webnovel

Antara Maksiat Yang Baik dan Taat Yang Tercela

 Apabila kita perhatikan secara lahiriah, bahwa taat artinya, adalah patuh kepada segala perintah Allah dan ajaran-ajaranNya, untuk diamalkan, di samping menjauhkan larangan-laranganNya, baik yang besar ataupun yang kecil. Dan tentulah kita melihat bahwa taat dalam arti begini adalah baik dan seolah-olah sama sekali tidak ada celaannya.

Demikian pula dalam melihat maksiat, yang pengertiannya sepintas lalu dalam arti yang lahir ialah: kedurhakaan kepada Allah s.w.t., disebabkan tidak menjalankan perintahNya dan melanggar laranganNya. Tetapi apabila kita dalami pula kadangkala kita melihat ada taat yang tidak murni dan suci, dan ada maksiat yang membawa kepada akibat baik dan kesudahannya yang terpuji. Maka untuk menerangkan hal keadaan ini, yang mulia Al-Imam lbnu Athaillah Askandary telah merumuskan dalam Kalam Hikmahnya yang ke-96 sebagai berikut:

"Maksiat yang menimbulkan kehinaan dan kefakiran (kepada Allah s.w.t.) lebih baik dari taat yang menimbulkan megah dan takabbur."

Untuk lebih jelas bagi kita pengertian Kalam Hikmah ini, baiklah diikuti penjelasannya sebagai berikut:

I. Adzdzullu, artinya hina atau kehinaan, sedangkan Al-Ijtiqaar artinya fakir atau kefakiran. Hina dan fakir kepada Allah atau kehinaan dan kefakiran kepada Allah adalah merupakan sifat-sifat kehambaan makhluk kepadaNya. 

Al-'Izzu yang artinya megah dan kemegahan. Dan Al-Istikbaar ialah takabbur dan ketakabburan. Ini adalah sifat-sifat ketuhanan Allah s.w.t. Antara kedua sifat-sifat tersebut, yakni antara hina dan megah, antara fakir dan takabbur, demikian juga kehinaan dan kemegahan kefakiran dan ketakabburan, adalah dua keadaan yang saling bertentangan, di mana tidak dapat berkumpul antara keduanya.

II. Taat kepada Allah s.w.t. apabila disertai dengan keadaankeadaan yang bertentangan dengan sifat-sifat kehambaannya hamba, berarti keadaan-keadaan yang tidak cocok itu dapat mcnghapuskan taat dan dapat membatalkan pahala-pahalanya. Sebab taat itu telah disertai dengan sifat-sifat yang tidak layak dengan kehambaan manusia yang mengerjakan taat itu kepada Allah s.w.t. Melaksanakan ibadat berarti menunaikan kewajiban kita selaku hamba Allah kepada Allah s.w.t. Karena itu wajiblah melaksanakan taat itu dalam gambaran lahir dan batin dengan memperlihatkan dan menghayati kehinaan kita kepada Allah dan kefakiran kita kepadaNya.

Jika perasaan ini tidak ada dan kita merasakan kebalikannya.

Yakni kita beramal dan beribadat yang lahiriahnya terarah kepada Allah s.w.t. tetapi pada hakikatnya hati kita dipenuhi dengan perasaan takabbur dan rasa tinggi hati terhadap manusia yang pada hakikatnya sangat dibenci Allah yang dapat menghapuskan dan membatalkan pahala-pahala dari amal taat itu.

Tetapi apabila seseorang itu telah mengerjakan maksiat sedemikian rupa, sedangkan hatinya selalu diliputi dengan perasaan kehambaannya kepada Allah s.w.t. dengan rasa hinanya dan fakirnya kepada Allah, maka perasaan dan kenyataan yang begini adalah kesadaran kehambaan yang merupakan rahmat Allah kepada yang bersangkutan. Kesadaran yang demikian itu, apabila ada izin Allah, akan dapat menghapuskan maksiat-maksiat yang dikerjakannya, dan juga dapat menghilangkan dosa maksiat-maksiat itu dengan ridha Allah s.w.t. Inilah makna perkataan waliyullah Abu Madyan:

"Sedih hati orang yang durhaka kepada Allah s.w.t. lebih baik dari kekasaran hati orang yang taat kepadaNya."

III. Bahwa bukti atas kebenaran ini, dengan penjelasan di atas tadi ialah yang menyebabkan pembawaan sebagian hamba Allah yang saleh seperti Abul Abbas Al-Misry r.a. di mana beliau lebih memuliakan manusia yang durhaka apabila berkunjung kepada beliau, dari manusia yang taat, tetapi takabbur dan tinggi hati. Maka beliau tidak menghiraukan manusia yang begini, sebab orang yang durhaka kepada Allah, meskipun banyak kedurhakaannya kepadaNya, tetapi ia mengakui semuanya itu dengan sadar, bahwa dosanya banyak dan maksiatnya tidak terhitung. Walaupun demikian, manusia ini lebih baik dari manusia-manusia yang taat kepada Allah, sedangkan hatinya sombong dan takabbur. Untuk memperkuat penjelasan di atas, marilah kita pelajari pula riwayat Ibban bin Ilyas di mana dia berkata:

Pada suatu hari aku keluar dari (rumah) Anas bin Malik r.a. di Bashrah. Tiba-tiba aku melihat sebuah jenazah yang diangkut oleh empat orang hitam, tetapi aku tidak melihat laki-laki lain beserta mereka. Lantas keluar dari mulutku perkataan Subhaanallaah (Maha Suci Allah) di mana di kota Bashrah ini ada jenazah Muslim yang tidak mendapat perhatian orang, maka biarlah aku menemani mereka itu.

Aku pun pergi bersama mereka. Tatkala mereka itu meletakkan jenazah untuk disembahyangkan, mereka berkata kepadaku: Silahkan Tuan (maksudnya supaya aku menjadi imam). 

Aku menjawab: Tuan-tuanlah yang lebih patut dariku. 

Mereka berkata: Ya, sama. 

Kemudian aku pun maju sebagai imam sembahyang, dan kami pun menyembahyangkan mayat itu.

Setelah sembahyang aku bertanya kepada mereka: Bagaimana ceritanya mayat ini? 

Mereka menjawab: Kami ini diupah oleh wanita itu! 

Setelah itu aku pun duduk, melihat mereka menguburkan mayat tersebut. Setelah mayat itu dikuburkan, tidak beberapa lama kemudian, wanita yang tidak jauh dari pekuburan itu kembali pulang sambil tertawa. Karena itu aku pergi kepada wanita itu, dan aku ingin menanyakan sesuatu mengenai hal keadaan ini. 

Aku bertanya kepadanya: Anda akan selamat dengan kebenaran, sebab itu ceritakanlah kepadaku, bagaimanakah kejadian ini? 

Dia menjawab: Yang mati ini adalah puteraku, dia tidak meninggalkan perbuatan durhaka, tetapi semua maksiat dilakukannya. Dia sakit sejak tiga hari yang lalu, dia berkata kepadaku: Mama, apabila aku meninggal dunia, jangan Mama katakan kepada jiran-jiran kita atas kematianku, supaya mereka tidak melihat jenazahku, selain hanya memaki-maki atas kematianku. Dan Mama tulislah atas cincinku ini Laa Ilaha Illallah, Muhammadur Rasulullah. Mama masukkanlah cincin itu dalam kafanku. Moga-moga Allah s. w.t. mengasihi aku. Kemudian Mama injakkan kaki Mama atas pipiku, serta Mama katakan: Inilah balasan terhadap orang yang durhaka kepada Allah! Apabila Mama telah menguburkan aku, maka Mama angkatlah kedua tangan Mama sambil bermohon kepada Allah, dan Mama katakan dalam permohonan itu: Aku telah meridhai anakku, maka ridhailah ia pula ya Allah terhadap anakku ini! 

Demikianlah wasiatnya kepadaku.

Kemudian tatkala ia telah meninggal dunia, aku laksanakanlah sekalian wasiat-wasiatnya itu. Maka tatkala aku angkat kedua tanganku ke langit, dengan permohonan di atas, aku dengar suara anakku dengan bahasa yang lancar: Kembalilah Mama, sebab aku telah menghadap kepada Allah yang Maha Kasih, dan Dia tidak marah kepadaku. Itulah yang menyebabkan aku ketawa tadi..

Dari kejadian ini dapatlah kita ketahui, bahwa meskipun seseorang itu telah berbuat banyak maksiat, tetapi jika ia sadar dan insaf atas kedurhakaannya, atas kehinaannya, dan atas kefakirannya kepada Allah s.w.t., Insya Allah segala dosanya diampunkan oleh Allah.

Sebab menurut Ulama tasawuf, bahwa Allah s.w.t. menghendaki supaya hati hamba-hambaNya bersih dari segala penyakit-penyakitnya.

Dengan demikian adalah segala anggota tubuhnya, bersih pula dari segala dosa, karena mengikut hati. Dan apabila seseorang itu takabbur, meskipun dia orang alim, atau orang yang banyak ibadatnya, tidaklah ada artinya ilmunya dan ibadatnya itu di sisi Allah s.w.t. Tetapi kebalikannya, seperti orang jahil atau orang berdosa, apabila ia merendahkan dirinya kepada Allah, dan merasa hina pada keagungan Allah s.w.t., maka orang-orang itu pada hakikatnya adalah orang-orang yang betul-betul sudah kembali ke jalan Allah, dan lebih taat dari orang yang tidak ada dosanya, tetapi ibadatnya tidak murni, lebih baik dari orang alim, tetapi hatinya sombong dan takabbur.

Kesimpulan:

Apabila kita mengerjakan taat kepada Allah s.w.t. hendaklah kita betul-betul ikhlas karena Allah, dan sekali-kali jangan ada sifat-sifat yang tidak sesuai dengan sifat kehambaan kita terhadap Allah, seperti sifat takabbur. Bagi orang-orang yang telah banyak mengerjakan dosa, jangan putus asa daripada rahmat Allah dan keampunanNya, tetapi akuilah bahwa kita telah berbuat dosa, bahwa kita menyesal atas segala dosa-dosa itu, dan tidak akan kembali lagi mengerjakannya. Kita adalah makhlukNya yang lemah, yang fakir, yang miskin, dan yang hina, pada keagunganNya dan kurniaNya yang demikian besarnya. Dengan demikian, Allah akan mengampunkan dosa kita, bahkan pada hakikatnya, yang demikian itu lebih bagus dari perbuatan taat kepada Allah, tetapi hati kita masih diliputi dengan berbagai macam penyakit hati.

Mudah-mudahan Allah s.w.t. selalu memimpin kita, dan menuntun kita ke jalan yang kita cita-citakan demi untuk keselamatan dan kebahagiaan kita dunia akhirat.

Amin, ya Rabbal-'alamin!

Next chapter