Wardana's Paviliun
Karina POV
"Kamu yang lebih tahu apa Juan jujur atau tidak saat bilang dia tidak bermaksud jelek-jelekin kamu dengan kata-katanya," kata Dara ketika aku menceritakan penjelasan Juan. "Kalian sudah pacaran hampir tujuh bulan waktu itu, kan? Karakter asli seseorang sudah terlihat untuk ukuran waktu seperti itu."
"Aku bingung," keluhku. "Biasanya, kalau marah, orang cenderung mengatakan hal yang sebenarnya, kan? Tapi Juan bilang, dia mengucapkan kata-kata seperti itu karena marah sama ibunya yang terlalu ikut campur dalam hubungan kami."
"Saat marah, kita mengeluarkan unek-unek, sih, Rin. Kita akan mendramatisir dan melebih-lebihkan untuk memuaskan emosi. Logika kita tidak sepenuhnya jalan." Dara menepuk punggung tanganku. "Aku bilang ini karena kamu tanya pendapatku, bukan untuk membela Juan."
Aku mengawasi uap yang melayang-layang dari cangkir teh yang belum lama diletakkan Dara di depanku. Gerakannya tidak menentu, terombang-ambing mengikuti angin. Persis seperti perasaanku sekarang. Aku ingin memercayai penjelasan Juan, tetapi hatiku masih terasa sakit setiap kali teringat kata-katanya. Memang sulit saat memakai hati ketika berhubungan dengan orang lain. Luka yang dalam hanya bisa ditorehkan oleh orang yang sangat kita cintai, karena kita terlanjur percaya bahwa dia tidak akan menyakiti kita.
"Kalau aku percaya, aku akan menganggapnya sama seperti dulu. Dia dulu sangat baik, meskipun kadang-kadang konyol dengan humornya yang receh itu. Aku bisa saja jatuh cinta lagi dengannya. Aku tidak mau itu. Aku akan terlihat lebih konyol kalau jatuh cinta pada mantan sendiri."
"Kamu tidak bisa jatuh cinta lagi sama dia, Rin. Karena kamu memang masih cinta sama dia. Itu alasan kamu menjauh. Kamu berharap jarak bisa membunuh perasaanmu. Tapi teori jarak dan perasaan tidak selamanya berbanding lurus, kan?"
"Aku merasa sangat bodoh." Aku mengangkat cangkir dan menyesap isinya. Berharap hangat yang mengelus kerongkongan akan membantu melegakan perasaan.
"Ya, cinta memang kadang-kadang membuat kita bodoh. Itu saat di mana kita menganggap orang lain menjadi jauh lebih penting daripada diri kita sendiri." Dara mengedik. "Hubunganku dengan Ka Devan menjadi sangat buruk sejak dia bergaul dengan Juan. Aku benci perbuatannya yang mengikuti Juan menjadi playboy, tapi aku tidak bisa berhenti mencintainya. Setiap kali mau memutuskan hubungan, Ka Satya akan menyuruhku mengingat-ingat masa lalu saat hubunganku dengan Devan belum rusak karena pergaulannya. Dan aku akan ingat bagaimana baik dan sayangnya dia kepadaku. Sejak Mika masuk dalam hidupnya, dia mulai kembali menerimaku sebagai adiknya dan itu tidak mudah bagiku. Cinta memang seperti itu, Rin. Meskipun menyakitkan, kita tidak bisa lantas menyingkirkannya."
"Ini sebenarnya akan lebih mudah kalau Juan bukan bagian dari keluargamu. Aku hanya perlu memaafkannya dan memutus kontak. Tapi aku tidak melakukan itu karena Mbak Nia."
"Apa kamu benar yakin akan bahagia kalau kontak kalian benar-benar terputus? Coba pikir-pikir lagi, Rin. Apa perasaanmu jauh lebih baik sebelum bertemu kembali dengan Juan, atau malah sebaliknya? Hanya kamu yang bisa menjawab pertanyaan itu."
Jujur, aku tidak tahu. Aku belum berpikir sampai ke sana.
Juan selalu berhasil dengan diplomasi santainya. Gaya yang awalnya tidak kusukai. Entah kenapa, aku kemudian malah berbalik jatuh cinta kepadanya. Seperti kata orang-orang, cinta memang tidak memilih sasaran saat hendak hinggap. Aku mungkin korban panah Cupid yang salah sasaran saat sedang bosan dan mengantuk.
"Kamu tidak memikirkan kemungkinan kembali bersama Juan, kan?" Dara mengusik lamunanku.
Aku langsung menggeleng. "Astaga, tentu saja tidak!" Apa yang dikatakan Dara sangat tidak masuk akal.
"Kenapa tidak? Itu tidak mustahil. Kalian hanya berpisah bukan bercerai, kan?"
Aku terus menggeleng. "Kami berpisah karena hubungan kami tidak bisa dipertahankan. Tidak masuk akal saja memulainya kembali. Aku dan Juan beneran berbeda."
"Karakter yang berbeda biasanya saling melengkapi."
"Terlalu banyak perbedaan juga tidak bagus." Kalau kesenjangan karakter kami tidak terlalu jauh, Juan mungkin tidak akan segan membawaku dalam pergaulannya. Kalau dia dulu melakukannya, aku tidak akan curiga dan berpikiran buruk berlebihan tentang arti hubungan kami untuknya. Aku akan lebih mudah menerima penjelasan dan permintaan maafnya.
"Jangan langsung bilang tidak, Rin. Pikirkan saja dulu. Biasanya kamu tidak memutuskan sesuatu berdasarkan emosi sesaat."
Biasnya, keputusan yang aku ambil tidak berhubungan dengan cinta dan perasaan terkhianati. Sama seperti orang lain, aku juga bisa implusif saat melibatkan perasaan.
"Kalau kami dekat lagi, itu karena hubunganku dengan keluargamu, tidak lebih."
"Kamu lebih tahu apa yang terbaik untuk kamu sendiri, Rin. Sebagai teman, aku hanya bisa kasih sudut pandang lain, tapi tetap saja kamu yang memutuskan."
Bicara dengan Dara membantu meringankan perasaan, tetapi tidak akan mengubah pendapatku. Lagipula, perpisahanku dengan Juan sudah lama. Kalau dilihat dari rekam jejaknya selama kami bekerja sama, dia bukan orang yang sulit berpindah hati. Dia tidak pernah terlihat patah hati dan boom! Tiba-tiba saja dia sudah berganti gandengan.
Jadi, rasanya tidak mungkin Juan tidak punya hubungan dengan perempuan lain setelah kami berpisah. Kemungkinan besar adalah kembali bersama Nisya, cinta dalam hidupnya. Mereka berpisah karena Juan memutuskan bersamaku. Apa lagi yang bisa menghalangi mereka kembali bersama setelah kami berpisah? Tidak ada.
***
Hospital
Author POV
Selama sebulan , Hara berusaha menghindari pertemuan dengan Sultan. Ia meminta para suster untuk tidak mengizinkan Sultan masuk ke kamarnya.
Karena khawatir akan kesehatan pasien, para suster akhirnya menuruti permintaan Hara. Sultan hanya bisa menungguinya di luar kamar. Pada minggu keempat, Sultan sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Saat tidak ada seorang pun yang menjaga Hara, Sultan masuk ke kamar rawat Hara.
Hara terkejut melihat kehadiran Sultan. Tapi kemudian ia menenangkan diri. Memang sudah waktunya mereka bicara.
"Duduklah, Sultan," kata Hara.
Sultan duduk di kursi sebelah ranjang Hara. "Kenapa kau tidak mau menemuiku?"
"Aku perlu menata kembali perasaanku," Hara berterus terang.
"Jadi..." Sultan menatap Hara, "Bagaimana perasaanmu sekarang?
"Aku lebih tenang sekarang," senyumnya mengembang perlahan. "Tapi... aku tetap tidak bisa
menerimamu, Sultan."
Sultan mendesah, tampak putus asa. "Apa yang harus kulakukan supaya kau bisa melihat bahwa
aku tidak peduli apakah di kakimu ada bekas luka atau tidak? Apakah kau masih memiliki kakimu atau tidak. Apakah kau selamanya akan cacat atau tidak. Kau terlihat sempurna di mataku."
"Aku tahu," jawab Hara tenang. "Tapi aku tidak bisa melihat diriku bersanding denganmu dan menipu diriku sendiri bahwa aku terlihat sempurna."
Sultan pindah duduk di ranjang Hara. "Aku mau tanya sesuatu..." Sultan menatap mata Hara dengan serius. "Kalau kakiku yang cacat, bukan kakimu, apakah kau akan meninggalkanku?"
Hara terdiam sesaat. "Pertanyaanmu tidak relevan. Kakimu tidak cacat," sanggahnya.
Sultan tersenyum. "Tapi jawabannya tetap tidak, bukan? Kau tidak akan meninggalkanku. Aku
tidak akan meninggalkanmu juga. Sampai kapan pun."
Hara mencoba metode lain untuk meyakinkan Sultan supaya meninggalkannya. "Kau sudah
meraih semua impianmu. Hidupmu sudah sempurna. Kau tidak memerlukan kehadiranku dalam hidupmu. Aku mau bertanya satu pertanyaan penting. Aku mau kau jujur padaku. Apakah... kau
akan memakai sebuah berlian cacat pada rancangan perhiasanmu?"
Sultan mengerti kemana Hara ingin membawa pembicaraannya. Perlahan tangan Sultan terangkat,
lalu meraih kalung yang melingkari lehernya. Dilepaskannya kalung tersebut. Kemudian dia meraih tangan Hara dan meletakkan kalungnya di telapak tangan wanita itu.
Hara melihat seuntai kalung dengan sebuah berlian kecil. Keningnya berkerut keheranan.
"Kenapa kau memperlihatkan kalungmu kepadaku?"
Sultan menatap Hara dengan lembut. "Berlian kecil di pinggiran besi itu adalah berlian yang pertama kali kupotong. Aku melakukan satu kesalahan kecil. Kesalahan pertama dan satu satunya yang kubuat. Aku membuat berlian itu kehilangan cahayanya. Berapa kalipun aku mencoba memperbaikinya, berlian itu tetap cacat selamanya. Sekarang, kau bertanya padaku apakah aku akan memakai sebuah berlian cacat untuk perhiasanku? Jawabannya tentu saja tidak. Berlian yang kau pegang itu tidak berharga pada perhiasan manapun. Tapi... bongkahan batu kecil itu sangat berharga bagiku. Lebih daripada berlian manapun. Aku selalu mengenakannya setiap hari. Hidupku tidak akan sempurna tanpa berlian cacat itu. Hidupku tidak akan sempurna tanpa dirimu."
Sultan mencondongkan tubuhnya dan memegang wajah Hara dengan kedua tangannya. "Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Hara. Dan aku tidak akan meninggalkanmu."
To Be Continued