"Bangun, Anika sayang."
"Kalau Anika nggak bangun, Mama sama Papa tidak mau temani Anika main lagi."
"Anika."
Anika mengerjap. Terbangun dari tidur. Akhir-akhir itu dia sering memimpikan mama dan papanya. Bukan, itu bukan seperti mimpi.
Memori Anika hanya menampilkan apa yang pernah ia alami bersama kedua orangtuanya. Anika merindukan sentuhan kasih sayang orangtuanya. Sungguh. Anika menyatukan tangan. Kenapa? Kenapa waktu begitu cepat memisahkan dia dari orang-orang yang dia sayangi?
Kenapa?
Pembawa sial.
Anika menutup mata saat sakit itu mulai terasa lagi. Hatinya bak diiris pisau tajam. Kenapa dia tak diperlakukan adil? Air mulai mengalir dari kedua mata Anika yang tertutup. Semua yang pernah ia alami membuatnya mati rasa. Bahkan ia bingung saat sadar dirinya tidak terbaring di kasur.
Wuss...
Bunyi deburan ombak.
Anika membuka mata. Astaga. Di mana ini?
Mata Anika mencari ke sana kemari saat tak menemukan seorang pun di sekitarnya. Ia mengerjap ketika samar-samar terlihat orang duduk menghadap pantai, tak jauh dari mobil tempatnya berada.
Anika turun dari mobil dengan membanting pintu. Membuat orang yang tertangkap matanya tadi menoleh ke arahnya. Orang itu malah tersenyum dan melambaikan tangan, mengajak Anika mendekat.
Anika duduk di pembatas jalan dan pantai. Hatinya resah karena
mimpinya tadi.
"Aku pikir kamu bakal marah-marah karena aku tidak bilang-bilang dulu bawa kamu ke sini. Tapi tenang aja, aku udah izin sama Om Sultan dan dia dengan senang hati memperbolehkan." Satya mengusap rambut Anika lembut.
Anika tak menggubris. Tak mendengar, tepatnya. Pikirannya terpecah hingga membuat indra pendengarannya tak bekerja. Anika tak ingin menjadi lemah. Tapi di situlah Anika berada, di titik terlemahnya. Dia tak bisa berbohong bahwa dia sanggup menahan semua itu. Dia bukan gadis kuat yang bisa membohongi perasaan. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa Anika sadari.
Satya kaget bukan main saat melihat Anika menangis dalam diam.
Apa yang membuat gadis itu menangis?
Satya menggeser duduknya, memperpendek jarak di antara mereka. Tangannya melingkari tubuh Anika, menyandarkan kepala Anika di dada bidangnya, memeluk gadis itu dari samping.
Satya hanya berharap Anika bisa menghentikan tangisnya.
"Kenapa... kenapa kamu belum juga membagi kesedihanmu sama orang lain? Kenapa kamu masih simpan sendiri? Aku ada di sini, buat kamu. Kenapa kamu belum juga menyadarinya?"
Anika termangu saat mendengar keluhan Satya, tetapi tetap
menatap pantai pada pagi itu dengan nanar. Detik berikutnya ia
menegakkan tubuh, melebarkan jarak dengan Satya.
Tangan kanan Anika mengusap pelan matanya yang mulai bengkak. "Kamu tahu kan, Satya, ayah kandungku sudah meninggal." Satya mengangguk pelan.
"Aku sudah tidak punya ayah saat berumur sepuluh tahun," tutur Anika, "tapi masih ingat kenapa Papa meninggal."
Anika tersenyum pedih. "Papa meninggal saat mau menjemputku di sekolah. Waktu itu hujan deras banget. Papa telepon ke sekolah dan bilang supaya aku menunggu di sekolah. Aku nangis karena temen-temen udah pulang semuanya, tinggal beberapa guru. Aku takut. Aku terus merengek, padahal Papa bilang, hujannya menghalangi penghilatan Papa saat nyetir."
Anika menghirup udara dalam-dalam.
"Papa akhirnya setuju untuk menjemputku. Aku langsung berhenti nangis dan nunggu di dekat gerbang sekolah, di tempat satpam. Waktu itu masih gerimis, tapi langit udah menurunkan awan-awan kelamnya. Dan udah ada cahaya matahari, meskipun masih hujan."
Anika berusaha menahan bulir-bulir air mata supaya tidak turun lagi.
"Satu jam aku nunggu, Papa belum juga datang. Bahkan cuaca yang sempat panas ngasih tanda mau hujan kembali. Akhirnya papa sahabatku yang menjemputku."
Anika menghela napas berat.
"Mobil Papa nabrak pohon karena jalanan licin. Papa meninggal
seketika."
Anika menunduk.
"Para guru di sekolah nyalahinku. Kalau aja aku tidak merengek minta jemput, kecelakaan itu nggak bakalan terjadi. Aku syok karena temen-temen bilang, gara-gara sifatku yang manja, aku kehilangan Papa."
"Itu takdir, Anika."
Anika mengangguk beberapa kali. "Aku sadar itu takdir, tapi teman-teman nggak ada yang mau ngedeketin aku saat itu. Aku bener-bener kesepian. Papa baik banget, banyak orang yang kenal, dan banyak orang yang menyayangkan kematiannya."
Satya bungkam.
"Aku sadar posisiku. Aku lebih banyak diam akhirnya. Iya, diam membuat keadaan terasa lebih baik."
Satya mengusap punggung Anika pelan, kehabisan kata-kata.
"Setahun kemudian Mama memutuskan menikah lagi. Jelas aku tidak terima. Tapi aku bisa apa? Semua orang nyalahin gue. Termasuk ucapan papa tiriku waktu itu."
Anika tersenyum sinis. "Saat marah, dia keceplosan bilang, 'Kamu mau protes apa, Anika? Apa kamu lupa sama kesalahanmu yang membuat sedih semua orang?' Jelas kesalahan itu mengarah pada kematian Papa yang disebabkan rengekanku. Aku terus-terusan nyalahin diriku sejak itu."
Air muka Anika mengeras. "Akhirnya aku tahu kematian Papa
bukan kesalahanku. Kematian Papa tidak wajar."
Satya menatap Anika terkejut. "Maksudnya?"
Anika menatap ke arah laut. "Rem mobil Papa blong dan tercium kalium sianida di mobilnya. Om Sultan yang bilang sama aku saat kami bertemu di Hamburg."
Anika tersadar sudah bicara terlalu banyak. Ia melirik Satya. Tidak. Dia tak akan melibatkan siapa-siapa dalam rencananya, termasuk Satya, orang yang saat itu paling berarti baginya. Dia tak akan membiarkan Satya terlibat dan celaka.
Gadis itu memandang Satya, tersenyum manis. "Makasih ya, kamu orang pertama yang tahu soal masa laluku."
Satya mengusap pelan pipi Anika. "Makasih udah percaya sama aku." Dengan satu gerakan cepat Satya menarik Anika ke dalam pelukannya.
Anika hanya terdiam. Ya, dia tak akan membiarkan orang lain mengetahui lebih jauh. Dia tak akan melibatkan siapa-siapa. Sesaat kemudian Anika tersentak saat menyadari apa yang berada di belakang Satya. Bunga yang sudah lama tidak ia lihat.
"Dandelion."
Anika melepas pelukannya, teringat tujuannya membawa Anika ke pantai
"Ini kan tanaman liar, kenapa bisa ada di pot?" sungut Anika kala meraih pot yang disodorkan Satya.
Satya hanya tersenyum. "Sebelum dia mati," Satya membuka plastik, lalu memetik dandelion, dan memberikannya pada Anika, "make a wish."
Ucapan Satya menggerakkan saraf senyum Anika. Sepenuh hati Anika meniup dandelion. Dengan bantuan angin laut yang cukup kencang, helai demi helai bunga dandelion beterbangan, seolah senang dipermainkan angin.
Anika tersenyum senang mengamatinya. "Kenapa cuma satu tangkai?"
Anika tersenyum. "Karena aku tahu, yang kamu pengin bukan mawar, tapi bunga itu."
Anika terbelalak. "Dari mana kamu tahu?"
Satya mengetuk-ngetuk kepala dengan telunjuk. "Think."
Anika diam. Bukan itu jawaban yang dia minta.
"Om Sultan yang bilang. Katanya, aku harus bikin kamu seneng hari ini."
Anika mengernyit. "Kenapa?"
Satya mengangkat bahu.
Suasana hening. Satya maupun Anika tak tahu harus mengatakan apa. Mereka sesekali mencuri pandang, canggung dengan keadaan seperti itu.
"Kamu mau dibilang mirip dandelion, Anika?"
Anika menoleh ke arah Satya, seketika menggeleng. "Aku bukan tipe manusia yang nerima aja dipermainkan orang lain. Kayak dandelion yang dipermainkan angin. Selama masih bisa memperjuangkan nasib, aku akan berusaha terus, nggak seperti dandelion yang pasrah aja diterbangkan angin."
"Hah?"
Anika tersenyum. "Aku lebih mirip mawar daripada dandelion."
Satya mengangkat alis. "Cantik, tapi berduri.
Anika menahan senyum. "Aku anggap itu pujian," ucapnya,
kemudian berdiri.
Satya menatap Anika penuh tanda tanya. "Ke mana?"
"C'mon. Katanya kamu mau bikin aku senang seharian ini?"
To Be Continued