webnovel

52. Resmi Milikku, Kamu

1 Minggu setelahnya datang. Habsah juga telah merawat Rino sebaik mungkin. Setelah kandungannya dinyatakan aman oleh Habsah, Pernikahan Arwin dan Rino pun kembali dilanjutkan.

Acara pernikahan dilaksanakan pada siang hari. Meski tidak meriah akan kehadiran orang-orang, Pernikahan Arwin dan Rino tetap diramaikan oleh setidaknya 10 orang pelayan di rumah Wiranto.

Jasmine pun sudah membuang baju pengantin yang dulu, Ia tak ingin anak maupun calon menantunya memakai pakaian yang membuatnya mengingat kejadian menegangkan seminggu sebelumnya.

Dan kini Rino maupun Arwin sama-sama mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Semua orang terlihat begitu bahagia, Kecuali Si penghulu.

Pria yang kebetulan seumuran Habsah tersebut tak sekalipun berhenti bolak-balik mengamati dua remaja yang berjarak meja didepannya.

Penghulu, "I-ini yang saya mau nikahkan hari ini?" Ia menunjuk Arwin dan Rino.

Yudi mengangguk mantap, "Benar Pak, Apa yang salah?"

Penghulu mengelus tengkuknya, "Tapi... Mereka berdua kan laki-laki..."

Jasmine," Siapa yang ngomong calon menantu saya perempuan Pak, Kan si Asep udah ngasih tau" Sahutnya agak kesal.

Penghulu, "Eh iya, Saya lupa" Ujarnya sedikit cengengesan. Mana menyangka ia jika keluarga kaya raya ini akan sangat berani menikahkan anak mereka dengan sesam pria.

Pandangannya pindah pada Dua remaja di depan, Walau agak ragu, Pria itu tetap berbicara serius, "Kamu sudah mengerti dengan cara-caranya kan?"

Arwin mengangguk kaku. Mana dia tidak tahu bila hampir setiap pulang sekolah hanya itu yang dipelajarinya di rumah. Coba saja bolos, Pasti kupingnya akan meledak akibat omelan Mamanya. Bisa dikatakan ia tak pernah lagi keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya diluar.

Sebelumnya Penghulu membaca doa.

Dan mereka mulai berposisi mirip permainan panco di atas Meja.

Penghulu menarik nafas lalu membuangnya, "Aku nikahkan engkau dan aku kawinkan engkau saudara Pratama Arwin Wiranto bin Yudi Harun Wiranto dengan pinanganmu, Putraku Rino Arana bin Arka Arana dengan mahar 30 juta dan Mas Kawin berupa mobil dan rumah dibayar tunai!" Disusul menekan ibu jari Arwin sebagai tanda bahwa remaja tersebut harus segera membalas.

Arwin gelagapan, "Saya terima nikah dan kawinya Rino Arana bin Arka Arana dengan mahar dan mas kawin yang telah disebutkan, Dibayar tunai!!" Teriaknya lantang mengejutkan seluruh penghuni ruangan.

Di sebelahnya, Rino tertunduk mengigit bibir menahan geli di mulutnya. Yang lainnya ingin tertawa namun sebisa mungkin mereka tahan agar Arwin tidak semakin malu. Lintang, Ardi dan Randa bahkan sampai harus berdiri kemudian berjalan cepat ke pojok sembari menutup mulut. Terlambat, Arwin sudah tahu semuanya dan rasa malunya naik ke ubun-ubun.

Penghulu tersenyum lucu, "Bagaimana semua saksi? Sah?!" Serunya pada seluruh orang di ruangan itu.

Kompak mereka menjawab, "SAH!!" Barulah setelah itu gelak tawa bersahut-sahutan pecah seketika.

Jasmine memekik, "Anak mama hebat bisa ngomong lancar!!" Sembari tertawa lepas. Hasil didikan kerasnya selama hampir 2 Minggu tidak sia-sia.

Sesuai apa yang Arwin pelajari sebelumnya, Ia membaca doa. Begitu selesai lantas menyamping menghadap Rino. Berselang beberapa detik Dani serta Devan datang dalam tuxedo biru laut yang nampak menggemaskan pada tubuh mereka. Setiap tangan bocah kecil itu terdapat satu kotak berwarna merah. Devan berdiri di sebelah Arwin dan Dani di samping Rino.

Devan menyerahkan kotak merah kepada Arwin. Arwin dengan gemas mengusak surai keponakannya sebelum menerima benda dari Devan. Saat dibuka, Cincin bertuliskan namanya terukir jelas pada bagian atas benda itu. Sudut bibirnya naik mengingat bahwa ini adalah pilihannya sendiri, Meski harus lewat paksaan dari Mamanya.

Mencabutnya, Ia mengembalikan kotak kosong ke Devan lalu menatap Rino yang kini tampan plus gagah dalam jas putihnya. Tangannya terulur pelan lalu mengangkat tangan Rino disusul memasang cincin di jari manis remaja yang kini resmi menjadi miliknya.

Mengulas senyum berlesung pipinya, Rino melakukan hal serupa, Tak lupa ia berikan pipi adiknya sebuah ciuman hangat. Dan terakhir memasang cincin bertuliskan 'Rino Arana' di tangan Arwin lalu menciumnya takzim. Kini giliran Arwin, Ia menarik kepala Rino dan memberi kecupan manis di dahi putih lawannya.

Hingar tepuk tangan mengisi ruangan. Rani terharu saat si sulungnya beralih pandang kearahnya. Reflek ia merentangkan kedua tangannya disusul sebuah pelukan dari sang anak.

Sekuat tenaga Rino menahan tangisnya, Sebab kata Bundanya pamali karena dapat membawa kesialan dalam kehidupan rumah tangganya bersama Arwin nantinya. Diciumnya kedua pipi sang Bunda terakhir mengecup dahinya.

Pindah pada Randa, Sang adik memberinya wajah mengejek sebelum memeluk Abang kesayangannya, "Selamat Bang, Udah jadi bininya orang" Ledeknya.

Rino memberi hadiah berupa ciuman di pipi Randa, "Semoga jodohmu juga dekat biar Abang bisa ganti ngeledek" Balas si remaja bunting tak mau kalah.

Randa, "Randa belum lulus bang!" Jawabnya malas.

Hendak mengecup pipi sang kakak namun batal sebab terdengar deheman, "Ekhem!" Dari Arwin maupun Lintang. Randa tidak peduli, Ia memeletkan lidahnya pada dua remaja itu lalu mencium basah pipi abangnya.

Habis itu Rino menuju pasangan suami istri yang resmi menjadi mertuanya. Sesaat ia tersenyum lalu menghamburkan diri merengkuh Jasmine serta Yudi.

Jasmine mencium kepala Rino, "Akhirnya kamu resmi jadi menantu spesial di sini!"

Yudi blank, "Spesial apanya sayang?" Tanyanya kepada sang istri.

Jasmine mencibir, "Jangan cemburuan! Maksudku nak ganteng bakalan jadi satu-satunya menantu laki-laki di rumah kita, Anak perempuan kita mana!" Yudi mengerti, Ia tertawa kecil.

Rino, "Mama, Papa, Terima kasih kalian sudah melahirkan Kak Arwin untuk Rino dan sudah sangat baik kepadaku selama ini" Ungkapnya mengeratkan jemarinya dikedua tubuh mertuanya.

Dua mertuanya terkekeh, "Sama-sama Rin, Kalau bukan kamu, Papa pasti belum mau menerima menantu dulu, Soalnya Arwin kan lagi sekolah, Kamu juga begitu" Tutur Yudi mengelus-elus sayang kepala Rino. Dari situ Rino pindah berpelukan lagi dengan Ridwan, Untuk Ranti mereka berdua hanya saling mengangguk, Lanjut ke Ardi, Habsah dan sekarang Lintang.

Wajah Lintang masam, "Selamat deh buat pengantin baru" Raut muka Rino berubah menjadi sendu.

Rino, "Sekali lagi aku minta maaf"

Tiba-tiba Lintang memeluknya erat, "Gue udah ikhlas kok, Lo bahagia gue juga ikutan seneng, Kalau anak brengsek itu berani nyentuh seinci kulit Lo gue bakal bikin perhitungan sama dia, Jangan lupa lapor ya... Kakak ipar" Ucapnya disertai kedipan mata pada Randa.

Bergidik jijik, Randa balas memberi remaja itu jari tengahnya sebelum membuang muka ke arah lain sambi bersedekap dada. Lintang terkekeh.

Arwin membelalak, "Heh! Jangan sentuh suami gue!" Teriaknya usai melepas dekapannya dari Ibu mertuanya, Rani.

Dengan rasa tidak ikhlas Lintang menyudahi pelukannya, Namun dia masih sempat mengecup ubun-ubun Rino dan menyeringai lebar kepada Arwin. Saking melototnya, Mata Arwin seakan ingin lepas dari tulang matanya. Bergerak, Ia menarik Rino ke sisinya, "Gue hajar Lo!" Marahnya.

Yang dilihatnya si bungsu malah memasang mimik mengejek.

Arwin kian geram, "Lo!"

Rino, "Jangan Kak" Cegahnya cepat dengan memegang lengan suaminya, Arwin.

Serempak Yudi, Jasmine, Ridwan, Ranti serta Ardi menepuk jidat. Kapankah akan ada momen dimana dua saudara tersebut dapat akur?

Penghulu yang sejak tadi menyaksikan semuanya semakin merasa aneh jika ia mampu berlama-lama di sini. Lain halnya para maid, Tepuk tangan mereka tetap terdengar meski suasananya sedang gaduh, Mereka sudah biasa.

Jasmine berjalan lutut mendekat lalu mendekap Rani, "Selamat jadi besan!"

Rani terkikik, "Iya Bu" Jawabnya serta balas mengangguk pada Yudi.

Dani tersentak ketika Devan dan Hamerina merengkuh tubuh sedikit gemuknya, "Om Dani" Dua saudara itu berucap bersamaan.

Dani protes, "Dani seumulan kalian, Jangan panggil Om!" Ia cemberut, Bahkan tidak membalas pelukan.

Kedua bocah manggut-manggut paham, "Iya Dani!" Jawab mereka kompak, Barulah kemudian Dani membalas memeluk keduanya, Interaksi tiga anak itu membuat orang disana tertawa geli.

Next chapter