webnovel

Chapter 34

AN: Maaf ilustrasinya lebih lama dari yang kuduga 

Setelah beberapa saat berjalan menyusuri pantai, Shirou dan Lefiya akhirnya sampai di bagian kota yang lebih ramai, meskipun masih diwarnai oleh sisa-sisa pertempuran. Di kejauhan, mereka melihat sosok Bete yang sedang bertarung melawan sekelompok Amazon. Bete tampak seperti badai yang tak terbendung, menghabisi musuh-musuhnya dengan kecepatan dan kekuatan luar biasa. Satu demi satu Amazon jatuh ke tanah, tak mampu menandingi kekuatan dan kelincahan Bete. Di antara mereka, Phryne Jamil, yang dikenal sebagai salah satu petarung kuat Ishtar Familia, terlihat tergeletak tak berdaya, tak lagi menjadi ancaman.

Lefiya hanya tersenyum kecil, menatap pemandangan itu dengan tenang. "Sepertinya Bete juga tidak perlu bantuan kita," katanya sambil melirik ke arah Shirou. "Dia sudah lebih dari cukup untuk menangani musuh-musuhnya sendiri."

Shirou, yang memperhatikan pertarungan dari jauh, merasakan hal yang sama. Bete terlihat sangat dominan dalam pertarungan itu, dan tampaknya semua Amazon yang mencoba mengeroyoknya tidak memiliki peluang untuk menang. "Ya, kau benar," Shirou mengangguk setuju. "Bete memang bisa mengurus dirinya sendiri."

Dengan itu, Lefiya dengan lembut menarik lengan Shirou, mengajak berjalan ke arah yang berlawanan dari pertarungan tersebut. Mereka berdua melanjutkan perjalanan, meninggalkan pertempuran Bete di belakang mereka, menikmati suasana malam yang damai di kota Melen. Meski ada ketegangan di sebagian tempat, di bagian lain kota, semuanya tampak lebih tenang. Lampu-lampu yang menerangi jalanan membuat malam terasa lebih hangat, dan meski suara ombak masih terdengar di kejauhan, suasana kota membawa kedamaian yang berbeda.

Sambil mereka berjalan beriringan, Shirou tak bisa menahan perasaan bersalah yang mulai muncul dalam dirinya. "Apakah ini benar?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Kita hanya berjalan santai di sini sementara yang lain masih bertarung?"

Lefiya, yang mendengar suara pelan Shirou, menoleh padanya dengan senyum lembut. "Shirou, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri," katanya dengan nada menenangkan. "Kalau kita melihat ada anggota lain yang kesulitan, kita pasti akan membantunya. Tapi untuk saat ini, semua orang tampaknya baik-baik saja." Dia meyakinkan Shirou dengan nada yang lembut, berusaha meredakan rasa bersalahnya.

Shirou merenung sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kau benar, Lefiya," jawabnya, senyum kecil kembali muncul di wajahnya. "Sepertinya yang lain tidak butuh bantuan kita. Finn, Gareth, dan Bete terlihat menangani musuh mereka dengan mudah." Dia merasa sedikit lega mengetahui bahwa rekan-rekannya, yang sudah lebih berpengalaman, bisa mengatasi situasi tersebut tanpa kesulitan besar.

Lefiya mengangguk setuju, senyum lembut masih menghiasi wajahnya. "Ya, mereka pasti baik-baik saja. Kita hanya perlu percaya pada mereka."

Mereka berdua terus berjalan, menikmati keindahan kota Melen di malam hari. Suara pertempuran semakin jauh, dan yang tersisa hanyalah kedamaian yang mereka rasakan saat melangkah berdua. Meski ada rasa tanggung jawab untuk membantu teman-teman mereka, keduanya menyadari bahwa di momen ini, semua orang sudah memainkan perannya dengan baik. Mereka hanya perlu menunggu sampai saat yang tepat untuk bertindak, dan sampai saat itu tiba, mereka bisa menikmati kebersamaan mereka di kota yang damai ini.

Malam semakin larut, tetapi suasana hangat di antara Shirou dan Lefiya membuat mereka terus melangkah beriringan, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberikan mereka kesempatan menikmati ketenangan di tengah-tengah kekacauan yang baru saja mereka alami.

Saat mereka berdua terus berjalan menyusuri jalanan kota yang semakin damai, Lefiya tiba-tiba melihat keramaian di kejauhan. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu, dan tanpa ragu, dia menarik lengan Shirou dengan semangat. "Ayo, Shirou! Lihat itu, sepertinya ada sesuatu yang menarik di sana!" katanya dengan antusiasme yang jarang terlihat.

Shirou, yang terkejut oleh tarikan lembut Lefiya, mengikuti tanpa perlawanan. Dia tersenyum melihat betapa bersemangatnya Lefiya. Mereka berdua berjalan menuju keramaian itu, dan semakin dekat, semakin jelas terlihat bahwa itu adalah pasar malam yang meriah. Lampu-lampu terang berkelap-kelip menghiasi gerai-gerai dagangan, menciptakan suasana yang hidup dan penuh warna di bawah langit malam Melen. Suara tawa, obrolan riang, dan suara pedagang yang memanggil-manggil calon pembeli membuat suasana semakin ramai dan menyenangkan.

Mata Lefiya bersinar penuh kegembiraan saat dia melihat berbagai macam dagangan yang dipajang di sepanjang pasar malam itu. Ada berbagai macam makanan, pernak-pernik, mainan, dan barang-barang khas dari seluruh penjuru Orario dan luar kota. "Shirou, lihat ini! Dan itu!" serunya berkali-kali, menunjuk berbagai barang yang menarik perhatiannya.

Shirou tersenyum lembut melihat betapa bahagianya Lefiya. "Kau seperti anak kecil di toko permen," gumamnya dengan nada bercanda, tapi jelas dia senang melihat Lefiya bisa bersantai dan menikmati momen ini.

Setelah beberapa saat berjalan-jalan, Lefiya mengajak Shirou mencoba berbagai makanan khas yang dijual di sana. Mereka mencicipi aneka camilan manis dan gurih, dari roti panggang yang disiram saus karamel hingga daging panggang pedas yang lezat. Setiap gigitan membuat Lefiya tersenyum lebar, dan Shirou pun ikut menikmatinya, meskipun dia lebih banyak memperhatikan betapa senangnya Lefiya.

Saat mereka berjalan lebih jauh, Lefiya melihat sebuah gerai yang menjual topeng tradisional Amazon. Topeng-topeng itu dibuat dengan ukiran khas dan pola rumit, sering digunakan dalam festival atau ritual oleh suku-suku Amazon. "Aku ingin mencoba ini!" kata Lefiya penuh semangat. Dia mengambil salah satu topeng dan memakainya dengan hati-hati.

Kemudian, dengan nada suara yang lebih dalam, dia meniru suara Shirou, berusaha terdengar lebih misterius. "Aku hanya seorang petualang yang lewat dan dikejar musuh. Oleh karena itu, aku menyembunyikan wajahku," katanya sambil memegang topeng itu dengan dramatis.

Shirou tak bisa menahan tawanya. Tawa kecil keluar dari bibirnya, mengingatkan pada satu momen di masa lalu. "Hahaha, itu persis seperti apa yang kukatakan waktu itu di dekat Rivira," katanya, mengenang saat dia terpaksa menyembunyikan identitasnya dari Lefiya di lantai 18 Dungeon. Saat itu, Lefiya tidak mengenali Shirou yang tengah menyamar, dan dia harus mengarang alasan untuk menyembunyikan wajahnya dari gadis elf itu.

Lefiya membuka topengnya, matanya bersinar penuh tawa saat dia mengingat kembali kejadian itu. "Iya, kau memang terdengar sangat misterius waktu itu! Aku bahkan berpikir kau adalah orang jahat yang menyelinap di antara kami!"

Shirou tersenyum lebih lebar, merasa lega bahwa mereka sekarang bisa tertawa bersama mengenang kejadian yang saat itu terasa begitu tegang. "Ternyata, aku hanya seorang petualang biasa," katanya sambil mengangkat bahu, membuat Lefiya tertawa lagi.

Mereka berdua terus berjalan di pasar malam itu, mencoba hal-hal baru dan menikmati kebersamaan yang hangat. Malam di Melen terasa semakin damai, dan di antara tawa dan candaan, Shirou merasa bahwa ini adalah momen yang sangat berharga—momen sederhana di tengah kehidupan petualang yang penuh tantangan, di mana mereka bisa merasa bebas sejenak dari tekanan dan tanggung jawab.

Sambil menikmati suasana pasar malam yang meriah, Shirou tiba-tiba teringat sesuatu yang penting. Dalam hati, ia mengingat kembali janji yang telah ia buat kepada teman-teman kerjanya di Hostess of Fertility. Mereka bercanda meminta oleh-oleh saat ia berangkat menuju Melen, dan Shirou menyadari bahwa dia belum membeli apapun untuk mereka.

"Aku baru ingat, aku harus mencari oleh-oleh untuk teman-temanku di Hostess of Fertility," kata Shirou, sedikit tersenyum sambil melirik ke arah Lefiya.

Mendengar hal itu, mata Lefiya berbinar, penuh semangat. "Oleh-oleh? Aku akan membantumu mencarinya!" jawabnya penuh antusiasme. Dia seolah senang sekali bisa membantu Shirou, dan tanpa menunggu jawaban, Lefiya langsung menggamit lengan Shirou, menariknya berkeliling pasar malam dengan semangat tinggi.

Mereka mulai menjelajahi setiap sudut pasar, mengunjungi berbagai gerai yang menjual beragam barang. Lefiya, yang tampaknya sangat bersemangat, terus menunjukkan berbagai barang yang menurutnya cocok sebagai oleh-oleh. "Bagaimana dengan ini, Shirou?" tanya Lefiya, sambil menunjuk kerajinan tangan berupa ukiran batu kecil.

Namun, Shirou hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Ini bagus, tapi aku rasa masih belum pas untuk mereka."

Mereka terus berkeliling, mencari sesuatu yang sempurna. Lefiya tak henti-hentinya melihat-lihat dan menunjukkan berbagai barang. Mulai dari perhiasan kecil, patung kayu, hingga kain berwarna-warni yang khas dari Melen. Meskipun banyak yang indah dan menarik, Shirou masih belum merasa bahwa itu cocok sebagai oleh-oleh untuk restoran tempat dia bekerja.

"Hmm... sulit juga, ya?" kata Lefiya sambil tersenyum kecil.

Shirou mengangguk. "Ya, aku ingin sesuatu yang bisa mereka pajang di Hostess of Fertility. Sesuatu yang bisa mengingatkan mereka pada kota ini."

Setelah beberapa saat mencari, mereka akhirnya sampai di sebuah gerai yang menjual miniatur kapal dari kayu yang indah. Kapal-kapal kecil itu dibuat dengan sangat detail, seolah mencerminkan pesona kota pelabuhan Melen yang terkenal dengan lautnya. Shirou berhenti di depan gerai itu, matanya tertarik pada salah satu miniatur kapal yang sangat cantik. Ukiran kayunya halus, lengkap dengan layar kecil yang tertiup angin, membuatnya tampak hidup.

"Ini dia," kata Shirou dengan senyum puas. "Aku rasa ini cocok untuk dipajang di Hostess of Fertility."

Lefiya, yang berdiri di sampingnya, mengangguk setuju. "Iya, ini sempurna! Miniatur kapal ini benar-benar menggambarkan Melen, dan pasti akan terlihat bagus di restoran." Dia terlihat senang bahwa mereka akhirnya menemukan sesuatu yang pas.

Shirou kemudian memutuskan untuk membeli miniatur kapal tersebut. Pedagangnya dengan sigap membungkus miniatur itu dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam kotak kayu yang kokoh agar tetap aman selama perjalanan kembali ke Orario. Shirou tersenyum puas, merasa senang karena telah menepati janjinya untuk membawa oleh-oleh yang bermakna bagi teman-temannya.

"Terima kasih sudah membantuku mencarinya, Lefiya," kata Shirou sambil membawa kotak kayu berisi miniatur kapal itu.

Lefiya tersenyum manis, senang bisa membantu. "Tentu saja, Shirou. Aku senang bisa membantu, dan aku yakin mereka akan menyukai ini."

Dengan miniatur kapal itu di tangan, mereka melanjutkan langkah mereka di pasar malam, merasa puas karena misi oleh-oleh telah berhasil diselesaikan. Suasana malam di Melen terus memanjakan mereka dengan ketenangan dan kedamaian, membuat perjalanan mereka semakin berkesan.

Malam semakin larut, dan setelah beberapa jam menikmati keramaian pasar malam, Shirou dan Lefiya memutuskan untuk meninggalkan pasar yang mulai sepi. Meski suasana masih hidup dengan lampu-lampu berkelap-kelip, mereka merasa cukup puas dengan petualangan kecil mereka di kota Melen. Dengan miniatur kapal kayu yang sudah diamankan dalam kotak, mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat peristirahatan.

Lefiya, yang tampak masih penuh semangat, tersenyum lebar saat dia mulai memimpin jalan. "Aku tahu jalannya. Penginapan kita sudah dipesan oleh Loki Familia. Aku akan tunjukkan padamu, Shirou," katanya dengan antusiasme yang khas.

Shirou, yang berjalan di sampingnya, hanya tersenyum melihat semangat Lefiya. Dia tampak senang bahwa Lefiya masih memiliki energi setelah semua yang mereka alami hari itu. Sambil memegang kotak oleh-olehnya dengan hati-hati, dia mengikuti Lefiya yang terus menunjukkan jalan dengan percaya diri.

Saat mereka berjalan melewati beberapa gang dan jalan setapak, tiba-tiba mereka menemukan pemandangan yang begitu memukau. Di depan mereka terbentang pantai yang diterangi oleh cahaya bulan. Rembulan penuh bersinar terang di langit, memantulkan cahayanya ke permukaan air yang tenang, menciptakan pemandangan yang hampir magis. Ombak yang lembut menggulung ke tepi pantai, menciptakan suara menenangkan yang seolah memanggil mereka untuk berhenti sejenak.

Lefiya, terpesona oleh keindahan pemandangan itu, berhenti dan memandang ke arah laut dengan takjub. "Indah sekali...," gumamnya pelan, suaranya hampir seperti bisikan, seolah takut merusak ketenangan malam. Setelah beberapa detik memandangi pemandangan itu, dia menemukan sebuah tempat di pinggir jalan yang menghadap langsung ke pantai. "Ayo duduk di sini sebentar, Shirou," katanya sambil duduk di pinggir jalan yang datar, menatap ke arah laut.

Shirou, yang sama terpesonanya oleh pemandangan itu, mengangguk dan mengikuti Lefiya. Dia duduk di sampingnya, meletakkan kotak kayu di sampingnya dengan hati-hati. Mereka berdua duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, hanya menikmati suara ombak yang menenangkan dan pemandangan bulan yang menggantung di langit malam.

Angin laut yang sejuk berhembus lembut, membawa aroma garam yang menyegarkan. Suasana malam itu begitu damai, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi mereka momen istirahat setelah semua petualangan yang telah mereka lalui. Meski mereka berdua adalah petualang yang terbiasa dengan bahaya dan pertempuran, momen seperti ini sangat langka—momen di mana mereka bisa duduk bersama tanpa harus khawatir tentang apa yang akan terjadi berikutnya.

"Ini terasa sangat berbeda," kata Shirou pelan, memecah keheningan. "Setelah semua yang terjadi, bisa duduk di sini dan menikmati malam... rasanya seperti mimpi."

Lefiya menoleh ke arahnya, senyum kecil terlukis di wajahnya. "Iya, aku juga merasakannya. Biasanya, kita selalu sibuk dengan misi atau latihan. Tapi malam ini... rasanya tenang sekali." Dia menatap kembali ke laut, matanya kembali terpesona oleh keindahan alam di hadapannya. "Aku senang bisa menghabiskan waktu seperti ini bersamamu, Shirou," tambahnya, nadanya tulus dan lembut.

Shirou tersenyum mendengar kata-kata Lefiya. "Aku juga senang bisa menghabiskan waktu bersamamu, Lefiya," balasnya, suaranya terdengar jujur dan hangat.

Mereka kembali terdiam, menikmati malam yang indah. Meskipun mereka tahu bahwa mereka masih harus kembali ke penginapan dan menghadapi hari baru esoknya, untuk saat ini, mereka membiarkan diri mereka tenggelam dalam kedamaian malam, duduk berdampingan dengan pemandangan pantai yang diterangi cahaya rembulan. Di tengah perjalanan hidup sebagai petualang yang penuh tantangan, momen-momen sederhana seperti ini adalah yang paling berharga.

Saat mereka duduk dalam keheningan yang nyaman, menatap pemandangan indah di depan mereka, Lefiya tiba-tiba berbicara dengan nada pelan. "Sudah lama sekali, ya... sejak kita menghabiskan waktu berdua saja seperti ini," katanya, suaranya terdengar lembut di tengah angin malam yang sejuk.

Shirou menoleh ke arah Lefiya, merenungkan ucapannya. Dia tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, sudah lama," jawabnya. "Kurasa terakhir kali kita berdua bersama seperti ini adalah ketika kau menjadi mentorku. Saat itu aku baru saja bergabung dengan Loki Familia dan kau yang membantuku beradaptasi."

Lefiya tertawa kecil, senyumnya mencerminkan kenangan manis yang terlintas di benaknya. "Iya, aku ingat itu," katanya dengan senyum yang lebih lebar. "Aku begitu semangat waktu itu, berusaha membantu dan membelikanmu perlengkapan. Aku ingat aku membelikanmu busur, anak panah, dan armor..." Namun, senyumnya perlahan memudar, dan ada sedikit nada sedih yang mulai terdengar dalam suaranya. "Tapi ternyata kau tidak membutuhkan semua itu... kau bisa memproyeksikannya sendiri. Aku tidak tahu tentang kemampuanmu waktu itu."

Shirou mendengarkan dengan seksama, melihat bagaimana perasaan Lefiya berubah seiring dengan kenangan itu. Ada rasa bersalah yang tersirat dalam ekspresinya, seolah-olah dia merasa bahwa usaha Lefiya dulu sia-sia. Lefiya menundukkan kepalanya sedikit, tidak ingin menunjukkan kekecewaannya, tetapi Shirou bisa merasakannya.

"Lefiya," kata Shirou dengan suara lembut, mencoba menenangkan suasana. "Kebaikanmu saat itu sangat berarti bagiku. Meskipun aku bisa memproyeksikan senjata, perlengkapan yang kau belikan tidak pernah sia-sia." Dia tersenyum hangat, berusaha menghibur Lefiya. "Aku masih menyimpan busur, anak panah, dan armor yang kau beli untukku. Semuanya tersimpan rapi di kamarku. Setiap kali aku melihatnya, aku ingat betapa pedulinya kau padaku waktu itu."

Lefiya, yang mendengar kata-kata Shirou, perlahan-lahan mulai tersenyum lagi. Matanya kembali bersinar, dan rasa sedih yang tadi melintas di wajahnya mulai menghilang. "Benarkah? Kau masih menyimpannya?" tanyanya, merasa sedikit lega. "Aku pikir kau mungkin sudah melupakannya atau membuangnya."

Shirou menggeleng dengan tegas. "Tentu saja tidak. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu, Lefiya." Senyumnya semakin hangat, dan dia berharap bahwa kata-katanya dapat sepenuhnya menghilangkan keraguan di hati Lefiya.

Lefiya tertawa kecil lagi, kali ini dengan nada yang lebih riang. "Kalau begitu, kau bisa menggunakan peralatan itu lagi kalau kau mau berpura-pura lemah, seperti saat pertama kali kita bertemu," candanya sambil memandang Shirou dengan tatapan yang lebih ceria.

Shirou tertawa mendengar candaan itu. "Pura-pura lemah, ya? Mungkin itu bisa jadi rencana yang menarik," balasnya dengan nada bercanda, meskipun mereka berdua tahu bahwa dia tak mungkin lagi menyembunyikan kekuatannya dari teman-teman Loki Familia.

Mereka berdua kembali tertawa, suasana yang sempat sedikit berat kini berubah menjadi lebih ringan. Lefiya tampak lebih ceria, dan Shirou merasa lega karena bisa mengembalikan senyumnya. Mereka kembali duduk bersama dalam keheningan yang nyaman, menikmati sisa malam yang damai, seolah-olah tidak ada yang lebih penting selain kebersamaan mereka saat ini.

(Check the Illustration at patreon(dot)com/rayish)

Saat mereka duduk menikmati malam yang tenang dan damai, dengan angin laut yang sejuk berhembus lembut, Lefiya tiba-tiba menatap langit, matanya terpaku pada bulan yang bersinar terang di atas mereka. Tanpa berpikir panjang, dia berkata, "Bukankah bulan ini begitu indah?"

Shirou, yang sedang asyik menikmati pemandangan, tiba-tiba tersentak mendengar kata-kata itu. Keringat dingin mulai muncul di dahinya, dan pikirannya langsung berputar dengan cepat. Dalam budaya Jepang, ungkapan "Tsuki ga kirei, desu ne"—yang berarti "Bulan begitu indah"—sering digunakan sebagai pengakuan cinta yang halus, cara puitis untuk mengungkapkan perasaan terdalam tanpa kata-kata langsung. Shirou tak menyangka bahwa ungkapan ini bisa sampai ke dunia lain, apalagi digunakan oleh seorang elf seperti Lefiya.

Sejenak, dia terdiam. Pikiran Shirou berkecamuk, mencoba memahami situasi ini. Lefiya terus menatap bulan, tak menyadari betapa kaku dan canggungnya Shirou di sebelahnya. Lefiya, yang merasa ada sesuatu yang aneh, menoleh ke arah Shirou dan memanggilnya dengan bingung. "Shirou? Ada apa?" tanyanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Shirou menarik napas panjang, mencoba mengendalikan kegelisahannya. Kata-kata Lefiya tadi mengguncang perasaannya, dan dia tiba-tiba teringat janji yang pernah dia buat pada dirinya sendiri: dia akan menerima perasaan dari siapa pun yang pertama kali mengungkapkan cinta kepadanya. Sekarang, apakah ini saatnya? Lefiya—elf yang imut, ceria, dan selalu baik padanya—telah mengucapkan kata-kata yang dalam budaya Shirou di dunia lamanya, berarti pengakuan cinta.

Dalam benaknya, Shirou berpikir tentang betapa beruntungnya dia jika Lefiya benar-benar memiliki perasaan padanya. Lefiya adalah seseorang yang selalu membuatnya nyaman dengan kehadirannya. Dia mengingat saat-saat ketika Lefiya tersenyum, matanya yang biru bercahaya dalam keceriaan, dan wajahnya yang sering memerah malu setiap kali mereka bercanda. Dalam hati, Shirou berpikir bahwa jika Lefiya memang mencintainya, maka dia sangat beruntung.

Mengumpulkan keberaniannya, Shirou akhirnya berbicara. Dengan suara pelan dan sedikit bergetar, dia berkata, "Aku bisa mati bahagia."

Lefiya, yang mendengar itu, langsung bingung. Ekspresi di wajahnya berubah seketika, matanya menatap Shirou dengan rasa tidak paham. "Apa maksudmu, Shirou?" tanyanya sambil tertawa kecil, seolah belum menangkap maksud sebenarnya dari ucapan Shirou.

Saat itu, Shirou tersadar—Lefiya ternyata tidak sedang mengakui cintanya. Dia tidak menyadari konotasi dalam ungkapan itu, dan mungkin dia hanya mengatakan bahwa bulan memang indah, tanpa maksud lain. Sadar akan kesalahpahamannya, Shirou merasakan wajahnya memerah hebat. Dia terdiam, merasa sangat canggung dan malu.

"Itu... bukan apa-apa," jawab Shirou terbata-bata, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Dia berusaha tersenyum meski rasa malu menguasainya. "Aku hanya... terlalu terpesona oleh pemandangan malam ini."

Lefiya tertawa lagi, kali ini lebih riang. "Kau aneh sekali, Shirou," katanya, masih bingung tapi tak terlalu memikirkan ucapan Shirou sebelumnya. Bagi Lefiya, malam itu memang indah dan penuh ketenangan, tanpa ada maksud yang lebih dari itu.

Sementara Shirou berusaha keras menenangkan dirinya, dia hanya bisa tersenyum kecut, mencoba menutupi rasa malunya yang semakin membuncah. Lefiya mungkin tidak menyadari apa yang baru saja terjadi, tapi Shirou belajar satu hal: tidak semua ungkapan membawa makna yang sama di dunia yang berbeda. Namun, meskipun kesalahpahaman itu terjadi, dia tetap merasa lega bisa bersama Lefiya, meskipun tanpa pengakuan cinta yang dia duga.

Malam semakin larut, dan cahaya rembulan yang tadi bersinar terang kini perlahan-lahan mulai turun, menyisakan suasana yang lebih gelap di pantai. Shirou, yang masih merasa sedikit canggung setelah kesalahpahamannya dengan Lefiya, memutuskan bahwa sudah waktunya untuk kembali ke penginapan. Dia berdiri perlahan, lalu menatap Lefiya yang masih duduk menikmati angin malam. "Ayo, kita pulang. Malam sudah semakin larut," katanya dengan lembut, sambil mengulurkan tangannya untuk membantu Lefiya berdiri.

Lefiya tersenyum, menerima uluran tangan Shirou dengan lembut. "Terima kasih," ucapnya saat dia berdiri, memandang Shirou dengan tatapan penuh rasa syukur. Setelah itu, mereka berdua berjalan berdampingan, melanjutkan perjalanan mereka menuju penginapan yang telah disiapkan untuk para anggota Loki Familia. Suasana malam yang sejuk, dengan hanya suara ombak yang berderai lembut, menemani langkah mereka.

Sambil berjalan, Shirou masih merasakan sisa-sisa rasa malu di hatinya akibat kesalahpahaman tadi. Lefiya tidak pernah bermaksud untuk mengakui perasaannya, dan Shirou telah dengan bodohnya menyalahartikan ungkapannya tentang bulan. Di dalam hatinya, ia berusaha keras untuk melupakan hal itu, tetapi wajahnya masih memerah sedikit setiap kali ia memikirkannya. Dia tidak ingin membuat keadaan menjadi lebih canggung, jadi dia menyimpan perasaan malu itu dalam hatinya, berusaha bersikap normal di depan Lefiya.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai di penginapan. Kebanyakan anggota Loki Familia sudah terlelap, kecuali beberapa orang yang masih berjaga-jaga atau menikmati sisa malam dengan tenang. Penginapan itu sendiri tampak sunyi, lampu-lampu di lorongnya redup, menciptakan suasana damai.

Di depan pintu kamar masing-masing, Lefiya menoleh kepada Shirou dan tersenyum lagi. "Terima kasih, Shirou. Aku sangat menikmati malam ini," ucapnya lembut, ada kehangatan dalam suaranya yang membuat Shirou merasa lebih tenang.

Shirou tersenyum kembali, meskipun dalam hatinya dia masih merasa sedikit canggung. "Aku juga, Lefiya. Terima kasih sudah menemani." Mereka bertukar pandang sebentar, sebelum Lefiya mengucapkan selamat malam dan masuk ke kamarnya.

Shirou berdiri sebentar di depan pintu kamarnya sendiri, menghela napas panjang, mencoba meredakan perasaan yang campur aduk di dalam dirinya. Setelah itu, dia masuk ke kamarnya. Begitu pintu tertutup di belakangnya, dia langsung melemparkan dirinya ke tempat tidur. Wajahnya merah padam saat dia mengingat kembali kesalahpahaman yang membuatnya begitu malu.

Dengan frustasi yang bercampur malu, Shirou menghantamkan kepalanya ke bantal. "Bodoh... kenapa aku mengatakan itu?" gumamnya pada dirinya sendiri, merasa kesal dengan kebodohannya. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha keras melupakan kejadian tadi, tetapi rasa malu itu masih terus menghantuinya.

Akhirnya, setelah beberapa menit berlalu, Shirou mulai tenang dan menghela napas panjang. Dia melepaskan tangannya dari wajahnya, mencoba merilekskan pikirannya. "Lupakan saja. Besok hari baru," katanya pada dirinya sendiri, meskipun di dalam hati dia tahu kejadian itu akan terus menghantui pikirannya setidaknya untuk beberapa waktu. Tapi untuk sekarang, dia memutuskan untuk tidur dan menyiapkan dirinya untuk hari berikutnya.

Next chapter