Jakarta
Author POV
Gwen berdiri di ambang pintu, berpegangan pada kusen saat lututnya terasa goyah. Rangga hanya duduk diam disana, di samping putrinya yang tertidur.
"Bunda..." Kasih bergumam sambil mengucek matanya. "Bunda..." panggilnya dengan suara merengek. Bergerak gelisah di atas ranjang.
Gwen segera mendekat, naik ke atas tempat tidur dan memeluk Kasih.
"Ssst, Bunda disini." bisiknya lembut mengusap kepala Kasih penuh sayang, lalu wanita itu mulai bernyanyi dengan suara pelan hingga Kasih kembali tertidur nyenyak sambil memeluknya.
Sejenak, Gwen melupakan kehadiran Rangga disana.
Pria itu hanya diam memerhatikan istri dan anaknya. Rasanya sungguh tidak bisa ia percaya, bisa melihat Gwen dalam jarak sedekat ini.
Gwen masih bernyanyi sambil membelai kepala Kasih.
"Bagaimana kabarmu?" Rangga bertanya setelah Gwen berhenti menyanyi namun wanita itu tidak berani memandangnya, Gwen lebih memilih mengubur wajahnya di rambut Kasih. "Gwen, kamu pasti mendengarku."
Gwen mengangkat wajah perlahan dan menatap Rangga takut-takut.
"Kabarku baik. Mas sendiri?"
"Seperti yang kamu lihat." Rangga masih duduk menatap Gwen lekat, membuat jantung Gwen berdebar kencang dan ia kembali menunduk menatap Kasih.
"Ceritakan padaku tentang Kafka."
Gwen menoleh cepat, "Bagaimana Mas tahu tentang Kafka?"
"Dengan cara yang sama saat aku tahu tentang Kasih." Rangga menatap Gwen lekat. "Ceritakan padaku tentang putraku. Kembaran Kasih."
"Aku harus pergi, ada sesuatu yang harus aku kerjakan."
"Apakah begini caramu?" suara Rangga menghentikan langkah Gwen yang hendak melangkah keluar dari kamar. "Apa kamu akan lari seperti ini selamanya dariku?"
Gwen tidak menoleh karena menahan airmata. Ia tidak bisa menceritakan tentang Kafka, mengingat Kafka selalu membuatnya merasa sedih, putranya yang malang, yang tidak mampu bertahan setelah keluar dari rahim Gwen.
Tidak. Kafka pergi karena kesalahan Gwen dan Gwen tidak sanggup menanggung rasa itu lagi, rasanya menyakitkan, saat ia harus kehilangan salah satu dari dua anak yang ia lahirkan.
Gwen melangkah keluar dari kamar Kasih dan masuk ke kamarnya, berniat mengurung diri. Tapi sebelum ia sempat menutup pintu, Rangga lebih dulu masuk dan menendang pintunya. Membuat Gwen terkesiap takut.
"Aku sudah pernah ditinggalkan sekali. Dan aku tidak sudi ditinggalkan lagi tanpa penjelasan."
Rangga mengunci pintu kamar Gwen dan mencabut kuncinya, lalu mengantonginya.
"Mas, aku..." Gwen terkejut saat kakinya membentur sisi ranjang dan terduduk disana. Sedangkan Rangga melangkah dan duduk di kursi yang ada di sudut ruangan.
"Aku tidak ingin mendengar penolakan."
Gwen terdiam, matanya menatap lekat Rangga yang duduk. Gwen tidak kunjung memulai percakapan karena tidak tahu harus memulai dari mana, sedangkan pria itu menatapnya dalam-dalam.
Sadar kalau ia yang salah, Gwen membuka mulut dan mulai berkata dengan suara pelan. "Aku minta maaf..."
"Aku tidak tahu apakah harus memaafkanmu atau tidak."
Gwen menahan napas sejenak karena ucapan dingin itu. Lalu tatapan beralih pada tangan kanan Rangga yang memakai cincin pernikahan.
"Mas sudah menikah?"
Rangga menunduk, menatap tangannya.
"Ya." jawabnya santai.
"Selamat." Gwen mencoba tersenyum. Airmata jatuh begitu saja di wajahnya. Ia memalingkan wajah dan mengusap pipi.
"Kenapa kamu menangis?" Gwen menggeleng, rasanya sungguh menyakitkan mengetahui Rangga sudah melupakannya. "Bukankah kamu yang meninggalkan aku?"
"Aku hanya terharu, akhirnya Mas dan Serena bisa bersatu." Jawabnya lancar, seakan Gwen sudah menyiapkan kalimat itu dan menghafalnya.
Rangga tersenyum mengejek sambil bersandar di punggung kursi yang di dudukinya. "Kamu tidak pernah berubah ya." ujar Rangga sambil tersenyum sinis. "Masih payah dalam urusan berbohong dan berpikir bahwa orang akan mempercayai kebohongan itu."
"Aku..." Gwen tidak tahu harus memulai dari mana. "Baiklah. Aku berbohong. Saat aku mengatakan aku terharu atas pernikahan Mas dan Serena, aku berbohong." ucap Gwen frustasi. "Aku tidak bisa melupakanmu, tiada hari yang aku lewati tanpa penyesalan karena telah pergi begitu saja, aku pengecut, aku tidak berani untuk pulang meski rasanya aku nyaris gila karena merindukanmu Mas. Aku menangisi kebodohanku setiap hari, aku berjuang seorang diri dan berpura-pura semuanya akan baik-baik saja, lalu saat aku tersadar, aku sudah kehilangan Kafka. Aku bahkan..."
"Ssst.." Rangga berlutut di depan Gwen dan menghapus airmata yang terus berjatuhan di pipi wanita itu. "Maafkan aku, maafkan aku." bisinya lembut.
"Saat aku terbangun dan Nenek memberitahuku bahwa aku kehilangan Kafka, rasanya aku ingin menjerit dan berlari kepada Mas. Aku membutuhkan Mas, tapi aku tidak berani, aku terlalu takut..."
"Aku disini," Rangga membawa kepala Gwen ke dadanya. "Sekarang aku disini."
Gwen menangis kencang, menumpahkan segala rasa sakit, frustasi, sesal dan rindu yang ia tahan selama bertahun-tahun seorang diri. Ia meremas kemeja Rangga dan membasahinya dengan airmata. Ia membutuhkan Rangga dan saat mendapati Rangga benar-benar berada di depannya, Gwen sadar bahwa ia bukan hanya membutuhkan Rangga, tapi juga masih sangat mencintai Rangga.
Gwen masih menangis di dada Rangga, benar-benar membiarkan airmatanya turun begitu saja. Rangga menariknya ke atas ranjang dan memeluk wanita itu hingga Gwen tertidur karena kelelahan menangis.
Rangga memeluk wanita itu erat-erat. Rasanya begitu melegakan bisa memeluk wanita ini lagi. Seakan ia baru saja menghirup oksigen untuk pertama kali setelah terkurung begitu lama di ruang kedap udara. Ia seperti hidup kembali, seperti bisa bernapas kembali setelah tenggelam begitu lama. Karena Gwen bukan hanya istrinya, tapi hidupnya, napasnya.
"Maaf, aku tertidur." Gwen bergumam satu jam kemudian, satu jam yang Rangga habiskan untuk mengamati wajah istrinya.
"Hm, sudah lama aku tidak memelukmu seperti ini."
"Apa Mas benar-benar sudah menikah?"
"Ya." Wajah Gwen kembali murung saat mendengarnya. "Denganmu, enam tahun lalu. Hingga saat ini."
Gwen mengangkat wajahnya dengan cepat, mata jernihnya menatap lekat pada kedua mata Rangga yang kelam. "Aku ingin kejujuran." Mohonnya dengan suara tertahan.
"Cincin ini." Rangga memperlihatkan jarinya. "adalah cincin pernikahan kita yang tidak pernah kupakai. Saat aku kehilanganmu dan menemukan cincin ini di laci mejaku, aku mengenakannya. Aku tahu itu sudah terlambat, baru memakainnya saat kamu pergi. Tapi aku bersumpah tidak akan pernah melepaskannya lagi." Lalu ia mengambil cincin yang ia simpan di dompetnya. Cincin milik Gwen. "Dan jangan pernah lepaskan ini lagi." ujarnya memasangkan cincin itu kembali di jari manis istrinya.
Airmata Gwen kembali turun.
"Cengeng." Ledek Rangga yang membuat Gwen tertawa sekaligus menangis di saat yang bersamaan.
"Maafkan aku karena tidak bisa menjaga Kafka." bisik Gwen terisak.
"Bukan salahmu." Rangga kembali memeluk istrinya lebih erat. "Bukan salahmu." ujarnya menenangkan Gwen. "Ceritakan padaku, semuanya."
Dan Gwen menceritakan itu, terisak-isak dalam pelukan suaminya. Masa-masa kehamilan yang begitu membuatnya takut tidak bisa menyelamatkan anaknya karena keadaannya yang terlalu lemah. Masa-masanya berjuang sambil merindukan suaminya. Dan masa-masa ia membesarkan Kasih yang sifatnya persis ayahnya.
***
"Sering-seringlah berkunjung." Nenek memeluk Gwen erat-erat lamanya. Seminggu setelah pertemuan Gwen dengan Rangga kembali, pria itu memilih tinggal lebih lama di Surabaya dan mendekatkan dirinya dengan Kasih.
Siapa sangka, tak butuh waktu lama baginya untuk akrab dengan putri kecilnya itu. Saat ini saja Kasih sudah bergelayut manja di dalam gendongan ayahnya.
"Kami pasti akan sering pulang kesini."
Nenek tersenyum bahagia, meski berat rasanya melepaskan Gwen, terlebih ia sudah terbiasa menjaga Kasih, tapi ia tahu, tempat Gwen dan Kasih bukan disini. Melainkan bersama Rangga.
"Eyang, kenapa tidak ikut bersama kami?" Kasih bertanya dengan wajah polos.
Nenek mendekat, membelai kepala Kasih. "Eyang disni dulu, Kasih ikut sama Papa dan Mama ya, nanti kalau ada waktu, datanglah kesini menjenguk Eyang."
Kasih yang tidak mengerti hanya mengangguk-anggukkan kepala dengan cara menggemaskan, membuat semua orang tertawa gemas karenanya.
"Terima kasih, Nek." Rangga memeluk Nenek Asri. "Terima kasih untuk semuanya." Bisiknya serak. Ia benar-benar berterima kasih kepada Nenek Asri yang telah menjaga Gwen dan Kasih disaat Rangga tidak ada. Nenek yang telah membantu Gwen melewati masa-masa sulitnya. Rangga berhutang budi yang teramat besar kepada wanita paruh baya ini. "Terima kasih." Ujar Rangga tulis.
Nenek hanya tersenyum, balas memeluk Rangga. "Jaga mereka." Pesannya sebelum melepaskan pelukannya.
"Pasti." Janji Rangga.
Dan Nenek tahu Rangga akan menepati janjinya.
Nenek masih berdiri disana, menatap mobil yang perlahan menjauh. Saat itulah baru airmatanya turun dengan begitu deras. Tapi bibirnya membentuk sebuah senyuman.
Mulai saat ini, Gwen akan bahagia. Kasih akan jauh lebih bahagia.
Nenek lega, terharu sekaligus merasa kehilangan.
Tapi Nenek tahu. Ini semua memang sudah ketentuan dari Tuhan.
To Be Continued