webnovel

Chapter 59

Seiring satu per satu anggota Loki Familia berkumpul di meja makan, Shirou dan Lefiya terus bekerja di dapur, menyelesaikan hidangan yang ditunggu-tunggu. Aroma roti panggang yang renyah dan sup yang menggugah selera mulai memenuhi udara, menarik perhatian semua orang.

Tiona, yang tidak pernah bisa menyembunyikan antusiasmenya, mencondongkan tubuh ke meja, mencoba melihat lebih dekat ke dapur. "Wah, hari ini sarapannya pasti enak banget! Shirou, kau memang luar biasa kalau soal masak-memasak!" serunya dengan suara riang.

Tione yang duduk di sampingnya hanya menggelengkan kepala, tetapi senyum tipis menunjukkan bahwa dia juga tidak sabar menunggu hidangan siap. Di sudut lain, Finn dan Gareth duduk dengan tenang, namun mata mereka penuh minat melihat persiapan Shirou dan Lefiya.

Riveria, yang masih duduk di meja makan, berusaha mengalihkan pikirannya dari perasaan cemburu yang sempat mengusik. Dia menatap Shirou dari jauh, berusaha menikmati momen damai ini tanpa memikirkan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Bekerja bersama mereka semua di sini sudah cukup membuatku bahagia, pikirnya dalam hati, meskipun perasaannya terhadap Shirou tak bisa diabaikan begitu saja.

Akhirnya, Shirou dan Lefiya membawa hidangan ke meja satu per satu. Roti panggang yang baru keluar dari oven, telur dadar dengan sayuran segar, serta potongan daging panggang tersaji di atas piring-piring besar. Mereka berdua dengan cekatan menata hidangan tersebut di tengah meja.

"Silakan, semuanya! Selamat makan," ujar Shirou sambil tersenyum, menyaksikan anggota Loki Familia mulai mengambil makanan mereka dengan penuh antusias.

Aiz yang sudah tak sabar segera meraih roti panggang dan sepotong daging, dan seperti biasa, Lefiya langsung merapat di sebelahnya, menemani sambil sesekali melihat ke arah Shirou. "Kau tahu, masakanmu ini selalu yang terbaik, Shirou," ucap Aiz dengan senyum kecil, menunjukkan rasa terima kasihnya.

Shirou tersenyum, senang melihat Aiz, Lefiya, dan semua anggota Familia menikmati masakannya. "Terima kasih, Aiz. Aku senang kalian menyukainya," jawab Shirou dengan rendah hati.

Sementara semua orang mulai menyantap makanan dengan gembira, suasana ruang makan menjadi hangat. Canda tawa mulai terdengar, dan obrolan tentang misi Dungeon dan latihan sihir menghiasi pagi itu. Riveria, yang mendengar semua percakapan dan tawa yang riuh, merasa bersyukur bisa merasakan kehangatan seperti ini bersama orang-orang yang ia sayangi dan hormati.

Tiba-tiba, Loki muncul di ambang pintu, melihat ke arah meja yang penuh dengan makanan dan keramaian. "Wah, wah! Apa aku ketinggalan pesta, ya?" tanyanya dengan nada jahil sambil berjalan menuju meja. Dia meraih sepotong roti panggang dan langsung menggigitnya tanpa ragu.

"Terima kasih, Shirou! Kau tahu persis bagaimana cara menyenangkan Familia ini!" katanya dengan senyum lebar, membuat semua orang tertawa. Shirou hanya mengangguk dan tersenyum, merasa senang bisa membawa kebahagiaan sederhana bagi keluarga barunya.

Riveria, yang menatap Shirou dari seberang meja, menghela napas lega sambil tersenyum. Sepertinya kebersamaan ini sudah cukup untuk saat ini, pikirnya, meskipun di dalam hati ia tetap berharap bahwa suatu hari nanti, mungkin, ia bisa berbagi momen seperti ini bersama Shirou—bukan hanya sebagai sesama anggota Familia, tapi mungkin sebagai sesuatu yang lebih.

Setelah selesai sarapan, Shirou seperti biasa langsung bergegas membereskan meja dan mencuci piring-piring yang digunakan. Kebiasaan bersih-bersih ini sudah menjadi rutinitasnya sejak bergabung di Loki Familia, dan setiap hari ia melakukannya dengan penuh ketelatenan.

Lefiya, seperti biasanya, ikut membantu. Tanpa perlu diminta, dia mengambil alat kebersihan dan mulai menyapu lantai ruang makan yang dipenuhi remah-remah dari sarapan tadi. Ia bergerak dengan cekatan, bekerja bersama dengan Shirou.

Sambil menyapu, Shirou memandang Lefiya dan tersenyum. "Terima kasih, Lefiya, atas bantuanmu setiap pagi. Aku benar-benar menghargainya," ucapnya. Lalu, dengan nada penasaran, dia bertanya, "Apakah kau juga melakukan bersih-bersih dan memasak sebelum aku bergabung dengan Loki Familia?

Lefiya terdiam sejenak, memegang dahinya sambil berusaha mengingat. "Sebenarnya, tugas memasak dan bersih-bersih biasanya dibagi di antara anggota level rendah dalam Familia," jelasnya dengan pelan. "Namun sejak kau datang, kebiasaan itu agak berubah." Ternyata, kehadiran Shirou yang rajin mengurus dapur secara rutin telah menggantikan sistem bergilir yang sebelumnya mereka lakukan.

Shirou berpikir sejenak dan menarik kesimpulan. "Jadi, sebelumnya kau tidak perlu melakukan ini setiap hari," katanya sambil mengangkat alis, merasa agak khawatir. "Bukankah kau jadi lebih repot karena harus membantuku setiap hari?" tanyanya dengan nada prihatin.

Lefiya, yang sebenarnya menikmati kebersamaan ini, tidak ingin mengakui bahwa dirinya memang ingin dekat dengan Shirou melalui momen-momen sederhana seperti ini. Dengan nada tegas, dia hanya menjawab, "Ini adalah tugasku untuk membantu. Lagipula, kita sesama anggota tim, bukan?"

Shirou menatap Lefiya dengan bingung, mencoba mengingat percakapan mereka sebelumnya. "Tim?" tanyanya, tampak ragu dan sedikit kebingungan.

Lefiya, yang merasa Shirou melupakan hal penting, memasang ekspresi cemberut. "Kau lupa, ya?" katanya dengan nada agak kesal. "Beberapa malam yang lalu kau mengatakan bahwa kita adalah tim Faker, kan? Kita bekerja sama sebagai satu tim!" ucapnya sambil menatap Shirou, berharap ia ingat.

Mendengar itu, Shirou tertawa kecil, merasa geli dengan keseriusan Lefiya. "Oh, tentu. Maaf, aku ingat sekarang," katanya sambil tersenyum. "Kau benar, kita memang tim Faker. Terima kasih, Lefiya," tambahnya dengan lembut, membuat Lefiya ikut tersenyum dan kembali menyapu, kali ini dengan hati yang terasa lebih hangat.

Selesai menyapu lantai, Lefiya langsung mengambil pel untuk membersihkan sisa kotoran yang masih tersisa. Namun, sebelum mulai menggunakannya, ia memutar pel tersebut di tangannya dengan gerakan yang lincah, seolah-olah sedang memainkan tongkat sihir.

Setelah puas memutar pel itu dengan gaya khas, Lefiya mengulang motto yang pernah diucapkan Shirou saat melawan Gilgamesh. "Tak ada aturan yang mengatakan sesuatu yang palsu tak bisa mengalahkan yang original!" serunya dengan penuh semangat, suaranya tegas dan penuh keyakinan, seperti ksatria yang mengingatkan dirinya akan misi hidupnya.

Shirou, yang mendengar kalimat itu, merasa sedikit malu. Ia tidak menyangka bahwa cerita lamanya yang dilontarkan dengan nada penuh semangat bisa begitu membekas di hati Lefiya. Namun, melihat keseriusan dan antusiasme Lefiya yang menghidupkan kembali motto itu, ada rasa lucu dan hangat yang menyelinap di hatinya. Bagi Shirou, tingkah Lefiya yang begitu serius malah terlihat manis dan menggemaskan.

Keduanya melanjutkan tugas bersih-bersih mereka, terbungkus dalam suasana keakraban yang nyaman. Lefiya yang penuh semangat bahkan mulai bersenandung kecil sambil menggerakkan pel di lantai, seolah-olah pekerjaan ini adalah tugas penting bagi tim Faker. Shirou yang melihat itu hanya tersenyum, merasa senang bisa menghabiskan momen damai ini bersamanya, bahkan di tengah rutinitas sederhana seperti bersih-bersih.

Setelah menyelesaikan bersih-bersih, Shirou dan Lefiya melangkah ke ruang tamu besar di Twilight Manor. Ruangan itu sangat luas dan megah, dengan langit-langit tinggi yang dihiasi lampu gantung yang memancarkan cahaya hangat. Di kedua sisi ruangan, ada dua tangga besar yang melingkar naik ke lantai atas, terbuat dari kayu gelap yang kokoh dan dihiasi ukiran indah, memberikan sentuhan elegan pada ruangan. Di tengah ruang tamu terdapat beberapa set sofa yang nyaman, dengan karpet lembut yang membentang di bawahnya.

Lefiya mengajak Shirou untuk duduk di salah satu sofa besar di dekat tangga, dan Shirou mengikutinya. Mereka duduk bersisian di sofa, menikmati waktu santai setelah semua pekerjaan pagi itu. Lefiya menoleh ke Shirou dan mulai bercerita, wajahnya ceria dan penuh semangat, mengingat pengalamannya dilatih oleh Filvis.

Shirou, yang duduk dengan tenang, mendengarkan setiap kata Lefiya dengan penuh perhatian, menunjukkan dirinya sebagai pendengar yang baik. Lefiya merasa nyaman berbagi cerita, terutama saat ia mengingat pengalaman-pengalaman intens dalam latihan. "Kau tahu," ucapnya, tertawa kecil. "Filvis benar-benar keras saat melatihku dalam concurrent chanting. Dia sampai membiarkanku dikepung oleh Frog Shooter!"

Lefiya tertawa ringan, tetapi jelas terlihat bahwa kenangan itu cukup menantang baginya. Meski begitu, ada senyum yang tidak bisa ia sembunyikan di wajahnya, mengingat betapa ia berhasil melewati latihan itu.

Shirou mendengar cerita itu sambil tersenyum kecil. "Yah, Frog Shooter bukan masalah besar bagi petualang selevelmu, Lefiya," katanya lembut. "Kau sudah level 3 dan hampir mencapai level 4. Makhluk-makhluk itu pasti bukan tantangan berat lagi untukmu."

Namun, Lefiya, dengan ekspresi kesal yang menggemaskan, menarik lengan baju Shirou dengan manja. "Tetap saja, Shirou... air liur mereka sangat menjijikkan! Aku tidak tahan dengan lengketnya!" keluhnya, wajahnya menunjukkan sedikit ekspresi jijik.

Melihat Lefiya mengeluh seperti itu, Shirou tersenyum lembut dan mengelus pundaknya dengan penuh perhatian. "Kau sudah bekerja keras, Lefiya," katanya, nada suaranya penuh penghargaan. "Latihan ini pasti tidak mudah, tapi hasilnya terlihat jelas. Kau semakin kuat setiap harinya."

Pujian Shirou membuat Lefiya merasa tenang dan bangga atas usahanya. Senyum kecil muncul di wajahnya, dan ia merasa semangat baru tumbuh dalam hatinya, siap untuk menghadapi tantangan-tantangan berikutnya di hari-hari mendatang.

Lefiya masih menikmati waktu bersantai bersama Shirou dan berharap bisa bermanja lebih lama dengannya. Namun, saat itu juga, suara berisik terdengar di pintu masuk mansion. Raul muncul dengan setumpuk perkamen di tangannya, wajahnya penuh semangat. "Berita besar! Berita besar!" serunya dengan suara lantang yang memecah ketenangan.

Lefiya cemberut, merasa kesal karena momen pribadinya dengan Shirou terganggu. Meskipun begitu, dia berdiri dan berjalan menghampiri Raul, mengambil salah satu perkamen dari tumpukan yang dibawa Raul. Shirou mengikutinya dari belakang, tetap tenang sambil memperhatikan reaksi Lefiya yang sedikit kecewa.

Seolah mendengar kegaduhan itu, beberapa anggota Loki Familia yang lain mulai berdatangan, penasaran dengan berita besar yang dibawa Raul. Aiz, Tiona, dan Tione tiba hampir bersamaan, sementara Riveria berdiri di belakang, memantau suasana dengan tenang.

Lefiya membaca judul berita di perkamen dengan penuh keterkejutan dan kekesalan. Dengan suara lantang, ia mengumumkan isi berita tersebut. "Bell Cranel... sudah naik ke level 3!" Lefiya benar-benar tak percaya, mengingat dirinya sendiri memerlukan waktu dua tahun untuk mencapai level itu.

Tiona yang mendengar kabar tersebut langsung bersemangat dan menoleh ke arah Aiz. "Aiz, Aiz, Aiz! Si Little Argonaut itu sekarang sudah level 3!" serunya sambil tertawa. Tiona tampak senang dengan perkembangan Bell yang begitu pesat.

Aiz hanya mengangguk dengan tenang, tapi matanya menunjukkan kekaguman. "Ya, Bell memang cepat naik level," komentarnya, terkesan dengan kemajuan cepat Bell yang berbeda dari kebanyakan petualang lain.

Tione, yang merasa aneh dengan perkembangan itu, mengerutkan dahi dan berkata, "Tidak biasanya seseorang naik level secepat itu, terutama karena dia baru saja mencapai level 2 sebulan yang lalu."

Riveria yang mendengar keraguan Tione menambahkan dengan nada bijak. "Mungkin Bell memiliki skill langka yang mempercepat pengumpulannya atas excelia, sehingga dia bisa naik level lebih cepat dari yang lain."

Perkataan Riveria membuat semua anggota Loki Familia berpikir sejenak. Mereka tahu bahwa setiap petualang memiliki perjalanan uniknya masing-masing, tetapi peningkatan pesat Bell memang di luar dugaan mereka. Lefiya sendiri masih merasa sedikit kesal mendengar kabar itu, seolah perjuangannya sendiri tampak lambat jika dibandingkan. Namun, dalam hati ia juga tak bisa menahan rasa ingin tahu terhadap rahasia kekuatan luar biasa Bell yang terus mengejutkan semua orang di Orario.

Merasa terpancing oleh berita Bell yang cepat naik level, Lefiya dengan suara lantang berkata, "Sebenarnya, aku juga sudah bisa naik ke level 4, tapi aku menunggu sampai status Magic-ku mencapai rank S dulu sebelum naik level." Wajahnya menunjukkan kebanggaan terselubung; baginya, tidak semua harus dilakukan dengan terburu-buru.

Shirou, yang baru saja menyadari konsep ini, mengerutkan alisnya. "Jadi, level up bisa ditahan begitu saja?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.

Tione, yang tak ingin melewatkan kesempatan menggoda, tersenyum dan menoleh ke arah Shirou. "Ya, tapi kalau untukmu sih, Shirou, levelmu tidak perlu ditahan," katanya bercanda. "Lagipula, semua statusmu sudah sampai SSS. Kau ini pengecualian." Tione tertawa kecil melihat reaksi Shirou yang terlihat sedikit canggung.

Mendengar nama Shirou disebut, Lefiya langsung bersemangat. "Benar juga! Kalau dibandingkan Shirou, Bell itu tidak ada apa-apanya! Shirou yang juga petualang baru sudah mencapai level 4," katanya dengan bangga, seolah menegaskan bahwa Shirou adalah yang terbaik di matanya.

Shirou, yang sebenarnya tak terbiasa menerima pujian terang-terangan, memutuskan untuk membalas dengan candaan. "Bagaimana kalau Bell naik level lagi bulan depan? Bukannya nanti level-mu akan disalip olehnya, Lefiya?" godanya, membuat wajah Lefiya berubah antara kesal dan terkejut.

Lefiya, yang tak ingin kalah dalam perdebatan itu, langsung membalas dengan nada sengit, "Tenang saja! Bulan depan Shirou akan mencapai level 5 sebelum Bell menyusulku!" serunya, seolah meyakinkan semua orang—terutama dirinya sendiri.

Mendengar pernyataan percaya diri Lefiya, Shirou hanya bisa mendesah pelan dalam hati. Kenapa harus aku yang disesak untuk naik level lagi? pikirnya, sambil tersenyum kecil, bingung melihat antusiasme Lefiya.

Anggota Familia lain yang mendengar percakapan ini tak bisa menahan tawa. Mereka terhibur dengan persaingan Lefiya pada Bell dan kebanggaannya terhadap Shirou. Hari itu, suasana di Twilight Manor terasa semakin hangat dengan tawa dan kebahagiaan yang memenuhi ruangan.

Setelah percakapan seru mereka di Twilight Manor, Shirou berpamitan pada yang lain, mengingat bahwa waktu pertemuannya dengan rekan-rekan dari Hostess of Fertility sudah semakin dekat. Ia bergegas menuju titik pertemuan mereka di pusat perbelanjaan.

Shirou tiba lima belas menit lebih awal di lokasi yang telah disepakati, yaitu di sekitar air mancur yang berada di tengah-tengah alun-alun pusat perbelanjaan. Begitu sampai, ia melihat bahwa Ryuu sudah berada di sana, menunggunya dengan tenang.

Hari itu, Ryuu mengenakan pakaian kasual yang simpel namun tetap stylish: atasan berwarna biru tua yang serasi dengan celana panjang hitamnya, serta syal tipis yang melilit lehernya dengan anggun. Penampilannya tampak rapi, sesuai dengan kepribadiannya yang tenang dan tertata.

Menyadari Ryuu telah lebih dulu tiba, Shirou segera menghampirinya dan mengucapkan permintaan maaf. "Maaf, Ryuu, kau yang traktir, tapi justru aku yang datang belakangan," ujarnya dengan nada menyesal.

Ryuu hanya tersenyum tipis sambil menggeleng pelan, kemudian menatap jam tangannya. "Kau tak perlu minta maaf, Shirou. Kau sebenarnya datang lebih awal daripada waktu yang kita tentukan," jawabnya sambil menepiskan kekhawatiran Shirou.

Merasa lega, Shirou mengajak Ryuu untuk duduk di bangku dekat air mancur sambil menunggu rekan lainnya. "Bagaimana kalau kita duduk sambil menunggu yang lain datang?" tawar Shirou.

Ryuu mengangguk setuju, lalu berjalan bersamanya menuju kursi di tepi air mancur. Mereka duduk berdampingan, menikmati suasana pusat perbelanjaan yang semakin ramai oleh pengunjung.

Ryuu tersenyum kecil dan mulai membuka percakapan. "Syr benar, rupanya. Kau selalu memakai tunik polos yang sama," katanya, nadanya sedikit menggoda, namun tetap dengan kelembutan khas Ryuu.

Shirou tertawa kecil mendengar komentar Ryuu. Ia menyadari bahwa kebiasaannya ini memang sudah lama terbentuk sejak ia tinggal di Fuyuki. "Sejak dulu, aku memang tidak punya banyak pakaian," katanya sambil mengingat masa lalunya. Dulu, ia sering mengenakan kaus putih polos dengan lengan biru yang sederhana.

"Sekarang pun, aku hanya punya satu lusin pakaian," lanjut Shirou sambil tersenyum. "Pak Arther yang memberikannya dulu—jadi, tak heran kalau semuanya polos seperti ini," tambahnya dengan nada santai.

Shirou, melihat penampilan kasual Ryuu yang terlihat begitu stylish, tak bisa menahan diri untuk memberi pujian. "Kalau begitu, nanti aku harus meminta bantuanmu. Gaya pakaianmu terlihat sangat keren dan… menarik," katanya, menatap Ryuu dengan senyum ramah.

Ryuu tersipu mendengar pujian itu. Sambil mengalihkan pandangannya sedikit, ia merespons dengan nada rendah, "Kau dan Syr sama saja, selalu mengatakan aku keren." Lalu, hampir berbisik, Ryuu menambahkan, "Padahal aku lebih suka jika dipuji… cantik."

Shirou hanya tertawa kecil, senang melihat sisi malu-malu Ryuu yang jarang terlihat.

Shirou tiba-tiba teringat tentang penampilan Ryuu saat menyamar dalam War Game. "Ngomong-ngomong soal penyamaranmu waktu itu, Ryuu," ujarnya sambil mengingatkan, "mungkin kau perlu meningkatkan penyamaran. Salah satu temanku bahkan sempat menyadari identitas aslimu."

Ryuu terlihat sedikit terkejut mendengar hal itu. "Benarkah? Padahal aku sudah memakai masker dan tidak menggunakan sihir apa pun," jawabnya dengan nada heran.

Shirou tersenyum dan menawarkan beberapa saran. "Mungkin kau bisa menambahkan jubah yang lebih tebal atau, mungkin, mewarnai rambutmu."

Mendengar ide Shirou, Ryuu tiba-tiba tertawa kecil, membuat Shirou bingung.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Shirou, tak mengerti apa yang membuat Ryuu mendadak geli.

Setelah berhenti tertawa, Ryuu menjelaskan, "Sebenarnya, Syr sudah mewarnai rambutku jadi hijau kekuningan untuk penyamaran." Ternyata, warna rambut pendek Ryuu saat ini bukanlah warna aslinya, melainkan hasil dari usaha agar identitasnya lebih sulit dikenali.

Mendengar itu, Shirou menyadari bahwa ia tak pernah tahu warna asli rambut Ryuu. "Jadi, warna rambutmu yang asli bukan yang sekarang ini?" tanyanya penuh rasa penasaran.

Ryuu tersenyum kecil sambil mengangkat bahu. "Oh, jadi kau ingin tahu rahasia seorang wanita?" candanya dengan nada menggoda, membuat Shirou langsung terdiam dan merasa canggung.

Namun, melihat ekspresi Shirou yang kebingungan, Ryuu akhirnya menjawab dengan lembut, "Rambut asliku dulu panjang dan berwarna pirang."

Shirou mencoba membayangkan Ryuu dengan rambut panjang berwarna pirang, seperti milik Aiz. Dia berpikir bahwa warna itu pasti cocok dengan keanggunan Ryuu dan malah menambah pesonanya.

Percakapan mereka diiringi senyum dan tawa kecil, membangun suasana akrab dan hangat di antara keduanya, sementara mereka menunggu yang lain untuk bergabung.

Next chapter