webnovel

42. Rumah Calon Mertua

Arwin, "Masuk" Perintahnya pada Rino seraya membukakan pintu depan mobilnya.

Lintang menyela, "Gak usah dengerin dia Rin, Ayo naik bareng gue, Lo bisa selamat sampai rumah"

Remaja yang jadi bahan perhatian keduanya nampak bengong di tempatnya. Terhitung 40 menit sudah bel selesai berbunyi namun ia belum juga beranjak dari situ karena ulah 2 Wiranto didepannya. Rencananya Rino akan berjalan sampai di halte dan menunggu bus disana sebab tidak diperbolehkan berjalan jauh oleh Bundanya.

Bukannya sampai di sana, Justru dia harus berhenti di depan gerbang akibat Mobil juga Motor yang menghadang di depan.

Rino, "Tidak usah, lebih baik aku menunggu bus di halte" Tolak Rino menggeleng kepala.

Arwin menyahut, "Gue disuruh Mama, Biar tau rumah Lo dimana"

Lintang, "Kang ngibul Lo! Mana ada mama nyuruh kek gitu, Lu boong ya!" Bantahnya.

Arwin melotot tidak terima, "Enak jidat Lo nuduh gue kek gitu!"

Lintang, "Lah emang kan kek gitu, Mau apa Lo hah!?" Bentak Lintang.

Bila melihat dari sifat keduanya yang berlawanan saja, Sulit seseorang untuk percaya bahwa sebenarnya dua remaja itu adalah saudara kandung. Rino pun demikian, Meski tau faktanya namun rasanya sangat susah untuk mempercayainya.

Linglung, Rino menghela nafasnya lalu berjalan melewati keduanya dengan wajah sebal. Alangkah baiknya jika kala itu dia berdiam diri di kamar saja daripada harus ikut Bundanya ke rumah Wiranto demi anak diperutnya ini. Rasa-rasanya hidupnya bukan semakin membaik malah sebaliknya.

Arwin, "Rin, Lo mau kemana?" Tanyanya ketika baru menyadari bahwa Rino sudah tidak berdiri di pintu pagar.

Lintang, "Bareng gue aja Rin!" Panggil Lintang hendak mengejar tapi ditahan Arwin.

Arwin, "Lo tuh apa-apaan sih! Gue beneran disuruh Mama!"

Lintang, "Gak gue gak percaya!"

Tiba-tiba remaja di depan berhenti kemudian berjongkok tepat dipinggir jalan raya sembari menelusupkan kepalanya diantara lipatan tangan.

Dua pria itu saling tatap satu sama lain, Kemudian dengan langkah pelan mereka mendekati Rino dan berjongkok bersamaan disisi kiri dan kanannya

Arwin bertanya penuh khawatir, "Rin, Lo kenapa?"

Lintang, "Ini semua gegara Lo tau gak!" Ia menyalahkan sang kakak sambil mendorong bahunya.

Arwin, "Enak aja Lo!" Marahnya balas mendorong bahu adiknya.

"Hehe...haha..." Kekehan Rino membuat mereka menoleh padanya.

Mengangkat kepalanya, Rino seketika melompat mendekap Arwin.

Arwin, "Lo kenapa ketawa kek gitu?"

Rino, "Gendong ya?" Pintanya berdesis manja di telinga Arwin. Pemuda itu jelas kaget dengan perubahan sikap Rino yang tiba-tiba.

Penasaran, Lintang bertanya lewat tatapannya dan Arwin membalas gelengan kepala. Saat Lintang hendak menarik Rino, Remaja itu seakan tidak mau lepas dari Arwin, Menempel begitu erat di tubuh calon suaminya.

Rino, "Ayo gendong!" Teriaknya. Meski bingung, Arwin tetap memegang paha Rino kemudian mengangkatnya. Langsung saja sesudahnya ia merasakan kaki Rino melingkari pinggangnya.

Lintang mengerenyit, "Si Rino kenapa sih?"

Arwin, "Gak tau, Tapi gue yang menang, Sana Lo pulang, Gue mau anterin calon suami gue kerumahnya" Ujarnya seraya berbalik ke mobilnya.

Mendengkus, Lintang menendang kerikil jalanan sambil menatap Mobil Arwin berjalan menjauh dari sana.

"Sial!" Umpatnya.

Kesusahan rasanya Arwin mengemudikan mobilnya, Rino sungguh enggan turun dari pangkuannya. Untuk masalah penglihatannya tidak, Tapi gerakan tangannya yang sulit untuk bergerak memutar stir mobil.

Arwin, "Rin, Duduk ya?" Bujuknya dengan sabar.

Rino, "Tidak" jawabnya disertai gelengan kepala, Malah wajahnya semakin tenggelam ke dalam lehernya.

Helaan nafas kasar dikeluarkan Arwin, Ia mengganti pertanyaan, "Rumah Lo dimana?" Daripada ia mengamuk di mobilnya, Lebih baik mengganti pertanyaan.

Rino, "Di desa Dusun 4, Yang ada penjual bakso dipinggir jalan"

***

Mobil sport milik Arwin menjadi bahan perhatian orang-orang disekitar. Yang semakin mengherankan mereka adalah Rino yang asik mendekap Arwin bahkan setelah turun dari mobil.

Jujur Arwin sangat malu detik ini, "Rin, Turun ya, Gue malu diliatin tetangga Lo" Bujuknya sekali lagi. Tapi gelengan kepala Rino membuatnya kesal.

Arwin berdengus, "Ini rumah Lo beneran kan?" Hanya anggukan yang diberi Rino sebagai jawabannya.

Dengan ragu, Arwin melangkahkan kakinya berjalan ke depan dimana banyak mata memandangnya aneh. Sial batinnya, Lebih baik dia mengalah saja dari Lintang daripada harus malu seperti ini.

"Iih ganteng!" Puji salah satu pelanggan.

"Nak Rino banyak temen gantengnya ya...!" Celetuk yang lain.

Dengan tergopoh Rani menghampiri keduanya, "Kamu... Ah! Tante lupa namamu, Bawa Rino masuk ke dalam sana, Nanti Tante akan jelaskan" Mengikuti arah telunjuk wanita itu, Arwin lanjut melangkahkan kakinya hingga masuk ke rumah Rino.

Namun remaja itu berhenti di ambang pintu, "Ini rumah Lo?" Tanyanya kepada Rino yang masih setia melingkarkan tangan di tubuhnya.

Rino, "Iya"

Bukannya Arwin bermaksud menghina, Namun 3 kamar pembantunya bila disatukan saja lebih besar daripada rumah calon suaminya ini, Pikirnya. Dalam perasaan ragu-ragu, Arwin kembali berjalan lalu duduk di sofa ruang tamu.

Arwin, "Rin, Turun, Gue tau Lo itu pura-pura" Pintanya kemudian.

Rino, "Aku benar hamil"

Arwin berdecih, "Gue masih belum percaya sama Lo" Selama ini belum pernah satupun wanita yang di pakainya akan berani ke rumahnya, Tetapi mengapa remaja begitu berani? Bahkan memiliki bukti yang cukup akurat.

Pamannya angkatnya sendiri juga menawarkan diri untuk menjadi dokter kandungannya, Apa pamannya buta?

Rino melonggarkan pelukannya dan menatap Arwin berhadap-hadapan. Air matanya kembali keluar, "Nnnn..."

Arwin langsung panik, "He-hey! Jangan nangis dong, Gue kan ngomong ada benernya!" Sergahnya, Namun hal itu tidak juga membuat tangisan Rino mereda.

Rino, "Hiks...Nnnn...." Remaja didepannya benar-benar gelagapan dibuat Rino.

Arwin, "U-udah dong, Iya-iya gue percaya sama Lo" Dia tidak tahu kemana perginya sifat galaknya, Yang pasti hatinya sakit melihat remaja itu terus menangis.

Bukannya reda, Rino malah beranjak darinya kemudian menangis keras sambil menungging di sofa lainnya. Entah Arwin harus merasa lega atau lucu, Kelakuan aneh remaja berlesung itu sungguh membuatnya hampir tidak bisa berkata-kata.

Hingga Rani masuk dan melihat aksi memalukan anaknya, Beliau segera menegur, "Ya Allah Rin, Tidak malu kamu menangis begitu?" Nyatanya wanita itu juga nyaris tergelak, Hanya saja tangan yang ditaruhnya menutupi mulut membuat ekspresinya tak nampak dari luar.

Menengok ke Bundanya, Tangisan Rino malah menjadi. Ia kemudian berlari memeluk Bundanya, "Bun, Kak Arwin tidak percaya... huhuhu..." Adunya.

Rani mengerenyitkan alisnya, lantas bertanya pada remaja yang bengong entah kapan di sofa, "Nak, Apa yang dimaksud Rino?" Sebab ia tidak tahu apa yang membuat anak sulungnya menangis seperti ini.

Garuk kepala, Arwin menjawab, "Itu... Saya bilang kalau saya tidak percaya dengan kehamilannya, Makanya Rino begitu"

Wanita itu menghembuskan nafas berat, dituntunnya Rino dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Arwin, "Tante mengerti Nak, Tapi untuk apa kami berbohong padamu juga keluargamu? Kamu pikir kami tidak takut jika ketahuan orang tuamu atau kamu, Kalian menuntut kami ke penjara? Jelas kami takut!"

Arwin, "Bu-bukan begit maksud saya Tante" Jelasnya gugup.

Rani, "Haah... Iya Tante paham, Maka dari itu kami memang tidak pernah main-main soal kehamilan Rino. Atau begini saja, Kamu jalani dulu pernikahan kalian nanti sampai 5 bulan lalu lakukanlah USG ke Dokter Habsah, Jika tidak terbukti kamu bisa menuntut kami ke penjara" Usul wanita itu.

Jika ditanya apakah Rani takut atau tidak saat berkata demikian, Jawabannya adalah tidak. Dia yakin bila Allah lebih kuasa atas segalanya.

Usulan tersebut membuat Arwin berpikir, Ada benarnya juga jadi kenapa dia tidak jalani saja?

Next chapter