webnovel

28 Tercengang

Saat ini Jeni, Karin dan juga Jefri sudah berada di vila kawasan puncak Bogor. Vila itu milik Jefri dan dia sengaja membawa dua wanita itu ke sana agar bisa bicara dengan serius dan tenang.

Awalnya Karin sempat geram karena Jefri membawanya ke tempat yang lumayan jauh dari Ibu Kota. Namun, ia mencoba menetralkan rasa amarahnya dan bersiap mendengarkan keputusan dari lelaki yang nota bene adalah ayah biologis dari janin yang kini tengah di kandung anaknya.

"Kenapa harus ke Bogor segala sih, Mas!" gerutu Jeni sambil duduk di sofa empuk berwarna putih yang ada di ruangan itu. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling area yang suasananya memang sejuk dan tenang.

Semilir angin pun serta merta membuat pikiran yang tengah bergejolak panas menjadi tenang dan dingin. Tempatnya memang cocok untuk berbulan madu atau hangeout, akan tetapi mereka tidak akan melakukan itu. Jeni sudah enggan untuk melakukan kenikmatan sesaat dengan orang yang sama sekali tak ia cintai.

"Karena di tempat ini tenang dan aman. Kita bisa bicara santai tanpa takut ada yang mengetahui." Jefri memberikan alasan. Ia tampak membuka jas hitamnya, kemudian digantungkannya di kastop besi yang berdiri di situ. Setelah itu, Jefri duduk di sofa yang sama, berhadapan dengan Jeni.

"Jadi, tadi kalian mau kemana? Membawa barang-barang yang banyak seperti itu. Saya yakin itu bukan sekedar pergi sebentar," sambungnya menyindir kedua wanita yang berada di sofa yang ada di hadapannya.

Jefri merentangkan kedua tangannya di bahu sofa, sambil mengukir senyum sinisnya. Sementara Karin dan Jeni masih diam dan hanya saling melempar tatapan satu sama lain, Jefri kemudian melanjutkan ucapannya.

"Kalau saya sampai datang terlambat, sepertinya saya akan kehilangan jejak kalian. Beruntung memang saat saya datang di waktu yang sangat tepat sekali. Percayalah, karena saya dan Jeni memang di takdirkan untuk bersama," lanjut Jefri sambil menggelengkan kepala. Tersungging senyuman sinis di bibirnya saat ia menyindir kedua wanita yang ada di hadapannya itu.

"Lalu, untuk apa kamu mengajak kami kesini?" tanya Karin setelah membisu dalam beberapa menit. Tak ada senyuman sedikit pun di bibirnya. Ia tampak geram terhadap lelaki yang so berkuasa yang ada di hadapannya. Karin tak habis pikir, bisa-bisanya Jeni melakukan pernikahan kontrak dan bermain cinta dengan lelaki seperti itu. Lelaki yang sungguh menyebalkan bagi Karin.

"Bukankah Tante yang meminta saya memberikan keputusan atas pembicaraan kita semalam?" Jefri terdengar menyindir.

"Apa keputusan kamu?" Karin kembali bertanya dengan ketusnya. Ia tak bisa lagi ramah dengan Jefri. Isi dadanya berisi kemurkaan pada lelaki yang ada di hadapannya itu. Andai saja bisa mungkin sudah Karin tampar saat bibir tebalnya itu mengukir senyuman sinis merasa menang, akan tetapi tak ada keberanian sedikit pun untuk melakukan hal itu karena Jefri seorang penguasa.

"Kenapa harus buru-buru, Tante. Santai saja. Saya sudah pesan makanan dan lima menit lagi juga akan sampai. Kita masih punya banyak waktu untuk membahas hal ini," kata Jefri dengan santainya.

"Kalian harus makan dan sarapan dahulu. Hidup ini terlalu berat untuk dilewati, kalian harus memiliki banyak tenaga untuk menghadapi hidup yang terkadang rumit karena ulah sendiri," sambungnya dengan menyindir Karin dan Jeni. Jefri masih merasa kesal karena Jeni berniat lari darinya.

Jefri kemudian beranjak dari tempat duduknya karena bell di depan vilanya berbunyi pertanda ada orang di depan. Rupanya paket makanannya sudah datang. Segera, lelaki putih dan tampan itu mengambil makanan pesanannya kemudian membawanya ke dalam rumah.

"Makan dulu ya," titah Jefri seraya meletakan makanan yang telah ia ambil tadi, ke hadapan Karin juga Jeni.

Mana bisa mereka makan, sementara isi dadanya begitu tegang dan cemas. Terlebih Jeni, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Ia berusaha menetralkan perasaannya. Meski pun terasa mustahil, dalam hatinya masih berharap jika Jefri akan legowo untuk merelakannya pergi.

"Kenapa harus repot pesan makanan, Mas. Aku tidak lapar kok," balas Jeni. Ia tak dapat melebarkan bibirnya. Senyumannya terlalu berat untuk terukir siang ini.

Namun, berbeda dengan Jefri. Ia semakin merasa menggemaskan saat melihat bibir Jeni yang cemberut dan terlihat sangat seksi. Kulit putih dan bersih serta rambut terurai lurus membuat Jefri semakin sukar untuk menjauh darinya.

"Kok repot sih, Jen. Mana bisa aku merasa repot untuk wanita yang aku cintai. Ayolah makan! bukankah kamu tidak bisa lama-lama dalam keadaan perut kosong." Jefri kembali dengan perintahnya pada Jeni. Ia memang sudah hapal dengan kebiasaan Jeni yang doyan makan dan tak bisa lama-lama kelaparan.

"Tante! Ayo kita makan dulu ya," sambungnya kepada Karin. Ia berusaha santai dan ramah pada kedua wanita itu.

'Mana bisa makan, perutku saja muak melihat wajahnya yang menyebalkan!' gurutu Karin dalam hatinya.

"Tidak, Jefri. Tante dan Jeni sudah makan sebelum berangkat tadi. Tante tidak ingin basa-basi. Ayolah bicara, apa yang akan kita bahas hari ini," balas Karin begitu serius. Ia tak bisa berlama-lama lagi. Raut wajahnya bahkan terlihat kesal, padahal Jefri bersikap begitu ramah padanya.

Jefri tampak menghela nafas pendeknya. "Oke!" balasnya sambil menumpangkan sebelah kaki kirinya di atas paha kanan.

"Apa yang Tante inginkan sekarang?" Jefri berbalik tanya. Raut wajahnya pun kini sama seriusnya seperti Karin dan juga Jeni.

"Kok kamu malah bertanya lagi! Jelas sekali, untuk apa kamu membawa kita ke sini?" geram Karin. Ia terlihat kesal dengan Jefri.

"Bukankah semalam kita sudah sepakat kalau kita akan membahas masalah surat perjanjian semalam. Saya sudah menyiapkan suratnya," jelas Jefri pada Karin. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya kemudian mengambil tas yang ada yang ia letakan di atas meja pajangan. Dalam tas itu terdapat sebuah maff berwarna biru muda, lalu jefri mengambilnya.

Maff itu berisi beberapa lembar surat perjanjian yang akan mereka sepakati.

"Silahkan baca dan pelajari terlebih dahulu isinya," titah Jefri seraya menyodorkan maff yang bersiri berkas perjanjian itu ke hadapan Karin dan Jeni.

Karin segera mengambil maff itu kemudian membaca isinya, karena ia tak mau menunggu lama-lama lagi.

Satu demi satu lembaran kertas itu ia baca dengan seksama, betapa terbelalaknya kedua bola mata Karin saat ia selesai membaca suratnya. Isinya benar-benar tidak sesuai dengan yang Karin harapkan.

Karin tampak meletakan kembali maff itu dengan geram ke atas meja.

"Kenapa isinya harus seperti itu?" tanya Karin begitu geram.

"Kenapa, Mah?" Jeni bertanya saat melihat wajah mamahnya yang tampak geram. Ia belum sempat membaca isinya sehingga tidak mengetahui isi dari surat perjanjian itu.

Next chapter