Matahari sudah mulai meninggi. Suasana kantor Evan saat itu mulai hangat dengan aktifitas rutin harian. Meski begitu, Evan tetap gelisah. Ia merasa harus menceritakan kegelisahan ini kepada seseorang. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui Aryo di ruangannya. Saat Evan membuka pintu ruangan Aryo, nampak ia sedang fokus di depan komputernya.
"Ada apa?" Aryo sudah sadar ada Evan yang mengintip dari sela-sela celah pintu.
"Sibuk?"
"Lah, tiap hari juga kerjaanku begini. Masuk ngapa, jangan kaya orang lagi ngintip begitu," ujar Aryo sambil melepas kacamatanya.
Evan lantas masuk dan duduk di depan Aryo. Aryo kemudian menyambut Evan bak seorang dokter yang didatangi pasiennya.
"Gimana, kamu udah bayar kasbon ke Dewi?" tanya Aryo seolah sudah paham apa masalah teman sejawatnya itu.
"Udah," jawab Evan singkat.
Aryo menaruh kedua sikunya di meja. Dan menjapit jemarinya di bawah dagu. "Tapi kenapa wajah kamu kaya orang yang masih punya hutang?"
Evan sempat membisu sebentar.
"Justru itu…"
"Justru kenapa?"
"Aku ngerasa ngga bayar hutang itu. Tapi kata Dewi, udah ada yang bayarin hutangku."
"Kok gitu? Siapa?"
"Zahra"
"Trus kamu udah crosscheck ke Zahra?"
"Udah, dan katanya dia ngga tahu menahu masalah itu. Lagian dia juga kan ngga pernah tahu kalau aku punya hutang kasbon disini"
"Yakin kamu?"
"Seratus persen"
Aryo jadi ikut berpikir tentang keanehan itu.
"Nggak cuma itu, Yo…"
Evan membenahi kursinya, seperti akan menyampaikan sesuatu yang jauh lebih darurat lagi.
"Kayaknya Zahra selingkuh sama cowok lain"
Tak dinyana Aryo tiba-tiba tertawa terbahak. Evan sampai kaget melihat rekan kerjanya berekspresi seperti itu.
"Heh, kok malah ketawa? Serius nih!"
"Hahaha… Lah, kamu ini gampang banget tiba-tiba ngomong Zahra punya cowok lain, kaya anak ABG aja. Minimal kasih dulu fakta-faktanya, baru kamu kasih opini itu. Ah, jurnalis kok begitu sih kamu?"
Evan lantas bercerita tentang kejadian di kafe tadi malam, kemudian disambung dengan kisah Zahra yang merahasiakan identitas laki-laki yang membantunya untuk membayar biaya rumah sakit ibunya.
"Yaelah, Van. Masa kaya gitu aja kamu udah beranggapan dia selingkuh sih? Bisa aja kan laki-laki itu saudaranya? Atau justru teman kamu tapi dia pengin bantu kamu diam-diam. Ya kan?"
"Big no, Aryo. Dia ngga pernah sama sekali yang namanya rahasia-rahasiaan sama aku. Hal sekecil apapun. Malahan aku yang kadang negur dia kalau pas dia cerita yang mestinya ngga perlu diceritain ke aku, tapi malah dia ceritain ke aku."
Keduanya terdiam, berpikir keras.
"Nggak, ini baru pertama kalinya dia begini. Dan, aku tahu banget ada yang disembunyikan. Aku bisa lihat dari tatapan matanya," ucap Evan lagi.
"Mending gini deh. Ini kan kamu lagi banyak deadline yah? Coba kamu sibukin diri buat hal yang lebih produktif. Inget, deadline kita itu ngga ngeliat apakah kita lagi banyak pikiran, atau bahkan kita lagi sekarat sekalipun. Ya kan?"
Evan mendengarkan petuah temannya itu dengan seksama. Ia merasa ada benarnya apa yang diucapkan Aryo. Mau tidak mau ia harus berusaha menghilangkan sifat overthinkingnya. Saat ini juga.
"Ya sudah kalau begitu. Aku cabut dulu deh," kata Evan sambil bangkit berdiri.
"Cabut kemana?"
"Kemanaa kek!" ujar Evan sambil menirukan gaya salah seorang komedian di TV.
Evan berjalan keluar ruangan Aryo dengan langkah berat. Nampak jelas di wajahnya ia sedang bernegoisasi dengan hati dan pikirannya supaya fokus saja kepada pekerjaannya. Setidaknya untuk hari ini.