Pagi itu Evan sudah duduk santai di kursi teras. Ia sekedar menghirup udara segar dan istirahat setelah perjalanan melelahkan bersama Rozi kemarin. Matanya sedikit terpejam saat ia meluruskan kakinya.
"Pulang jam berapa tadi malam?" tanya Pakde Maman mengagetkan Evan.
"Oh, eh, pakde… Jam sebelas kayaknya," jawab Evan dengan sedikit kaget.
"Pantesan pakde ngga tau. Jam sembilan pakde udah tidur, ngantuk."
Pakde Maman lalu duduk di samping Evan. Mereka berdua sama-sama menatap area persawahan yang terhampar di seberang rumah.
"Kamu… sedang ada masalah?" tanya Pakde Maman dengan nada lebih serius.
Evan tahu, Pakde Maman pasti akan menyinggung masalah kecelakaan kemarin.
"Engga kok, pakde." Jawab Evan berkilah.
Pakde Maman tersenyum, "kamu memang anak yang pandai bekerja, pandai mencari uang, tapi kamu ngga pandai berbohong, Evan."
Evan tersenyum malu. Ia menunduk.
"Pakde tahu darimana?"
"Tadi, waktu sholat subuh di mushola pakde ketemu sama Rozi. Dia cerita semua"
"Haduh, Rozi. Ember juga…"
"Lho, jadi sekarang Rozi jualan ember juga?"
"Ngga gitu, pakde. Maksudnya dia suka cerita, gitu"
"Oh, tak kira sekarang dia jualan ember juga."
Mereka berdua sempat tertawa kecil sejenak.
"Kamu ingat lagi sama si Zahwa itu?" tebak Pakde Maman.
"Zahra, pakde. Bukan Zahwa."
"Oh iya, Zahra. Kamu sedang ingat dia lagi?"
Evan terdiam. Ia mengeluarkan arloji milik laki-laki itu dari sakunya.
"Kalau dibilang ingat atau kangen, Evan selalu kangen dia pakde. Evan ngga munafik. Evan masih cinta sama Zahra ini. Bahkan mungkin terlalu cinta. Sebenarnya akhir-akhir ini Evan sudah mulai lupa sama perasaan ini, lebih-lebih karena sekarang di toko juga lagi banyak order."
"Tapi?"
Evan menunjukkan arloji itu kepada Pakde Maman.
"Jam siapa ini? Punya Zahra?"
Evan menggeleng.
"Bukan, itu… Arloji milik cowok yang lari sama Zahra," jawab Evan dengan tatapan sedih.
"Kok bisa sama kamu?"
Evan lantas menceritakan dengan rinci kejadian malam itu di kafe, sampai akhirnya arloji itu ada di tangan Evan.
"Terus mau Evan apa sekarang?"
Evan mengambil nafas panjang.
"Evan ingin tahu seperti apa kabar Zahra sekarang. Bahagiakah dia sama laki-laki itu? Dan yang paling penting, siapa laki-laki itu sebenarnya?"
Pakde Maman nampak berpikir dengan serius. Mereka berdua sama-sama terdiam.
"Terus apa yang kamu lakukan kalau sudah lihat mereka bahagia secara langsung?"
"Evan akan pergi dari kehidupan dia, pakde. Selamanya. Setidaknya Evan sudah mantap kalau Zahra memang bukan jodoh Evan."
"Evan yakin sanggup melihat itu?"
Evan mengangguk, meski awalnya ragu.
"Kalau Evan yakin sanggup mengatasi emosi saat melihat dia bersama laki-laki lain, silakan berangkat. Cari dia sampai ketemu, biar Evan puas. Daripada disini tapi kepikiran terus, malah sampai nabrak orang. Tapi setelah itu, berjanjilah pada diri sendiri untuk mengikhlaskan dia. Tapi kalau ngga siap, mending disini aja cari kegiatan yang lebih produktif."
Evan mendengarkan dengan seksama petuah kakak dari ayahnya itu.
"Evan siap, pakde."
Mendengar kebulatan tekad keponakannya, ia mempersilakan Evan untuk pergi mencari dimana Zahra dan laki-laki itu berada.