webnovel

Uang Tidak Bisa Membeli Kebahagiaan

Sepulang bekerja Arisha berjalan di tepi jalan menuju gang tempat tinggalnya. Arisha memilih jalan tanpa alas kaki. Flat shoes yang dipakainya seharian ada di tangan. Matanya menatap ke depan terlihat beberapa meter darinya seorang lelaki paruh baya sedang menyandarkan tubuhnya ke mobil di belakangnya.

"Papa." Arisha tahu lelaki paruh baya yang ada di depannya itu ayahnya. Wajahnya yang lelah berubah serius menatap ke depan.

"Kau sudah pulang?" Raditya bangun. Menghampiri Arisha yang masih mematung di tempat.

"Untuk apa Papa ada di sini?" tanya Arisha. Mungkin seharusnya Arisha bahagia bertemu dengan ayahnya, tapi justru Arisha tampak tertekan.

"Untuk bertemu denganmu." Raditya tersenyum pada putrinya.

Arisha menarik nafas panjangnya. Sejak meninggalkan rumah, baru dua kali Arisha bertemu dengan ayahnya. Pertama karena tidak sengaja dan yang kedua hari ini. Tidak mungkin ayahnya ingin bertemu dengannya tanpa ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.

"Kita sudah bertemukan? Jadi Papa bisa pulang," sahut Arisha. Bukan tidak mau bertemu atau bicara ayahnya, tapi dia sudah terlanjur kecewa padanya.

Raditya menahan emosinya. Tujuan utamanya menemui Arisha belum tersampaikan, dia harus bisa bersabar.

"Papa ingin mengajakmu makan di restoran favorit kita. Apa kau tak rindu makanan enak?" tanya Raditya. Dulu Arisha anak yang manja dan selalu dituruti kemauannya. Dia mendapatkan semua hal yang yang diinginkannya namun semua itu berubah, saat dia tahu kenyataan yang terjadi pada kedua orangtuanya.

"Semua makanan enak Pa. Tergantung kapan kita memakannya." Arisha tahu apa yang dikatakan Raditya hanya sindiran untuk dirinya yang memilih hidup bersama ibunya.

"Oke, Papa tidak ingin berdebat. Temani Papa makan oke?" sahut Raditya. Takkan pulang sebelum bicara dengan putri semata wayangnya. Arisha tetap akan mempertahankan keyakinannya, oleh sebab itu Raditya harus mengakali dengan cara lainnya.

Arisha menarik nafas panjangnya. Dia memikirkan jawaban untuk permintaan ayahnya.

"Iya," jawab Arisha. Untuk kali ini Arisha mengiyakan permintaan ayahnya. Percuma dia bertahan, ayahkan akan membujuknya sampai dia mau.

Ayah dan anak itu duduk di kafe. Mereka memilih meja di lantai dua biar lebih sepi. Arisha hanya diam menatap ayahnya yang sedang melihat daftar menu di tangannya.

"Papa ingin makan steak dan kentang goreng, minumnya es cappucino, kau mau apa?" tanya Raditya seraya melihat tulisan di depannya yang ada di daftar menu. Beberapa makanan pembuka, makanan utama dan makanan penutup tersedia di kafe itu. Begitu pun dengan minumannya, terdapat berbagai minuman dari jus, kopi, teh, milk shake, hingga air putih.

Arisha terdiam. Perutnya memang lapar tapi di rumah ibunya sudah masak. Apalagi makanan yang ada di kafe pasti enak-enak. Arisha tak tega jika makan makanan enak sedangkan ibunya tidak.

"Elina!" panggil Raditya.

"Aku makan di rumah saja Pa, ibu pasti sudah masak," sahut Arisha. Meski di rumah makan seadanya, setidaknya dia bisa makan dengan senyuman yang mengembang. Melihat ibunya senang karena Arisha memakan masakannya.

"Tapi makanan yang ada di sini lebih enak," sanggah Raditya.

"Aku tetap makan di rumah Pa." Arisha tetap pada pendiriannya tak peduli makanan di kafe itu lebih enak.

"Hm. Ibumu pasti hanya mampu memberimu telur dadar, iyakan?" Raditya sangat mengetahui kondisi keuangan mantan istrinya. Dia tidak mungkin mampu memberikan Arisha makanan yang bergizi.

"Tapi aku lebih suka masakan ibu, karena ibu membuatnya dengan cinta," sahut Arisha. Matanya berkaca-kaca menatap ayahnya. Dia tidak ingin ibunya tampak rendah di mata ayahnya.

Raditya hanya tersenyum tipis. Putri cantiknya itu tetap keras kepala membela ibunya. Padahal Raditya yakin wanita itu tak mampu membahagiakan putri semata wayangnya.

"Baiklah, yang penting kau mau menemani Papa makan." Raditya menutup kembali daftar menu dan memanggil pelayan. Dia menyebutkan semua pesanannya pada pelayan yang datang. Pelayan itu mencatat semua pesanan Raditya.

"Oke diulang lagi ya Pak. Satu es cappucino, satu steak dan satu kentang goreng ya?"

"Iya." Raditya hanya menjawab singkat.

Setelah itu pelayan kafe memberikan rincian pesanan pada Raditya. Kemudian meninggalkan tempat itu.

"Elina, sebenarnya Papa ingin bicara sesuatu padamu." Sambil menunggu pesanan yang datang, Raditya mulai mengatakan tujuannya bertemu dengan Arisha.

"Papa ingin bicara apa? Kalau memintaku kembali, maaf Pa aku tidak bisa," sahut Arisha. Dia sudah memutuskan tinggal dengan ibunya meski harus menjalani hidup yang sulit.

"Bukan itu tapi permintaan kakekmu."

Arisha yang tenang menjadi penasaran. Permintaan apa yang diminta kakeknya. Selama ini Abraham tak pernah meminta sesuatu pada Arisha, justru dia selalu memberi semua hal untuk Arisha, bahkan dia yang membantu Arisha ke luar dari rumah Keluarga Mahendra.

"Permintaan apa Pa?" tanya Arisha.

"Kakekmu ingin menjodohkanmu dengan cucu sahabatnya, dia ingin kau setuju dengan rencananya itu," jawab Raditya. Mau tidak mau dia harus menyampaikan permintaan ayahnya. Meski terkesan mengatur hidup Arisha.

"Maaf Pa, jodoh bukan sesuatu yang direncanakan seperti bisnis, aku tidak bisa." Arisha menolak keinginan kakeknya dengan sopan dan disertai alasan yang logis.

"Orang yang akan dijodohkan denganmu bukan orang biasa. Hidupmu akan bahagia, bergelimang harta, kau tidak perlu susah payah bekerja." Raditya berusaha membujuk Arisha dengan membawa-bawa harta, dia tahu hidup putrinya menghadapi kesulitan materi. Hal ini bisa dimanfaatkan olehnya.

Arisha tersenyum tipis. Sepertinya ayahnya sengaja menggunakan titik kelemahannya.

"Uang memang segalanya, semua dibeli dengan uang. Tapi tidak dengan kebahagiaan. Dan aku sudah besar, aku bisa memilih jodohku sendiri," ujar Arisha. Memang uang bisa membeli segalanya tapi tidak dengan kebahagiaannya.

"Elina! Papa dan kakek memikirkan masa depanmu, jangan seperti orang bodoh yang memilih hidup sulit." Raditya mulai emosi. Dia tidak bisa mengontrol emosinya.

"Maaf Pa, aku rasa pembicaraan kita cukup sampai di sini, assalamu'alaikum." Arisha memutuskan mengakhiri pembicaraan keduanya.

Arisha bangun. Meninggalkan meja itu. Sedangkan Raditya mengepalkan tangannya. Dia marah dengan penolakan Arisha. Bahkan ketika pelayan datang menyajikan makanan, dia langsung menghantam piring-piring di atas meja dengan tangannya yang memanas sendari tadi.

"Astagfirullah." Pelayan terperanjat.

Raditya hanya menaruh beberapa lembar uang seratus ribu kemudian meninggalkan tempat itu dengan sangat kecewa.

***

Malam itu Erland sedang asyik berkumpul dengan teman-temannya di klub malam. Mereka mabuk dan berjudi di private room yang dibooking Erland. Besok malam minggu, Erland ingin menghabiskan malamnya dengan bersenang-senang. Mabuk, berjudi, dan mengencani gadis perawan. Namun baru satu jam duduk, Erland sudah mendapatkan telpon dari neneknya.

"Sialan nenek menelpon lagi," keluh Erland sambil melihat layar handphone miliknya yang terus menyala. Nama nenek lampir tertulis sebagai nama kontak neneknya yang di-save oleh Erland.

"Loh kok gak diangkat Erland?" Salah satu temannya mengamati Erland yang masih mendiamkan panggilan yang masuk.

"Biasa nenek gue, paling disuruh pulang." Sudah jadi kebiasaan Victoria selalu marah kalau Erland keluyuran. Ancaman dicoret dari hak waris hingga mendekam di penjara sudah membuat Erland terikat tak mampu melawan.

"Terus, Lo takut?"

"Maybe." Tak ada yang mampu melawan Victoria. Hanya di saat Victoria tidak ada di rumah Erland bisa bebas melakukan apa yang diinginkannya.

"Gak asyik baru bentar dah pulang, gak mau nanam jagung dulu?"

"Mau, tapi bisa habis hidup gue kalau nenek bertanduk." Terancam di kolong jembatan adalah konsekuensi pertamanya jika tidak menurut. Lebih baik mengamankan posisinya terlebih dahulu.

"Yaelah sampai kapan Lo takut sama nenek?"

"Sampai nenek Lo mati ya?" Teman lainnya menyindir Erland yang takut pada neneknya.

Teman-teman Erland tertawa. Mereka semua tahu kalau Erland takut pada neneknya. Hidup Erland ada di tangan Victoria, jika dia melawan siap-siap angkat kaki dari Keluarga Dewangkara.

"Oke, malam ini gue gak bayar tagihannya, selamat menikmati malam panjang teman-teman." Erland bangun. Berjalan meninggalkan meja dengan senyuman tipis di ujung bibirnya. Teman-temannya pasti kelabakan mendengar apa yang dikatakan Erland. Selama ini Erland selalu membayar tagihan mereka semua. Tanpa Erland mereka hanya parasit yang menyebalkan.

Erland pulang ke rumah Keluarga Dewangkara. Baru sampai sudah disambut neneknya. Terlihat Victoria duduk manis di sofa menatap dingin cucunya yang baru masuk ke dalam.

"Malam Nek," sapa Erland.

Victoria hanya diam. Tak membalas sapaan Erland. Matanya tetap menatap dingin cucunya.

"Aku naik dulu Nek," ucap Erland. Dia berpikir lebih baik masuk ke kamarnya dari pada bicara dengan neneknya.

"Duduk!" Satu kata perintah yang tidak akan ditolak Erland.

Tanpa berpikir panjang atau melakukan penolakkan, Erland langsung duduk. Tidak ada yang berani melawan wanita tua di depannya.

"Sampai kapan kau akan seperti ini? Mabuk, berjudi, tidur dengan banyak wanita, itu yang yang kau mau?" tanya Victoria.

"Aku hanya mencari hiburan, selayaknya anak muda Nek," jawab Erland santai. Dia tidak merasa melakukan kesalahan apapun.

"Sepertinya kau memang harus punya istri, biar ada yang mengurus hidupmu." Victoria sudah lelah melihat cucunya yang selalu melakukan hal yang tidak berguna. Kata-kata tidak juga membuat Erland berhenti melakukan kebiasaan buruknya.

"Istri?" Erland terperanjat. Tak pernah terpikir olehnya memiliki seorang istri. Terakhir saat dia mencintai seseorang tapi dia meninggalkannya.

"Iya, nenek sudah mempunyai calon istri yang cocok untukmu. Dari keluarga terpandang, cucu dari sahabat kakekmu."

"Nek, ini zaman modern. Udah gak zaman dijodohin. Lagi pula sangat merepotkan memiliki istri." Erland menolak. Dia tidak ingin dijodohkan dengan wanita pilihan neneknya. Pasti dia akan mengatur hidupnya sesuai perintah neneknya. Erland tidak akan bebas seperti sebelumnya.

"Merepotkan? Baik. Ke luar dari rumah ini!" titah Victoria. Ancaman ini paling manjur untuk membuat Erland bertekuk lutut.

Erland terdiam. Pilihan yang menyulitkan untuknya. Jika dia menuruti perintah neneknya, Erland harus siap diatur oleh wanita yang akan jadi istrinya dari bangun sampai tidur. Namun jika dia menolak, Erland harus siap angkat kaki tanpa membawa apapun. Semua fasilitas pasti akan ditarik neneknya.

Next chapter