"Heum, apakah tidak ada tanda-tanda di mana keberadaannya?" tanya Breckson, ia berdiri di hadapan Freislor. Dalam sekejap, cahaya yang ada di sana seketika menyala dan mati secara terus-menerus.
"Heum, aku rasa energiku melemah. Aku harus pulang sekarang, kita akan membahasnya besok. Terima kasih karena telah bersamaku hingga hari ini, Breckson. Aku sangat menghargainya," ucap Freislor sembari tersenyum lebar.
"Eum, yah. Aku.. aku juga begitu, Freis," jawab Breckson sembari mengarakan pandangannya kepada Freislor. Sesekali ia menggaruk kepalanya. Degup jantungnya berdebar dengan cepat. Lantas, jembatan tempat mereka berdiri tiba-tiba melengkung, menyatu dengan yang lainnya, dan membentuk sebuah hati. Keduanya bergerak cepat untuk terbang ke udara.
"Ah, sial. Kenapa jembatan ini malah ngatain aku, si?" batin Breckson sembari berdecah kesal. Tak hanya itu, rumah tua yang ada di belakang mereka memberi kejutan. Dimulai dari decitan suara yang berasal dari gesekan sepatu dan lantai, lalu diikuti dengan semua lampu yang menyala. Setelahnya, ada sebuah melodi yang berputar di dalamnya. Breckson dan Freislor tahu dengan benar bahwa melodi yang dibawakan adalah melodi mengenai hal-hal romantis.
"Aish, kenapa sebuah rumah bisa mendeteksi perasaan manusia si? Kenapa rumah itu harus ada di Kotaku sendiri? Aish. Males banget," ucapnya dengan lirih. Ia merasa kesal dengan apa yang dilihatnya. Freislor tertawa lirih ketika mendengar alunan itu.
"Breckson, sepertinya kita harus pulang. Aku tidak ingin kamu malu setelah melihat kejutan ini," ucapnya sembari berlari jauh dari remaja itu. "Kamu bilang apa, sih? Aku nggak malu, kok. Beneran," jawabnya dengan wajah kesal. Ia melangkahkan kaki pergi meninggalkan Freislor di belakang.
"Hei, jangan bilang kamu meninggalkanku, hahaha," ucap gadis itu sembari tertawa lirih. Malam kala itu semakin larut, bersama dengan jutaan bintang yang menghiasi angkasa. Mereka berdua melewati segerombolan orang yang tengah menyatukan sihir mereka untuk memperbaiki perumahan.
"Wow, aku tidak menyangka bisa seserius itu masalahnya," batin Freislor. Bangunan berbentuk oval yang terletak di pinggir jalan membuatnya penasaran. Di sana, ada sebuah tulisan "Singgahe Waktu." Sebuah tulisan jawa kuno yang terukir di sebuah papan kayu tua.
"Breckson, sepertinya kita harus membicarakan sesuatu yang penting selain keberadaan Grendolfin besok. Datanglah ke rumahku tepat pukul delapan malam. Kita akan menyiapkan strategi untuk menemukan di mana keberadaannya. Dan, aku harap kamu bersiap-siap. Bisa saja kita menjelajahi waktu untuk menemukan sesuatu," ucap Freislor dengan tegas. Gadis itu terus saja melihat ke arah bangunan yang berbentuk oval dengan pondasinya yang berasal dari kayu.
"Apakah ada sesuatu yang penting?" tanya Breckson.
"Yah, aku rasa itu menarik untuk dibahas. Sudah, ya. Aku tidak kuat lagi untuk berjalan kaki. Aku akan menggunakan sihirku untuk pulang ke rumah," jawab Freislor. Gadis itu mengarahkan salah satu tangannya ke angkasa. Selang beberapa detik, ia menjentikkan jarinya. Dalam sekejap, ia menghilang. Breckson yang ada di sana dibuat terkejut karena tindakannya.
"Baiklah, aku tidak menyangka dia akan pergi secepat ini, sangat melelahkan menyimpan semuanya sendirian," ucap Breckson sembari tersenyum. Ia berjalan ke rumahnya seorang diri. Dilihatnya beberapa kumpulan Jreksio, sekawanan burung dengan tubuh berbentuk kus-kus pergi melintasi udara. Biasanya, kedatangan mereka ditandai sebagai pemberi peringatan. Tapi, kali ini mereka pergi tanpa membuat peringatan. Sekedar mampir, itulah satu hal yang disimpulkan oleh para penduduk yang ada.
Keesokan harinya, Freislor bersama dengan adiknya terbangun dari tidurnya. Mereka berdua tidur di sebuah kasur berukuran king size. Di bagian pinggir kasur itu ada terdapat sebuah rak buku yang disusun setengah lingkaran. Dimulai dari sisi kiri, lalu melengkung ke atas, dan berakhir di sisi kanan dari pinggiran kasur itu. Ada banyak buku yang berada di sana.
"Kak, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Aku mau belajar," ucap Kreysa. Gadis itu tersenyum dan membuka jendela yang ada di samping kanannya. Jendela itu berbentuk lingkaran, ada kayu yang membaginya menjadi empat bagian.
"Kakak sih, seperti biasa. Kerja, Dek. Kamu semangat, ya. Sekarang, kita berdua harus turun ke bawah, bantuin Ibu buat masak," ucap Freislor sembari tersenyum. Gadis itu turun ke bawah dan menuju ke ruang makan.
"Bu, kita masak apa hari ini?" tanya Freislor sembari tersenyum dan mengambil sebuah pisau. Setelahnya, ia melangkah mendekati sang ibu yang tengah asyik menggoreng ikan.
"Kita makan ikan goreng hari ini. Oh ya, jangan lupa untuk meminum Frilop, ya. Ibu sudah menyiapkannya beberapa hari yang lalu," ucap sang ibu sembari menoleh sebentar ke arah Freislor.