Pria itu sedang merebahkan dirinya di kasur. Pikirannya menerawang jauh, seolah ikut berlayar bersama cerita imajinasi yang tiba-tiba terlintas di kepalanya.
Wajahnya ia hadapkan ke langit-langit kamar. Sesekali, pria itu tersenyum seolah ikut merasakan emosional yang ia rasakan.
Ada sesuatu campur aduk yang tak bisa dia ceritakan. Kadang, lelaki itu meneteskan air matanya karena takut jika tubuh mungilnya itu tak dapat kembali ke pangkuan keluarga dan teman-temannya.
Dia teramat takut jika tak bisa kembali menemui adiknya, Starla. Mengingat, dirinya memiliki janji akan mengajak sang adik main setelah pulang dari rumah Albert.
Rasa takut kadang menyergap dirinya ketika sedang sendiri. Manusiawi. Kevin sedang berusaha bergelut dengan dirinya sendiri untuk tetap menegarkan hatinya walau memang, hancur berantakan.
Belum lagi ucapan Pak Arthur tadi mengenai dirinya, kecil harapan bagi Kevin untuk pulang ke rumah.
Dia benar-benar sudah terjebak di tempat asing yang terlalu sulit membuatnya kabur dari sana.
Meskipun begitu, dia tak mau habis tenaga dan menyerah begitu saja. Sehabis sembahyang, dia selalu berdoa kepada Tuhan untuk dilindungi dan diberi keselamatan dalam berbagai hal yang akan mencelakai dirinya.
Dia tak ingin mati sia-sia. Dia, tak ingin mati hanya karena menjadi taruhan orang-orang tak bertanggung jawab yang sampai saat ini, Kevin sendiri tak tahu para pelakunya siapa saja.
"Kejadian ini terjadi begitu cepat." lirihnya kepada diri sendiri. "Perasaan baru kemarin Albert menghubungiku. Lalu, aku menyetujuinya dan sudah ada di sini, selama tiga hari." Kevin menghela napasnya dengan berat. "Kapan ya aku pulang? Bisa tidak ya aku pulang dengan selamat? Aku yakin pasti mama, papa dan Starla sedang khawatir dengan keadaanku sekarang."
"Bisa kok."
Sebuah suara yang menyaut seketika membuat Kevin terperanjat dari tidurnya. Dia terduduk dengan tatapan siaga, mencari dari arah mana suara itu terdengar.
"Kalau kau bisa bersabar, kau akan kembali dengan utuh."
Suara itu kembali terdengar. Kevin semakin yakin jika suara yang menyautnya adalah suara gadis kecil dengan gaun putih yang kali ini, seringkali memperlihatkan dirinya kepada Kevin.
"Jane?" panggil Kevin dengan pelan. "Kau di mana?"
"Di sini!" mata Kevin tiba-tiba tertuju ke arah lemari. Saat dirinya memicingkan mata, sedikit goncangan dari dalam ia lihat.
Ternyata, anak ini sangat jahil sekali.
"Kemari. Buka lemarinya, Kevin!" pinta Jane sambil tertawa.
"Tidak! Aku tidak mau!" sergah Kevin dengan cepat.
"Kenapa?"
"Nanti ketika aku buka, kau tiba-tiba bukan Jane. Bagaimana?"
"Ih. Ini aku. Cepat buka!"
"Tidak!" tegas Kevin. "Kau aneh sekali ada di dalam lemari."
"Ke-"
"Tidak! Aku bilang tidak, ya tidak!"
Krekk!!!
Pintu lemari itu terbuka dengan sendirinya.
"Ah. Kau ini tak asik!" Jane berjalan dari sana dengan wajah cemberut. "Padahal aku ingin bermain dengan kau."
"Aku tak mau main. Aku ingin pulang!" serunya sambil mendelik.
"Ya itu sih ada waktunya." raut Jane tiba-tiba berubah. "Nanti juga kau akan pulang."
"Kapan?"
Jane mengendikan bahunya. "Aku tak tahu. Tapi yaa sebelum itu, kenapa tidak kau mengajakku main?"
"Mana ada! Nanti aku seperti pria gila yang main sendiri, tertawa sendiri, hanya untuk mengajak kau bermain, sementara tak semua orang bisa melihat kau."
"Ah. Payah sekali!" Jane mengeluh sambil merebahkan dirinya ke kasur, tanpa diminta sama sekali. "Padahal aku ingin mengajak kau ke sebuah tempat sambil mencari benda."
Kevin tercekat. "Benda? Benda apa?"
Jane meliriknya sebentar. "Aku tak bisa menjelaskannya lebih. Kalau kau penasaran, kau ikut saja denganku."
Ucapan Albert tadi mengenai Jane seketika Kevin ingat. Dia menolak dengan tegas ajakan Jane karena khawatir jika anak ini adalah anak jahat, atau mata-mata dari seseorang yang berniat melukainya.
Sebuah resiko bagi Jane saat harus berhadapan dengan pria seperti Kevin. Meyakinkan seorang manusia bahwa dirinya bukanlah sosok jahat, adalah hal yang tak mudah.
Sulit sekali bagi Jane untuk membuat Kevin percaya. Dia selalu berusaha melakukan segala cara agar Kevin bisa menerimanya, namun kadang sikap Kevin tak bisa ditebak.
Saat ini terlihat keras kepala, tapi sore nanti bisa luluh begitu saja.
"Bagaimana?" Jane sebenarnya sudah tahu apa yang Kevin pikiran. Namun, dia berusaha seperti anak polos yang pura-pura mencari jawaban.
"Tidak."
"Kenapa?"
"Kau akan membawaku ke hutan terlarang kan?"
"Ish, kata siapa?" Jane menyanggah.
"Ya terus, di mana?"
"Di dekat rumah ini, Kevin. Aku tahu diri. Akupun sebagai sosok tak kasat mata, tak bisa dengan mudah masuk ke sana. Ada banyak sosok-sosok yang memiliki energi negatif besar. Apalah dayaku seorang anak kecil harus berhadapan dengan mereka yang sudah tinggal di tempat itu selama ribuan tahun. Kau pikir saja."
Kevin terdiam. Wajahnya seperti menyiratkan tanda bingung. Antara penasaran ingin ikut, atau tetap diam di rumah dan mengelak apa pun ajakan dari Jane, seperti apa yang telah dikatakan oleh Albert tadi.
Kebetulan, pria itu sedang berbincang bersama Pak Peter di rumahnya. Awalnya Kevin diajak, namun Kevin menolak karena merasa lelah.
Entahlah. Mungkin karena energi di sini yang begitu besar dan mampu menyerap energi Kevin, membuat pria itu seringkali kelelahan padahal tidak melakukan suatu hal yang berarti.
"Kau masih tak percaya kepadaku?" Jane seperti kecewa.
"Bukan begitu."
"Lalu?"
"A-aku..., aku hanya waspada saja."
"Kepadaku?" Jane menyakinkan dan Kevin mengangguk.
"Ya Tuhan. Manusia satu ini sangat penakut ternyata ya." anak itu bangun dari tempatnya. "Padahal jika beruntung, kau akan menemukan buah apel sedang berbuah di sana. Sudahlah jika kau tak mau."
"Apel?" Kevin terlihat semakin bingung.
"Iya. Apa kau tak tahu, di belakang rumah Albert ini ada pohon Apel yang kalau berbuah, sangat banyak sekali? Buahnya pun sangat manis. Kau tanyakan saja pada Albert karena dia pun seringkali memetik buah itu."
"Apa tak masalah? Maksudku, apa tak akan terjadi sesuatu jika kita memetik buah itu? Apalagi memakannya?"
Jane tertawa kecil. Berhadapan dengan Kevin, rasanya sama seperti saat dirinya berhadapan dengan anak kecil yang jauh lebih kecil darinya.
Padahal Kevin sudah besar, tapi rasa takutnya mengalahkan semuanya.
"Kau pikir, apel-apel di sana seperti apel di cerita dongeng yang akan membuat seseorang menjadi tidur setelah memakannya?" ucapan itu dibalas kekehan oleh Kevin. "Kau terlalu banyak berpikir ini itu, Kevin. Aku jadi lelah mengajakmu. Sudahlah!" dia berangsut pergi ke arah pintu. "Kau akan menyesal jika tak ikut bersamaku. Bye!"
Kevin memperhatikan Jane yang berjalan -maksudnya seperti berjalan, ke arah pintu lalu menghilang.
Dia terlalu banyak berpikir karena takut atas ajakan itu.
Tapi jika diingat-ingat lagi, Kevin semakin takut jika di rumah ini sendirian apalagi tak ada Albert dan Jane.
Sebelum anak itu pergi jauh, Kevin segera berlari ke luar kamar dan memanggilnya.
"Apa lagi?" Jane menyaut dengan malas.
"A-aku ikut!"
...