, dan pria tadi menangkap tanganku dengan cepat.

"Hati-hati," katanya seraya menahan bobot tubuhku dengan tangannya yang lain.

"Terima kasih," ucapku agak kikuk, karena tangan pria itu terasa hangat, bahkan hampir panas saat menyentuhku.

Buru-buru aku berjalan menuju loket apotek, dan mengambil obat, menyelesaikan administrasi dengan agak grusak grusuk karena aku merasa begitu malu. Bisa terasa jelas sepasang mata yang masih melihat ke arahku dari kursi tunggu. Saat aku berbalik hendak pulang, dia masih berdiri melihat ke arahku, reflek aku membungkuk pamit.

Pria itu sangat tinggi menjulang, sebelumnya aku tidak menyadarinya karena dia duduk, tapi melihatnya berdiri dengan satu tangan masuk ke saku dan melambaikan tangan padaku sambil tersenyum, sosoknya terlihat seperti model karya seni.

Bagaimana bisa orang bisa terlihat sempurna seperti itu?

Aku yang pendek, kurus, muram, bahkan sakit-sakitan, merasa sangat terkucilkan dengan kehadirannya. Sudah begitu aku mempermalukan diriku sampai dua kali, pertama tertidur di bahunya, dan membuatnya menangkapku yang hampir jatuh. Seperti tidak cukup rasa malu yang aku rasakan, masih lagi ditambah rasa rendah diri karena perbedaan fisik.

Sadar Im Sol! Masih bagus kau bisa melihat pria setampan itu dari jarak dekat.

Semoga aku tidak bertemu lagi dengannya, aku tidak tahu bagaimana harus pasang wajah kalau melihatnya lagi. Malunya sampai ke ubun-ubun.

.

.

.

.

September 2023

"Im Sol Nuna?"

Aku terdiam di depan tangga menuju lobi RS Seoul. Di seberangku ada TaeSung yang berdiri sambil bertolak pinggang, memprotesku yang tiba-tiba berhenti mengekornya. Rekan kerja yang mulutnya mengalahkan bawelnya burung kakatua itu sudah memberikanku kuliah panjang lebar sejak makan siang tadi. Menceramahiku tentang betapa bandelnya aku karena tidak juga memeriksakan diri ke dokter setelah mengalami migrain dan mual selama seminggu lebih.

Menjelang akhir bulan dan menstruasi, hal seperti ini sudah menjadi makanan rutinku, tapi TaeSung yang kali ini dipasangkan denganku untuk menangani satu project besar, jadi sangat repot dan suka ikut campur.

Dia berkoar kalau kesehatanku mempengaruhi kinerja kami sebagai tim dan aku harus berobat biar cepat sehat dan tidak berujung pada vonis rawat di RS. TaeSung memang cerewet tingkat dewa, dan sangat menyebalkan, mungkin karena sifat bawaannya itu juga aku jadi sering emosi menghadapinya.

"Kenapa harus di rumah sakit ini?" protesku.

Sungguh tidak bisa kubayangkan kalau bertemu lagi pria tinggi berambut hitam dengan tatapan teduh itu.

Bolak-balik ke rumah sakit dengan berbagai keluhan. Bukan 'kah itu berarti aku ini sangat lemah dan penyakitan? Aku malu, benar-benar malu.

"Kau pikir dimana lagi asuransi kesehatan perusahaan didaftarkan?!"

Seketika bahuku turun. Memang, RS Seoul adalah satu-satunya RS yang berkerjasama dengan perusahaan untuk penanganan urusan kesehatan karyawannya yang berjumlah lebih dari 300 orang. RS Seoul yang terbesar, terlengkap dan terdekat dari kantor. Rasanya aku mau merutuki direktur kami yang memilih RS ini.

"Ayo!" TaeSung menarik tanganku dengan paksa, akupun mengikutinya seperti anak kecil yang menolak dibawa orang tuanya ke kelas les tambahan.

"Dimana aku harus daftar?" gumam TaeSung seraya tengok kanan kiri dan tidak juga melepaskan tanganku.

"Sebelah sana!" jawabku seraya menunjuk papan bertuliskan pendaftaran.

"Oke!" TaeSung berjalan penuh semangat menggiringku, dan aku menurut saja. Kepalaku sakit dan semakin nyeri saat harus berpikir atau mendengar suara melengking TaeSung.

Sekalipun kami sama- sama 34 tahun, TaeSung sudah memiliki anak laki-laki berusia 1 tahun, mungkin karena itu juga dia melihatku seperti anaknya dan memperlakukanku seperti ini. Dia bahkan lebih cemas dari ibuku sendiri saat aku sakit.

TaeSung menikah di usia sangat muda. Berbanding terbalik denganku yang bahkan pacar saja tidak punya, waktuku tidak cukup jika masih harus mengurusi romansa percintaan.

"Tifus lagi?"

Aku tersentak dari lamunanku sendiri dan mendongak melihat orang yang berdiri di depan TaeSung sambil memiringkan badan demi bisa melihatku langsung.

"Kenalanmu ?" tanya TaeSung dengan alis terangkat tinggi.

Aku langsung salah tingkah melihat pria berambut hitam legam yang kali ini mengenakan outwear musim gugur berwarna hitam panjang hampir sebetis. Matanya berkilat saat melihatku dan TaeSung bergantian.

"Ha-Halo!" aku memberi salam penuh kekakuan. Hal yang paling aku takutkan terjadi. Bertemu dengannya adalah hal terakhir yang aku harapkan, tapi takdir selalu memiliki jalannya sendiri untuk bermain curang atas harapanku.

TaeSung sampai berbalik ke arahku penuh tanya, karena pertanyaannya belum aku jawab. Tapi bagaimana aku bisa jawab, aku tidak bisa bilang dia kenalanku karena aku sendiri tidak tahu siapa nama orang ini. Dibilang tidak kenal juga tidak 100% benar, karena ini pertemuan ketiga kami.

"Tifus lagi?" kali ini pria tajam itu melirik tangan TaeSung yang masih memenjara pergelangan tanganku dalam genggamannya.

"Im Sol mengalami migrain & mual sudah seminggu ini, dan aku harus menyeretnya sendiri supaya mau berobat. Kalau kau tahu keras kepalanya dia, kau pasti akan bereaksi sama sepertiku," cerocos TaeSung penuh bangga.

"Kan aku sudah bilang aku sudah biasa begini kalau mau menstruasi?! Kenapa kau malah membesar-besarkan?!" seruku emosi.

"Apa salahnya diperiksa?! Kau senang bikin orang cemas? Kalau kau sakit aku juga yang repot!" balas TaeSung tidak mau kalah.

Aku dan TaeSung saling melotot, tidak ada yang mau berkedip di antara kami.

Selama beberapa detik aku membelalak pada TaeSung, tapi perhatianku teralihkan pada sorot mata dingin yang berasal dari belakang TaeSung yang jauh lebih menusuk. Pria berambut hitam berkilau bak model iklan shampoo itu menatapku lurus, dan seketika itu juga udara dingin mengalir di sepanjang tulang punggungku. Ada aura tidak bersahabat yang dipancarkan dari sosok tinggi menjulang itu.

"Sebaiknya kalian segera mendaftar, pasien poli penyakit dalam hari ini lumayan banyak."

Pria itu ngeloyor pergi meninggalkanku dan TaeSung, berjalan lurus menuju lobi, menghilang di antara orang-orang yang lalu lalang keluar masuk rumah sakit.

"Siapa?" TaeSung menatap penuh penasaran, kedua alisnya terangkat tinggi sampai hampir menyerupai Gunung Hallasan.

Aku mengendikkan bahu karena benar-benar tidak bisa menjawab.

Aku hanya tidak sengaja mengobrol dengannya beberapa kali, lalu bagaimana aku harus menjelaskan siapa dia?

Seorang pria tinggi tampan yang membantuku? Namanya saja aku tidak tahu!

.

.

.

.

Pesta kecil menjelang tutup tahun.

Sekalipun sekarang masih tanggal 8 Desember, divisi perencanaan mengadakan pesta kecil menjelang tutup tahun. Bukan hanya karena tutup tahun, tapi juga karena banyak proyek kami tahun ini berhasil, dan hasilnya meroket. Direktur Lee memesan tempat di restoran sashimi untuk 20 orang anggota tim perencanaan, dan kami minum sampai tidak bisa menghitung berapa banyak botol yang kami pesan.

"Bersulang untuk Tim Perencanaan, terutama untuk Im Sol Nuna yang harus bolak balik rumah sakit karena target kerja yang tidak pernah turun!" TaeSung mengangkat gelas birnya ke udara, mengajak seluruh anggota tim bersulang sementara aku terpaksa harus menahan malu mendengar kata-katanya.

"Apakah bolak balik ke RS hal yang bisa dibanggakan?!" jawabku kesal seraya menarik ujung jasnya.

"Tapi kan bisa dipastikan bonusmu tahun ini berkali-kali lipat! Santailah sekali-kali, Nona Im!" sahut Manajer Choi dari seberang meja, dan dijawab tawa riuh rendah dari yang lain.

"Yang penting kita bisa melewatkan tahun ini dengan baik dan semoga tahun depan lebih besar lagi bonusnya!" sahut Manajer Jeong sambil mengangkat gelasnya.

"Semoga tidak ada karyawan yang bolak balik ke RS, cukup aku!" tambahku penuh semangat, dan yang lain tertawa mendengar harapanku.

"BERSULANG!" kami semua berseru dan menenggak habis minuman dari gelas kami.

Menjelang pergantian hari, kami baru bubar, dan tentu saja dalam kondisi sudah tak terurus lagi. Beberapa anggota divisi muntah-muntah di pojokan parkir restoran. Terlalu banyak minum sampai tidak bisa mengendalikan diri sudah menjadi pemandangan lumrah bagi kami semua setiap kali selesai acara makan malam perusahaan. Untungnya aku bisa menahan diri, jadi tidak terlalu mabuk, hanya agak pusing.

"Im Sol Nuna! Ronde kedua?!" pekik TaeSung seraya mengangkat kartu kredit milik Manajer Jeong ke wajahku.

Seolah sedang merayu anak kecil dia berharap aku jatuh ke perangkapnya.

Aku melambaikan tangan, mengisyaratkannya agar pergi meninggalkanku. Aku sudah cukup minum hari ini, perutku terasa sangat tidak enak dan rasanya aku akan muntah.

"Kau tidak seru!" komen HyunJoo seraya menepuk punggungku keras.

Entah dari mana munculnya dia, tahu-tahu sudah di belakangku dan ngeloyor pergi menyusul TaeSung. Dia bahkan tidak merasa bersalah sama sekali setelah membuat punggungku nyut-nyutan.

"Kalian minum saja sampai puas, aku mau pulang!" tandasku tegas penuh emosi.

Berjalan agak terhuyung menyusuri jalanan kosong di sepanjang pertokoan, berkali-kali aku berhenti sambil berpegang pada tembok atau tiang. Aku harus menyadarkan diri sebelum sampai rumah, jadilah aku berjalan ke arah sebuah apotek dan membeli tonik untuk meredakan mabuk.

Aku terduduk di anak tangga di sisi apotek, meneguk penghilang mabuk dan terdiam, merasakan kesadaranku perlahan pulih.

"Kenapa mereka terlihat senang sekali aku bolak balik rumah sakit?!" keluhku sambil meletakkan botol kosong di sisi kananku.

"Memangnya enak sakit?! Aku berjuang keras untuk bisa hidup, memangnya kalian tahu itu?! Aku juga mau santai, tapi bersantai adalah kemewahan yang tidak bisa aku lakukan! Hufft…. Aku juga mau melakukan banyak hal, tapi waktu berlalu begitu cepat. Memangnya kalian pernah merasa 24 jam sehari itu kurang sepertiku?! Bahkan untuk istirahat saja aku tidak bisa!" gumamku seraya meninju udara di depanku. Tenagaku masih belum kembali, sampai tinjuku terlihat begitu lemah sekalipun hanya melawan udara.

Mataku mengerjap berkali-kali melihat orang yang lalu lalang di depanku sampai menoleh ke arahku. Akhir minggu selalu seperti ini, jalanan dipenuhi orang-orang yang lalu lalang demi menghabiskan malam. Beberapa orang yang lewat bahkan berjalan tidak lurus karena kelewat mabuk.

Bagusnya aku tidak sampai tumbang kebanyakan minum. Aku ragu bisa pulang dalam keadaan utuh kalau benar-benar mabuk.

"Kenapa tidak bisa?" terdengar suara seorang pria dari belakangku, dan saat aku mendongakkan kepala, sosok tinggi menjulang dengan mata teduh itu menunduk menaungi pandanganku.

"Oh?" aku terkesiap dengan pandanganku sendiri.

Mataku mengerjap berkali-kali, tapi berapa kalipun aku masih mendapati sosok yang terlihat familiar itu.

Dia mengambil botol kosong di sebelahku dan melemparnya ke tong sampah dengan sangat cekatan, botol langsung masuk seperti melihat pemain basket yang melakukan tembakan 3 poin. Terkagum tanpa sadar aku bertepuk tangan berkali-kali sambil menjulurkan jempolku.

"Kenapa ada orang sempurna sepertimu?" aku bertanya sambil memiringkan kepala yang agak berat, dan dia menjawabku lewat kerutan alisnya yang samar.

"Sudah tinggi, tampan, punya pekerjaan bagus, bahkan bisa melakukan lemparan dengan sempurna! Woah! Daebak! Daebak!" aku kembali memberikannya kedua jempolku penuh antusias.

Dia duduk di sebelahku, mengabaikan pujianku.

Mungkin aku terlihat terlalu mabuk baginya sampai pujianku terdengar seperti ocehan tak berarti.

"Kenapa kau berkeliaran saat mabuk begini?"

Entah telingaku, ataukah memang nada suaranya yang terdengar seperti ibuku yang mengomel setiap kali aku pulang dalam keadaan mabuk.

Apa aku terlalu mabuk? Sepertinya aku masih bisa menggunakan logikaku dengan baik.

"Aku sebenarnya mau pulang, tapi harus sadar sepenuhnya sebelum sampai rumah. Aku pernah kelebihan bayar taksi, seharusnya 7000 won, aku bayar 70.000 won, aku tidak mau sampai terjadi lagi."

Aku menepuk kedua pipiku keras, dan mengerjap berkali-kali, berharap efek tonik yang aku minum segera mengembalikan kesadaranku 100%.

"Kau sendiri kenapa ada di sini? Apakah pekerjaan perawat terlalu santai? Aku heran, padahal aku bolak balik rumah sakit, tapi hanya sekali melihatmu pakai seragam. Apa jam dinasmu terlalu pendek?"

"Perawat?" pria itu terdengar bingung. "Oh, hari ini aku off," lanjutnya lagi setelah terdiam beberapa saat dan mengangguk.

"Apa gajimu besar di RS?" tanyaku penasaran.

"Kenapa?" dia tampak lebih bingung lagi dengan pertanyaanku.

"He he he. Tidak, aku hanya berpikir untuk mencari tambahan penghasilan atau pekerjaan lain yang memiliki gaji besar. Aku harus menabung banyak untuk ibu dan kakakku. Kalau aku sakit-sakitan terus, bisa jadi aku dipecat dari kantor. Tapi tidak mungkin juga kalau aku jadi perawat."

Tubuhku membungkuk ditopang lutut, kedua tanganku terjulur menggantung di udara, berusaha menggapai hal yang tidak pernah bisa aku raih.

Aku melihat sekelebat bayangan kenalanku yang tertawa santai di kantin, mereka yang bisa menghabiskan akhir pekan dengan kekasihnya, dengan teman-temannya, mereka yang menghabiskan waktu berjalan-jalan bersama keluarga, mereka yang bekerja sebatas normal dan pulang tepat waktu, mereka yang-

"Kau belum menikah? Bagaimana dengan pacarmu?"

Ah … kenapa dia harus menanyakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal padaku?!

"Menikah? Pacar?" Aku tertawa keras dan menepuk bahu pria di sebelahku berkali-kali, dia melihatku dengan sorot mata bingung. "Aku bahkan tidak sempat memikirkannya. Di sini! Tidak ada ruang lagi," lanjutku seraya menunjuk kepalaku.

Pria itu tidak bersuara, tapi matanya menatapku lurus.

"Aku hanya ingin bekerja dan terus bekerja, menabung sebanyak-banyaknya. Ibuku sudah cukup berumur, sementara kakakku tidak mungkin hidup sendiri dengan kondisinya saat ini. Tidak sekali dua kali aku berpikir bagaimana jika ibuku meninggalkan kami lebih dulu? Bagaimana aku bisa mengurus kakakku? Atau skenario terburuknya, aku pergi lebih dulu, lalu siapa yang akan membantu mereka? Aku harus memacu diriku berjuang, tidak ada yang bisa menolongku selain diriku sendiri. Hufft… Karena itu aku hanya fokus pada pekerjaanku, tidak ada kata santai apalagi mengurusi romansa dalam hidupku."

Angin dingin berhembus, membuat jaket yang aku kenakan terasa tidak ada gunanya sama sekali. Menjelang dini hari suhu udara makin rendah, dan aku harus pulang sebelum ibu memborbardirku dengan pertanyaan ini itu. Tapi kepalaku masih terasa berat, mungkin dengan mengobrol lebih lama bisa membantuku lebih cepat pulih.

"Bagaimana denganmu, Pria Tampan? Bagaimana istrimu? Pasti cantik. Berapa banyak wanita yang kau buat patah hati sebelum akhirnya menikah? He he he."

Aku tahu pertanyaanku terdengar seperti lelucon, karena jujur aku sendiri tidak bisa mengerem mulutku yang meracau sesukanya. Kebiasaan burukku ketika mabuk selalu seperti ini, makanya sebelum presentasi dengan klien penting, tidak jarang aku meneguk sedikit alkohol untuk mengendorkan sedikit urat maluku.

Pria yang menjadi obyek pertanyaanku hanya diam dan tampak terhibur mendengar kata-kataku. Tangan besarnya menyentuh puncak kepalaku dengan santainya, dan wajahnya mendekat sampai aku bisa melihat pantulan wajahku di pupil matanya.

"Ryu SunJae, kau bisa memanggilku SunJae," jawabnya seraya tersenyum tipis. "Aku tidak keberatan kau menyebutku dengan Pria Tampan, tapi mendengarnya berkali-kali membuatku berpikir kau sedang berusaha menggodaku."

"Wah … bahkan namamu terdengar sangat cocok untuk orang setampan kau," selorohku tanpa pikir panjang.

"Apakah itu pujian?" SunJae menyangsikan kata-kataku.

"Aku tidak pernah bisa berbohong di depan orang berwajah tampan. Anggap saja aku ini pengagum ciptaan Tuhan yang sempurna, he he he."

Denyut sakit di sisi kepalaku mulai berkurang, sekalipun tubuhku masih terasa seperti melayang, aku harus pulang sekarang sebelum ibu benar-benar meneleponku karena aku janji akan pulang secepatnya setelah acara makan malam selesai.

Aku bangkit dari duduk. "Aku permisi pul-"

Belum selesai kalimatku, SunJae mendadak berdiri, hampir menubrukku yang tengah membungkuk. Dia menangkap tanganku dan berdiri sangat dekat sampai aku harus mendongakkan kepala karena badannya yang terlalu tinggi. Mataku hanya mampu mencapai dadanya sekalipun aku berdiri tegak.

Aku mengerjap, berusaha memfokuskan pandanganku sekalipun masih sedikit bingung.

"Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?" ucapnya.

"Oh tidak usah, aku bisa naik taksi," tanganku bergerak panik di depan wajahnya, menolak mentah-mentah tawarannya yang sangat terdengar absurd bagiku.

Dia bahkan tidak mengenalku, aku juga tidak bisa merepotkan orang yang tidak aku kenal.

"Bagaimana kalau aku memaksa?"

Tangan SunJae bergerak cepat melingkar ke pinggangku dan menarik tubuhku hingga menabrak tubuhnya. Dengan cepat panas menjalar naik ke pipiku, reflek aku menunduk menyembunyikan wajahku.

Kenapa aku merasa malu?

Aku akan terlihat seperti anak remaja yang baru jatuh cinta. Jujur saja aku tidak pernah berada sedekat ini dengan pria mempesona sepertinya. Ini tidak sehat bagiku yang sedang kesulitan mengendalikan akal sehatku sendiri.

"Emm… Maaf, tapi sepertinya kau salah mengartikan sikap ramahku. Aku tidak-"

"Aku sudah terlanjur salah paham," potongnya yang semakin memperpendek jarak wajah kami.

"Tu-tunggu dulu!" aku panik dan mendorong dadanya kuat-kuat, tapi otakku yang mulai berkabut membuatku kesulitan mempertahankan logika. Terlebih lagi saat SunJae semakin mendekatkan wajahnya. Aku sampai bisa melihat kerut halus di bawah matanya, wajahnya sangat mulus, tidak ada bekas jerawat apalagi komedo.

Bagaimana bisa ada manusia punya kulit sesempurna ini? Apakah dia bekerja di bagian dermatologi? Wajahnya terlalu glowing dan menyilaukan mataku sekalipun kondisi saat ini kurang pencahayaan.

"Argh Im Sol! Ini bukan saatnya mengangumi kulitnya!" aku menepuk kepalaku kuat-kuat, bahkan di saat begini benakku masih berkelana kemana-mana.

"Pfft!" SunJae terkekeh dan menahan tawanya yang justru membuatnya terlihat semakin tampan.

"Kau sangat unik, tidak heran aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darimu," bisik SunJae dengan napas hangat menerpa wajahku. Bahkan saat dia bicara aku mampu mencium wangi mint yang kuat.

Sudah tinggi, tampan, bahkan mulutnya wangi. Lalu bagaimana denganku?!

"Ack!" Aku sontak menutup mulutku dengan kedua tangan, baru sadar kalau mulutku pasti bau tidak sedap setelah menenggak alcohol dan makan malam tadi.

Bagaikan bumi dan langit, bagaimana bisa aku membiarkan dia menghirup bau tong sampah sementara aku menghirup wangi menyegarkan darinya.

SunJae tersenyum dan mendekatkan wajahnya, bibirnya mengecup permukaan tanganku yang tengah menutupi mulut.

"Aku sudah berusaha menahan diri sejak kau menyebutku tampan," bisiknya tanpa menanggalkan senyumnya sedikitpun.

"Time out! Time out!" aku berseru ketika kepalaku seperti berputar, karena panas semakin intens menyerangku, membuat perutku melilit seperti keram.

Apakah aku bermimpi? Bagaimana bisa aku sampai berada di situasi ini? Apa yang sudah terjadi, mungkin otak Ryu SunJae yang error, bukan karena aku yang kurang waras karena mabuk.

Apa yang baru saja dia lakukan? Flirting?

Argh! Tidak mungkin!

"Sebaiknya aku pulang sebelum aku makin gila!"

Aku mengambil langkah mundur, tapi SunJae malah menangkup tubuhku dan tiba-tiba aku sudah berada dalam lengkungan penjara tangannya. Dia membopongku seolah aku ini seonggok bantal tanpa beban.

"Tu-turunkan aku! Hei!" protesku sambil menggerakkan badan panik, tapi dia baru menurunkanku di depan mobil sedan yang sedang di parkir di depan apotek.

"Aku akan mengantarkanmu pulang." SunJae membukakan pintu mobil dan mengisyaratkanku untuk masuk, sementara aku masih menatapnya sengit.

"Aku bersumpah tidak akan melakukan hal buruk. Kau bisa melaporkanku ke polisi jika aku melakukan hal yang tidak pantas. Kau pasien dimana aku bekerja. Anggap saja ini cara agar kau tidak kembali ke RS, hmm?" SunJae melirik ke pintu mobil lagi, memintaku segera masuk.

Ucapannya tidak salah, aku bisa saja melaporkannya atas perbuatan tidak menyenangkan, tapi niat baiknya juga tidak bisa aku abaikan. Mobilnya juga terbilang bagus untuk seorang perawat.

"Gaji perawat benar-benar besar sepertinya. Apa hanya RS Seoul yang memberi gaji besar? Apakah direkturku membayar mahal kerjasama asuransinya? Bagaimana bisa perawat biasa punya mobil sebagus ini," gerutuku kesal.

Ryu SunJae lagi-lagi tertawa. "Kau sering sekali mengucapkan sesuatu yang tidak aku duga. Apakah kau selalu mengatakan apa yang terlintas di kepalamu?" SunJae mencubit pipiku dan aku reflek menghentakkan tangannya turun dari pipiku.

"Apa yang kau-"

"Ini mobil dinas, ayo masuk!" dia membukakan pintu mobil, mendorongku masuk dengan sangat hati-hati.

Aku masih ragu pada sikap ramahnya, tapi dia kembali tersenyum.

"Apakah aku terlihat seperti orang jahat?" ucapnya, dan aku mengangguk cepat.

"Apakah kau tidak berpikir yang kau lakukan sekarang membuat orang bingung? Aku bahkan baru tahu namamu, dan kau menawarkanku tumpangan. Apa tidak aneh?!" tanyaku balik.

"Apakah aneh jika aku membantu pasien?" dia menjawabku cepat.

Tapi mendengar pertanyaannya kepalaku menggeleng lebih cepat dari laju logika di benakku. Akhirnya aku malah duduk manis dengan kedua tangan mengenggam erat sabuk pengaman, merasa hidupku berada di ujung jurang dan harus berpegang pada sesuatu.

Sepertinya aku memang gila! Tidak waras! Efek alcohol!

Bagaimana bisa aku berada di mobil orang yang bahkan baru aku kenal, belum lagi membiarkannya mengantarkanku pulang?!

Bagaimana kalau dia berniat menjual organku? Menculikku dan minta tebusan? Atau menjualku pada perdagangan manusia dan menjadi budak?

Cukup Im Sol! Ini bukan zaman Mesir kuno, tidak ada perbudakan sekarang ini. Adanya kerja paksa! Budak korporat sepertiku!

Argh! Salahkan wajah tampannya! Aku lemah menghadapi pria berwajah tampan dan punya manner sepertinya. Dalam hidupku yang dipenuhi kesibukan kerja hanya bisa menghibur diri lewat drama yang aku tonton, melihat pria tampan seperti proses penyembuhan, memberi relaksasi pada sress yang aku hadapi akibat beban target.

Kalau dia menunjukkan gerak gerik tidak baik, aku akan langsung telepon polisi!

"Dimana rumahmu?" tanya SunJae yang bergerak lihai mengendalikan kemudi, dia menoleh padaku lama sebelum kembali memusatkan perhatian ke jalan.

"Kau bisa menurunkanku di Noori-dong, karena mobil tidak bisa masuk ke dalam gang. Setelah lampu merah perempatan belok kanan," jawabku sambil melihat ke sisi luar jendela di sebelahku.

"Bagaimana bisa kau pulang sendiri dalam keadaan mabuk begini? Kau tidak meminta dijemput atau diantar temanmu?"

Aku menggeleng cepat.

"Aku bisa pulang sendiri. Orang rumah sudah tidur dan temanku malah mengajak lanjut minum ronde kedua. Makanya ak-huek! Huek!"

Perutku tiba-tiba mual, kepalaku berputar. Pandanganku kabur seketika, dunia mendadak jungkir balik.

"Huek! Ukhuk!"

"Im Sol?!"

Bagaimana bisa aku tidak apa-apa kalau perutku seperti diaduk-aduk begini. Kepalaku sakit, bisa aku rasakan dengan jelas asam di pangkal lidahku, dan sedetik kemudian aku memuntahkan isi perutku ke pangkuanku sendiri. Bau dan bentuk yang tidak bisa aku gambarkan terpampang di hadapanku, memberi efek domino, aku kembali mual dan detik kemudian pandanganku gelap bersamaan dengan kepalaku yang berdenging kuat.

Aku bisa merasakan dengan jelas bagaimana tubuhku terhempas karena mobil yang berhenti tiba-tiba, lalu ada sepasang tangan yang menangkup wajahku dan suara rendah Ryu SunJae berkali-kali memanggilku, tapi alam bawah sadarku terlalu kuat menarikku.

.

.

.

.

Terdengar suara alarm yang berbunyi tanpa ampun di sebelahku. Suaranya aneh dan tidak enak di dengar. Ini bukan suara alarm dari ponselku yang biasanya. Kapan aku menyetel alarmku dengan suara jelek begitu? Tanganku meraba, dengan mata setengah terbuka mencoba mencari benda yang mengeluarkan suara menyebalkan itu, dan saat tanganku berhasil menggapainya aku melihat angka 9.15 tertera di sana dan pengingat bertuliskan TV TV TV.

Kenapa aku menuliskan ini? Apakah aku harus menonton acara di TV? Sejak kapan aku nonton tv? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku menonton tv.

"Kau baru bangun?"

"Eh?"

Aku tertegun. Mengerjap sekali, dua kali, tapi pandangan di depanku tetap tidak berubah.

Ada seorang pria bertubuh tinggi, tengah bertelanjang dada, hanya mengenakan celana training. Satu tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil, sementara tangan yang lain bersarang di pinggang. Pandanganku reflek mengarah pada otot perutnya yang terbentuk hampir sempurna seperti aktor di drama yang sering aku tonton. Saat mataku kembali ke wajah sang pemilik tubuh sempurna bak pahatan itu, dia terlihat mirip dengan Ryu SunJae.

"Aku habis olahraga dan mendengar suara alarmku, tadinya aku pikir mau aku matikan sebelum kau bangun, tapi kau sudah bangun duluan."

Bukan hanya wajahnya, suaranya juga mirip.

Tunggu dulu!

Semalam apa yang terjadi padaku?

Pandanganku berpindah pada diriku sendiri, baru menyadari kalau aku terduduk di tempat tidur hangat yang selimutnya jatuh di pangkuanku dan aku mengenakan kaos berwarna putih kebesaran. Saatku bagian bawah kakiku yang menunjukkan kulit tanpa terbungkus kain lain, aku panik.

Kemana celanaku? Bajuku?!

"ARRRGHHH!"

Akal sehatku kembali seketika. Tanganku bergerak cepat menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku hingga hanya wajahku yang terlihat. Di seberangku, Ryu SunJae malah tertawa setelah melempar handuk ke sisi tempat tidur.

"Ini dimana? Kenapa aku bisa- Apa yang sudah- Kapan aku-"

Di kepalaku berputar banyak pertanyaan, tapi tidak satupun yang mampu aku selesaikan.

"Jangan mendekat!" aku berseru penuh ancaman pada Ryu SunJae yang mendekat ke sisi tempat tidur, dia masih tersenyum seolah menertawakan kepanikanku sendiri.

"Tarik napas perlahan dan ingat pelan-pelan apa yang terjadi semalam, Sol-a. Ataukah kau terlalu mabuk sampai tidak bisa mengingatnya?" SunJae duduk di pinggir tempat tidur sementara aku mengkeret hingga punggungku bertemu headboard tempat tidur.

"Aku ingat aku naik mobilmu karena kau mau mengantarku pulang, lalu aku muntah dan … " kata-kataku terhenti, karena memoriku tidak bisa memberikan jawaban apa-apa setelah itu, aku pun kembali menatapnya sambil bergumam, "…aku lupa setelahnya. Apa yang-?"

Ryu SunJae tersenyum tipis, membuat hatiku mencelos hingga dasar bumi.

Kebodohan apa yang sudah aku perbuat?!

.

.

.

Bersambung

Please kindly leave your comment

-:-:-:-07.06.2024 -:-:-:-

F15TYcreators' thoughts
ตอนถัดไป