webnovel

Penyesalan Satya

Wardana's House

Satya POV

Aku sungguh menyesal, tak pernah berpikir bahwa ucapanku tadi akan begitu menyakiti Anika. Aku memang merasa aneh saat tahu gadis itu pindah sendirian ke kota ini tanpa keluarga. Tapi aku tak menyangka caci maki yang membawa-bawa nama orangtua bisa mendorong orang lain bunuh diri.

Aku saat itu panik. Sangat panik, hingga keringatku terus bercucuran di pelipis. Aku seakan tersangka utama kejadian itu.

Aku berdiri saat melihat Om Sultan, Gwen dan ketiga temanku turun dari kamar Anika. Aku tak berani menemui gadis itu, sekalipun hanya untuk minta maaf.

"Saya ada urusan di kantor. Kalian tolong jaga Anika sampai saya kembali," perintah Om Sultan terdengar lemas. Dia menatap aku dan teman-temanku dengan kecewa. Mungkin menurutnya, tak ada yang pantas disalahkan selain kami berempat. Toh Om Sultan memang menugaskan kami untuk menjaga Anika di kampus.

Lukas mengempaskan tubuh di sofa. "Aku tidak habis pikir dia bisa melakukan hal sebodoh itu." Ucapannya membuat ketiga dari kami kompak mendelik padanya.

Rangga mengangguk setuju. "Apa kita harus melakukan sesuatu supaya dia tidak mengulanginya?"

Devan mengangkat bahu. "Anika gadis paling sadis yang pernah kita temui."

Gwen menerawang. "Aku jadi kasian sama dia."

Aku memilih diam, tak punya kata-kata untuk diucapkan. Mengapa aku merasa begitu bersalah pada gadis itu?

"It was not your fault, Satya. Kata Om Sultan, dia memang sedang labil."

Devan menepuk punggung Satya, memahami perasaan bersalahku.

Aku mengangkat bahu. Entahlah. Sepertinya mulai sekarang aku harus tahu dan peduli pada keadaan batin Anika. Terkadang waktu membawa kita ke dalam masalah yang berat, batinku.

***

Malam memanggil, namun Satya masih belum beranjak dari sofa di depan kamar Anika. Perasaan bersalah masih membayanginya.

Satya terdiam. Mungkin Anika sedang istirahat karena sudah setengah jam berlalu sejak Gwen dan pelayan di rumah itu turun dengan piring yang nasinya sudah dimakan habis. Anika menekan handle, kemudian mendorong pintu jati kayu itu pelan-pelan. Dia tak ingin gadis itu sampai terbangun karena kehadirannya.

Satya memandang kamar Anika. Besar dengan kasur king size di sudut. Ada meja belajar dan lemari buku kecil yang menghadap jendela. Wallpaper-nya unik, juga terkesan feminin.

Satya bernapas lega saat mendapati Anika pulas. Dia menatap Anika dalam-dalam, terlihat keringat meluncur dari pelipis Anika.

Kesakitankah gadis itu? Atau dia mengalami mimpi buruk?

"Anika, lama-lama kamu membuatku penasaran" gumam Satya sambil mengeluarkan saputangan, kemudian mengelap keringat dingin yang membasahi wajah Anika.

"Kenapa kamu harus melakukan hal gila seperti tadi dan membuat aku sangat merasa bersalah?" bisik Satya, kembali mengelap keringat Anika dengan hati-hati.

"Seberapa besar masalahmu? Sampai-sampai kamu nekat mengakhiri hidup?"

Tentu saja tak ada jawaban karena gadis di hadapan Satya tetap pulas.

"Kenapa kamu tertutup? Seandainya kamu terbuka sedikit… mungkin luka hatimu tidak akan begitu parah, Anika."

Sekali lagi mata Satya mengelilingi kamar Anika. "Seharusnya kamu bersyukur atas apa yang kamu miliki saat ini."

Satya mengusap puncak kepala Anika. "Sweet dream, dan besok kamu harus benar-benar bangkit. Jangan aku merasa bersalah terus."

Satya berjalan menuju pintu kamar Anika. Dia juga perlu istirahat.

Anika membuka mata saat mendengar decitan pintu tertutup. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa bersalah, batinnya.

Pening mulai terasa. Anika menekan kepalanya dengan tangan kanan. Aku hanya menyerah, terlalu lelah menghadapi ini semua,ucapnya dalam hati. Ia memandang lampu, dan perasaan sakit itu datang lagi.

***

Anika POV

Aku bangun subuh sekali, ingin buang air kecil, tetapi tak tahu harus meminta tolong siapa. Pelayan dan sopir di rumah pasti masih pulas. Aku tak ingin merepotkan mereka. Jadilah aku memutuskan untuk ke kamar mandi sendiri.

Sampai di kamar mandi dekat kamar, aku lupa closet-nya rusak . Aku mendengus kesal karena harus pergi ke toilet di bawah.

Saat melewati ruang tengah, aku terdiam karena mendapati Satya tertidur nyenyak di sofa. Aku yakin semua orang di rumah ini sudah tidur di kamar mereka masing-masing, lantas kenapa Satya masih berada di sini?

Merasa bersalahkah dia? tanyaku dalam hati.

Aku melihat selimut Satya tersingkap. Dengan satu gerakan aku merapikannya. Setelahnya aku meringis menahan sakit. Pergelangan tanganku baru dijahit. Itu pula yang membuatku diam-diam merasa bersalah melibatkan pemuda itu dalam hidupku.

Aku tak ingin Satya terlibat, tapi entah kenapa… momennya begitu pas saat dia mencaciku di kelas.

"Mau ke mana?"

Aku terkesiap, mata hitamku spontan terbelalak. Aku dapatinya dua mata bening Satya menatap aneh ke arahku dengan tajam.

Aku menyembunyikan ketergagapanku dengan gelengan singkat. "Kamar mandi."

Satya yang tidur di sofa ruang tengah langsung duduk, tetap menantang ke manik mataku yang masih menatapnya. "Kenapa tidak bangunkan aku tadi?"

Aku menggeleng. "Aku tidak ingin kamu merasa bersalah. Ini semua bukan salahmu."

"Masalah kemarin... sorry," ucap Satya pelan, namun sungguh-sungguh.

Aku berjalan membelakanginya, tak berniat menanggapi ucapan pemuda tersebut.

***

Satya POV

Aku terpana melihat gadis itu berjalan begitu saja. Dia tetap gadis dingin seperti biasa, pikirku. Baiklah, cukup, hari itu sudah beratus kali aku memikirkannya.

To Be Continued

I tagged this book, come and support me with a thumbs up!

JaneJenacreators' thoughts
ตอนถัดไป