webnovel

Kasus Tersembunyi

Setelah dari kantor, Ayah mengantarkan Amy pulang ke apartemennya. Amy hanya diam sepanjang perjalanan. Ayah menoleh dan melihat putrinya yang nampak masih marah.

"Amy," panggil ayah.

"Hem," dinginnya tanpa menoleh, ia melihat keluar jendela.

"Masih marah pada ayah?"

"Hem,"

"Amy,"

"Ada apa?" Amy menoleh dengan terpaksa dan kesal.

"Tadi itu… yang kau bicarakan pada polwan teman ayah, kau serius?"

"Yang mana?"

"Yang tadi." Ayah khawatir.

"Yang jadi polwan?"

"Iya yang itu."

Amy menyipitkan mata dan meliriknya tajam sembari mendekat ke ayah.

"Kenapa?" godanya. "Ayah takut?" Amy menahan senyumnya.

"Jangan main main."

"Kenapa? Kenapa kenapa?" Amy menggoda ayahnya yang menganggap serius omongannya tadi bersama polwan Asya.

"Ayah serius, My. Jangan main main dengan pekerjaan polisi."

"Kalau begitu aku akan mencobanya," entengnya.

"HE?!" Ayah kaget.

"Iya sungguh."

Sreet!

Mendadak ayah menginjak rem dan berhenti di tepi jalan raya.

"Apa ayah gila? Kita berdua bisa mati?!"

"Kau yang sudah gila! Kenapa menganggap pekerjaan polisi itu lelucon?!"

"Dio boleh jadi dokter jadi kenapa aku tidak boleh jadi polisi?"

"Amy! Ayah sudah bilang jangan main main kan?"

"Bilang saja ayah takut!"

Amy dan ayah saling menatap tajam satu sama lain. Amy sendiri pun tak mau mengalah meskipun ia hanya melempar kata kata itu sebagai lelucon tapi ayahnya yang merupakan orang tua yang serius tidak bisa menganggap ini sebagai jokes belaka.

Tiiit tiiit tiiit

Suara klakson mobil di belakang mereka ramai. Ayah akhirnya menghidupkan mobilnya kembali menuju rumah. Mereka berdua saling membisu, terhenyak dengan pemikiran mereka masing masing.

Sesampainya di apartemen Amy, ia turun diikuti ayah.

"Aku akan naik sendiri," kata Amy tanpa melihat ayahnya, ia turun dari mobil dan melangkah pergi dari sana.

Ayah hanya bisa melihat putrinya yang keras kepala itu dengan menghela napas. Sesaat setelah Amy tidak terlihat lagi, Holan membuka ponselnya dan menelusuri google dan mengetik pencarian.

"Bagaimana cara membujuk anak perempuan?"

Sebuah artikel pun keluar, Holan membacanya.

"Anak remaja memang susah susah gampang, terutama anak perempuan. Beritahu ia bahwa dirinya cantik, pintar dan baik. Ayah bisa menghabiskan waktu dengannya seperti menemani ke perpustakaan, olahraga pagi atau ke kafe dessert kesukaan anak perempuannya."

"Astaga aku tidak percaya aku mencari ini di mesin google." Ayah menghela napas dan menyandarkan punggungnya di jok. Anehnya ia tetap ingin membaca artikel itu.

Sesampainya di depan kamarnya, Amy masih lesu karena bertengkar dengan ayahnya tadi.

"Apa apaan si Ayah, padahal aku cuma bercanda, cih."

Tiba tiba Alfa keluar dari kamarnya dengan tergesa dan panik.

Amy terkejut melihatnya. Alfa melangkah mendekati Amy.

"Amy, bagaimana ini?" Alfa panik.

"Ada apa?"

"Kita dapat client."

"Apa?"

"Apa kita harus mengambilnya?"

"Kau mendapat surel nya?" *surat elektronik / email

"Tidak, tapi ini," Alfa memberikan sepucuk surat padanya.

Amy membukanya.

"Kelihatannya ini mendesak, My. Kupikir kita harus menolongnya," usul Alfa.

Surat itu berisi seorang Ibu yang tinggal di perbatasan ibu kota bagian barat, kehilangan putrinya yang berusia 9 tahun, ia telah melaporkannya pada kantor polisi distrik setempat, namun tidak kunjung mendapat kabar lagi. Hingga suatu hari ia mendengar seseorang membicarakan Pembasmi Roh Jahat dari Ibu kota, karena itu ia mengirim surat itu. Ia juga sangat berhati hati dalam mengirimnya karena tahu bahwa identitas pembasmi roh disembunyikan. Ia memutuskan untuk datang ke ibu kota seorang diri dan tidak sengaja bertemu dengan ibu ibu pemilik apartemen dan ia memberitahunya da pembasmi roh yang tinggal di apartemennya. Jadi ia berharap agar tidak menganggapnya orang aneh yang seenaknya meminta bantuan.

Kemudian di lembar berikutnya tertulis ciri ciri putrinya, berambut pendek, memakai rok warna cream dan bersepatu balet. Suaminya sedang bepergian untuk urusan bisnis dan hanya da dia dan anaknya di rumah namun anaknya sudah hilang selama seminggu. Ia tidak berani memberitahu suaminya.

Di lembar ketiga mereka bercerita bagaimana putrinya bisa hilang dan mengapa ibu itu merasa bahwa roh jahatlah yang mencurinya. Ia bahkan bersedia membayar berapapun agar anaknya kembali. Ada juga foto anak kecil yang berukuran 2x3 di dalam amplop.

Setelah membaca surat sepanjang itu, Amy dan Alfa berdiskusi di kamar Amy.

"Bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?"

"Sangat sulit untuk menerimanya, pertama, tubuhmu sedang tidak dalam fit, kedua, lokasinya berada di perbatasan ibu kota, itu terlalu jauh dan yang terakhir adalah…"

"Kasus anak hilang," sahut Alfa.

"Betul."

"Petunjuk kita satu satunya hanya surat dan foto anak kecil ini. Bukankah polisi harusnya menyebarkan selebaran mengenai orang hilang?"

"Aku tidak tahu kita harus mulai mencarinya dari mana."

"Kau tidak perlu khawatirkan tentang perawatanku, My. Aku bisa menahannya, tubuhku cepat pulih, Kau tahu itu kan?"

"Tidak!"

Alfa tersentak mendengar Amy berteriak padanya.

"Sudah hilang selama seminggu, kau tidak merasa ini aneh?"

"Apa kau punya dugaan, My?"

"Bagaimana jika anak itu…sudah meninggal."

Amy dan Alfa saling pandang satu sama lain.

"Sejak kapan kau jadi sepesimis ini tentang sebuah kasus? Bukannya kau yang biasanya bersemangat menangani kasus?"

"Aku tidak tahu. Anak ini…" Amy memandangi fotonya yang tersenyum manis. "9 tahun usianya…Aku tidak tahu kenapa berpikiran negatif seperti itu."

"Mari kita pikirkan lagi matang matang."

Amy terdiam sejenak, kemudian memutuskannya dengan mantap sembari menatap Alfa.

"Kita tolak saja kasus ini."

***

Di kantor, ruangan Letnan Holan

"Keadaan pers makin menggila, Pak. Mereka terus membombardir telepon kantor dan bertanya apakah kita sudah memenjarakan Valen."

"Kalian sudah mengatakan sesuai dengan apa yang sudah kusuruh kan?"

"Kami sudah berbohong kalau Valen telah dimasukkan ke penjara isolasi, namun pers tak percaya dan mendesak terus terusan."

"Biarkan saja. Jawab saja sesuai dengan apa yang kukatakan. Valen diisolasi dari penjara publik dan harus di isolasi mandiri."

"Apa Letnan harus terus terusan meminta kami membohongi massa?"

Letnan menatapnya.

"Apa yang ingin kau katakan sebenarnya?" siku Letnan bertumpu di meja dan kedua jari jarinya menyatu. Ia tengah serius bertanya.

"Maaf, Pak. Saya hanya merasa ini tidak benar. Kita perlu memberitahu bahwa Valen memiliki komplotan dan saat ini jasad nya telah dicuri."

"Lalu?"

"Lalu…" Asya diam tidak mampu menjawab.

"Kinerja polisi akan dipertanyakan sejauh ini. Valen sudah mati, percuma kalau kita menangkap pelakunya."

"Itu adalah jaringan narkoba, pak! kita harus menangkap sampai akarnya. Korban penyintas bisa kembali dalam bahaya."

"Kau tahu, Asya? Aku penasaran kenapa kau sangat tertarik pada kasus ini? Bukankah atasan sudah mencabutnya dari tim mu?"

"Kasus beku kerangka manusia…"

Degh degh

Holan menatapnya, wajahnya pucat.

"Aku ingin menelusurinya lagi."

"Hentikan! Sudah kubilang jangan ungkit kasus itu lagi kan?"

"Maaf, Pak. Aku hanya salah bicara."

"Ini kasus narkotika, bagaimana bisa kau menyamakannya dengan kasus pembunuhan berantai itu?"

"Aku tidak tahu. Aku hanya merasa ini ada kaitannya. Kasus alfa, anda melindunginya bukan karena dia dekat dengan putri anda kan?"

Holan terdiam. Mereka berdua saling pandang.

Next chapter