webnovel

Semuanya Baik-Baik Saja, Kan?

Bus berhenti tepat di halte dan kedua anak muda itu langsung berlari keluar bus setelah melihat murid-murid sedang berdiri di gerbang sekolah yang sudah tertutup, itu artinya mereka sudah telat untuk masuk sekolah.

Dari sisi lain, mata Aarun menangkap sosok Ian yang juga berlari ke arah gerbang sekolah, tentunya pemuda itu juga terlambat akibat kejadian tadi, ia memalingkan wajahnya setelah melihat Ian yang juga menatapnya sambil berlari.

"Kau telat juga ternyata, kupikir kau akan sampai lebih cepat karena menggunakan motor," kata Ardo setelah sampai di depan gerbang.

Ian masih mengatur napasnya "Ya, tadi aku sempat kembali ke rumah untuk mengobati lukaku," jawab Ian yang hanya di beri anggukan oleh Ardo sebagai jawaban.

"Kalian kenapa bisa telat?" sekiranya ada sebelas murid yang kini telah berdiri di depan gerbang sekolah, diantara ke sebelas orang itu ada ketiga lelaki yang tadi bertemu di jalan setelah kecelakaan itu, mereka Ardo, Aarun dan Ian.

"Tadi ada kecelakaan pas mau ke sekolah," kata Aarun sambil memegangi pagar besi.

"Mana mungkin aku percaya pada anak pembohong sepertimu Aarun," tekan seorang guru perempuan dengan kemeja putih dan  juga rambut pendek sebahunya, guru itu bernama Isabelle ia berusia sekitar tiga puluh tahun, wanita itu  juga sedang berdiri di hadapan mereka, tapi dihalangi oleh pagar besar, Guru Isabelle bersikeras untuk tidak membukakan pintu pada murid-murid yang terlambat.

"Kalian juga, anak yang terkenal pintar di sekolah malah terlambat begitu," ketus Guru Isabelle.

"Itu karena kecelakaan Bu," ucap Ian.

"Kau juga mulai berbohong seperti Aarun ya," kata Isabele sambil melototi Ian.

"Itu benar Bu, tadi aku dan Aarun naik bus dan terjadi kecelakaan-" bela Ardo, "di kecelakaan itu Ian ada juga Pak, lihatlah dia terluka." Ardo sampai membalikkan badan Ian agar gurunya bisa melihat jika mereka bertiga tidak berbohong.

Guru Isabelle memperhatikan seragam Ian yang memang robek dan ada bekas goresan seperti anak itu habis terbentur aspal yang keras "Ian kau masuklah dan keruang  UKS sekarang," ucapnya sambil mendorong gerbang agar terbuka untuk Ian masuk.

Raut wajah Ian langsung sumringah, ia dengan semangat masuk melewati gerbang yang terbuka tersebut "Masuklah," suruh Guru Isabelle.

Ardo dan Aarun hanya melongo melihat kejadian itu, mereka bertiga sedari tadi membujuk gurunya agar mereka bisa masuk di sekolah tapi malah Ian sendirian yang masuk.

Ian menundukkan kepalanya tanda hormat "Terima kasih Bu," kata Ian dengan senangnya ia terlihat sangat baik-baik saja, seperti luka itu hanya sebuah kebohongan lantaran ia senang bisa lolos dari guru tersebut.

Matanya melihat kedua temannya yang masih berada di luar gerbang sekolah "Tapi  Bu, teman-temanku masih diluar, kami bersama-sama terjebak dalam kecelakaan itu, jalanan ke sekolah macet total, jadi mereka juga bisa masuk, kan Bu?" kini mata tajamnya melihat guru Isabelle.

Isabelle seperti orang yang terhipnotis ia langsung membukakan pintu tanpa berkata apapun "Jadi kita boleh masuk?" tanya Ardo sesenang itu.

Ibu Isabelle hanya mengangguk pelan "Selain Ardo, Aarun dan Ian tidak boleh ada yang masuk sekolah lagi, mengerti!"

Setelah mendengar ucapan guru mereka, ke delapan murid itu menunjukkan raut wajah kecewanya, mereka akhirnya di suruh pulang dan di beritahu agar besok datangnya lebih pagi lagi.

"Yess!" Ardo sangat bergembira atas pertolongan Ian, sedangkan Aarun hanya tersenyum tipis saja.

Ketiga pemuda itu akhirnya melangkahkan kakinya menuju kelas mereka tapi baru beberapa langkah mereka kembali mendengar suara Isabelle yang memanggil mereka.

"Hei kalian!"

Ketiga pemuda itu berbalik melihat gurunya yang memanggilnya "Ada apa Bu?" tanya Ian.

"Karena jam pertama telah berlangsung jadi kalian semua ikut ke UKS saja temani Ian," suruhnya.

"Haruskah?" tanya Aarun yang sebenarnya ingin menolak.

"Harus!" ucap Guru Isabelle penuh penekanan.

"Tidak apa-apa ayo," ajak Ardo masih dengan semangatnya, ia merangkul sahabatnya itu lalu mengikuti Ian menuju ruang UKS.

****

"Syukurlah hari ini kita bisa makan yang enak," kata Eugene masih menatap roti isi yang ada ditanggannya dengan mata yang berkaca-kaca. Setelah mengamen sampai siang hari ini mereka bisa memenuhi kebutuhan hari ini sampai esok, Ini sudah termasuk cukup untuk mereka karena terkadang mereka hanya bisa mendapatkan hasil yang cukup bahkan tidak cukup untuk sehari saja.

"Benar syukurlah, Tuhan sayang sekali pada kita," kata Hannah tersenyum.

"Ayo kalian makan juga, ini enak sekali," seru Linzy yang sudah duluan memakan roti isinya.

Eugene dan Hannah langsung menggigit roti isi tersebut guna merasakan sensasi makanan enak tersebut "emm..benar ini enak sekali," seru Eugene juga.

Hanya dengan hal sekecil ini mereka dapat bahagia, itu lah hidup selama ini ketiga gadis itu, mereka selalu bersama menikmati suka dan duka hidup menyedihkan mereka.

Mengenai kejadian di jalan poros tadi pagi, Hannah sangat bersyukur tidak kenapa-napa, itu artinya Tuhan masih melindunginya, ia juga ingat pria yang menyelamatkannya, pria bernama Ian Joshua yang ternyata teman Ardo dan Aarun.

Tapi dari semua kejadian hari ini, ia masih tidak mengerti akan tatapan Aarun yang diberikan padanya, sebenarnya apa yang salah?, hubungan mereka bahkan baik-baik saja kemarin, terakhir kali mereka berdua saling curhat di rooftop dan sekarang malah Aarun diam saja disana saat Hannah hampir saja tertelan maut.

Aarun bahkan tidak bicara sepatah katapun padanya bahkan hanya sekedar tanya kau baik-baik saja pada Hannah.

Hannah masih merenungkan itu hingga ia tidak sadar jika roti adik-adiknya telah habis sedari tadi dan tinggal ia sendiri yang bahkan masih belum setengah memakannya.

"Kak, kau memikirkan kejadian tadi ya?" tebak Eugene yang tepat sasaran.

"Tidak apa kak, yang penting kau baik-baik saja sekarang," lanjut Eugene menepuk-nepuk punggung Hannah.

"Itu benar, justru kejadian ini membuka lembaran baru ketika sang pangeran datang hahaha," goda Linzy dengan mata nakalnya.

"Wah benar, pria yang menyelamatkan Kak Hannah tadi pagi, dia sangat keren," puji Eugene.

"Pasti Kak Hannah sedang memikirkannya, kan?" tebak Linzy yang masih saja dengan nada menggoda.

Bukan, bukan itu yang ia sedang pikirkan sedari tadi, bukan Ian yang ia pikirkan tapi Aarun yang bertingkah aneh, tangan Hannah menepis-nepis udara "Hei itu tidak benar, kalian ini," ucapnya seraya memanyumkan bibirnya.

Hannah mencoba berpikir positif, mungkin saja Aarun sedang dirundung masalah itulah mengapa saat itu dia tidak mau berbicara padanya, Hannah perlahan mengenal sosok Aarun pria yang banyak terlibat masalah itu, ia berharap semoga saja semuanya cepat terselesaikan.

"Aku ingin menjadi seorang seniman musik suatu hari nanti, bagaimana denganmu Hannah?" teringat sekali saat di rooftop itu, angin begitu tenang menyatu dengan mereka, Hannah hanya menatap sosok itu dari samping dengan takjubnya setelah mendengar sebuah cita-cita yang dilontarkan Aarun padanya.

"Aku ingin menjadi seorang pianis." Hannah beralih menatap langit orange sore itu.

"Oh! lihat lah Kak Hannah memikirkannya lagi!" seru Linzy yang kembali memergoki Hannah melamun kedua kalinya.

"Ck.. itu tidak benar Linzy," elak Hannah.

 

ตอนถัดไป