Pagi itu, Handaru menjemput Nikol di depan rumahnya. Udara sejuk menyapa mereka, dan matahari baru saja muncul di cakrawala, mewarnai langit dengan semburat jingga.
"Pagi, Nikol," sapa Handaru dengan senyum lebar saat Nikol keluar dari rumah. "Kamu sudah siap?"
Nikol mengangguk, memasang senyuman kecil di wajahnya. "Siap. Tapi kamu yakin ini ide yang bagus? Mendaki gunung di pagi buta?"
Handaru tertawa kecil. "Ini bukan pagi buta. Lagipula, mendaki saat pagi itu paling seru. Kita bisa melihat matahari terbit dari atas sana. Kamu pernah lihat sebelumnya?"
Nikol menggelengkan kepala. "Belum pernah, sih. Biasanya, aku lebih suka tidur nyenyak di jam segini. Kecuali jika memang tidak ada tugas sama sekali."
"Ah, jadi kamu tipe orang yang suka tidur lama di pagi hari?" goda Handaru sambil membuka pintu mobil untuknya.
Nikol hanya mengangkat bahu. "Bisa dibilang begitu. Tapi kali ini, sepertinya aku membuat pengecualian."
Mereka masuk ke dalam mobil, dan perjalanan dimulai. Handaru tampak senang melihat Nikol mau diajak dalam petualangan kecilnya. Dalam perjalanan, mereka mengobrol tentang hal-hal ringan.
"Kamu biasanya sarapan apa di pagi hari?" tanya Handaru untuk mencairkan suasana.
Nikol berpikir sejenak. "Kopi. Dan mungkin roti panggang kalau aku sedang rajin."
"Kamu tidak suka makanan berat di pagi hari?"
"Kalau sarapan terlalu berat, biasanya aku malah jadi mengantuk," jawab Nikol dengan senyuman kecil.
"Berarti, kamu termasuk yang tidak bisa hidup tanpa kopi?" Handaru tersenyum lebar, terlihat sedikit geli.
"Yap, betul sekali. Kalau kamu?" tanya Nikol balik.
"Aku suka sarapan dengan makanan berat. Nasi goreng atau bubur ayam. Itu membuat energiku penuh seharian."
Nikol tertawa. "Pantas saja kamu kelihatan selalu bersemangat. Rahasianya ternyata ada di nasi goreng, ya?"
Mereka tertawa bersama, dan suasana menjadi semakin akrab. Sepanjang perjalanan, obrolan mereka terus berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan ringan seperti itu, mulai dari film favorit hingga kenangan masa kecil yang lucu.
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di kaki gunung. Pemandangan alam yang indah menyambut mereka. Pepohonan yang rimbun, udara yang segar, dan kicauan burung membuat suasana semakin nyaman.
Handaru turun dari mobil dan mulai menyiapkan perlengkapan mendaki. "Siap untuk petualangan?"
Nikol mengangguk, kemudian mengikuti langkah Handaru yang sudah mulai berjalan menuju jalur pendakian. Di sepanjang jalan, mereka menikmati pemandangan dan sesekali berhenti untuk mengabadikan momen dengan foto.
"Jika kau tidak jadi polisi, kira-kira kau akan bekerja apa?" tanya Handaru di sela-sela perjalanan.
Nikol tampak berpikir. "Hmm... mungkin aku akan jadi penulis. Aku suka menulis cerita, tapi tidak pernah terpikir untuk serius di bidang itu."
"Menulis? Wah, menarik juga. Tentang apa biasanya kamu tulis?"
"Macam-macam. Mulai dari cerita detektif hingga kisah cinta yang tidak berujung bahagia," jawab Nikol dengan nada bercanda.
"Kisah cinta yang tidak berujung bahagia? Kenapa begitu?"
"Entahlah, mungkin karena realitas hidup sering kali tidak seindah yang kita bayangkan," jawab Nikol dengan senyuman tipis.
Handaru mengangguk pelan. "Ya, kadang kenyataan memang tak seindah harapan. Tapi, bukan berarti kita tidak bisa membuat momen bahagia sendiri, kan?"
Obrolan mereka terus berlanjut hingga mencapai ketinggian tertentu di gunung. Saat mendekati puncak, cuaca mulai berubah menjadi sedikit mendung. Angin bertiup lebih kencang, dan jalur pendakian menjadi lebih licin.
"Awas, jalannya mulai licin," peringat Handaru ketika mereka mendekati tebing yang agak curam.
Namun, di tengah kehati-hatian mereka, tragedi tak terhindarkan. Sebuah batu yang terlihat kokoh ternyata licin, dan Handaru terpeleset. Nikol terkejut melihat Handaru kehilangan keseimbangan, dan dalam hitungan detik, tubuh Handaru jatuh ke jurang yang dalam.
"Akh!!"
"Handaru!" teriak Nikol, hatinya mencelos saat melihat tubuh Handaru menghilang di balik tebing.
Tanpa pikir panjang, Nikol bergegas turun menyusuri jalur curam untuk mencari Handaru. Setelah beberapa saat, ia menemukan Handaru tergeletak di dasar jurang, kakinya tertekuk dengan posisi yang aneh. Napas Handaru terdengar tersengal-sengal, dan keringat dingin membasahi wajahnya.
"Handaru! Apa yang terjadi? Apa kau bisa mendengar ku?" tanya Nikol dengan nada cemas sambil berusaha mendekati tubuh Handaru.
"Ya… aku masih di sini," jawab Handaru lemah. "Tapi… sepertinya kakiku patah. Rasanya sakit sekali…"
Nikol dengan hati-hati memeriksa kondisi Handaru. Kakinya patah parah, dan darah mengalir perlahan dari luka di kepalanya. "Kita harus segera mencari bantuan. Aku akan menghubungi tim penyelamat."
Namun, Handaru meraih tangan Nikol, menghentikan niatnya. "Tunggu… Nikol. Sebelum itu… aku ingin bicara."
Nikol menatap Handaru dengan cemas. "Apa yang ingin kau bicarakan? Kita bisa bicarakan itu nanti setelah kau mendapatkan perawatan."
Handaru menggeleng pelan. "Aku… tidak tahu apakah aku bisa bertahan sampai tim penyelamat datang. Nikol… aku hanya ingin mengucapkan terima kasih… karena sudah menghabiskan waktu bersamaku hari ini, meskipun... Kita baru bertemu."
"Jangan bicara seperti itu, bodoh. Kita pasti bisa keluar dari sini bersama-sama," Nikol mencoba meyakinkan, meski di dalam hatinya ada keraguan yang semakin membesar.
"Aku tahu kau kuat, Nikol. Kau selalu tampil tegar. Tapi… ada saatnya seseorang harus melepaskan sesuatu. Dan aku rasa, ini adalah waktuku untuk melepaskan…"
Nikol menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Handaru… kau baru saja datang dalam hidupku. Kita baru saja mulai mengenal satu sama lain. Ini bukan akhir yang seharusnya untuk kita. Lelaki tampan sepertimu tidak pantas menerima hal seperti ini."
Handaru tersenyum lemah. "Kita tidak bisa selalu mengendalikan nasib, Nikol. Tapi aku bahagia… bisa bertemu denganmu, meskipun hanya sebentar."
Suasana hening, hanya suara angin yang sesekali berhembus kencang di sekitar mereka. Nikol menggenggam tangan Handaru erat, merasakan kehangatan yang perlahan memudar.
"Aku ingin kau ingat satu hal, Nikol," lanjut Handaru dengan suara yang semakin lemah. "Jangan pernah menyerah pada hidupmu, apapun yang terjadi. Kau kuat… lebih kuat dari yang kau kira."
Nikol mengangguk, air matanya akhirnya tumpah. "Aku berjanji, Handaru. Tapi kau juga harus berjuang, oke? Kita harus keluar dari sini bersama. Aku yakin ada jalan di sini, jadi bertahan lah, bertahanlah... Aku mohon, jangan pergi, kau yang mengajak ku kemari dan kau tak boleh seperti ini."
Namun, Handaru hanya tersenyum tipis. "Sampai jumpa di sisi lain, Nikol…"
Dengan kata-kata terakhir itu, mata Handaru perlahan tertutup, dan genggamannya di tangan Nikol melemah hingga akhirnya terlepas sepenuhnya.
Nikol menunduk, menatap tubuh Handaru yang kini telah kehilangan nyawanya. Perasaan kehilangan menghantamnya dengan keras, membuatnya terdiam di tempat untuk beberapa saat.
Setelah beberapa waktu berlalu, Nikol akhirnya mengumpulkan kekuatan untuk menghubungi tim penyelamat. Dia memberikan koordinat lokasi mereka, berharap bantuan segera datang.
Saat tim penyelamat tiba, Nikol sudah berusaha keras menahan emosi, meski hatinya terasa hancur. Mereka mengangkat tubuh Handaru dengan hati-hati, sementara Nikol berdiri di sana, menyaksikan segalanya dengan pandangan kosong.
Perjalanan turun dari gunung terasa lebih sunyi dan berat. Kenangan singkat bersama Handaru terus berputar di benaknya, dan di saat itu, Nikol menyadari betapa rapuhnya hidup ini.
Cinta yang baru saja mulai mekar harus berakhir dengan cara yang tak terduga. Nikol, meski patah hati, tahu bahwa ia harus melanjutkan hidup, membawa kenangan tentang Handaru sebagai pengingat akan keindahan dan kesedihan yang selalu berjalan beriringan dalam kehidupan.
"(Apa yang sebenarnya aku harapkan... Tapi dari sana, aku sadar bahwa takdir memang sengaja membuat ku kesepian, takdir tak memperbolehkan ku mendapatkan pendamping. Nyatanya, mulai dari orang tua ku yang meninggal sebelum aku bisa menunjukan bahwa aku bisa menjadi seorang wanita yang kuat. Juga bahkan sudah mengalami cinta yang buruk beberapa kali.
Aku sudah putus asa dengan semua ini, tak ada yang mau aku harapkan... Semua nya telah sia sia dan aku tahu kenapa takdir tidak memberikan ku kebahagiaan seperti ini. Karena dunia kiamat membuat ku kuat mengalami hal yang akan terulang lagi nanti... Mungkin, suatu saat nanti....)"
--
"Hei, Nikol? Kau baik baik saja?" Dian menatap Nikol yang terdiam membuang wajah ngalamun. Lalu ia tersadar dan kembali menatap ke arah nya.
"Apa yang terjadi?" Nikol menatap.
"Kamu baru saja menceritakan semuanya padaku, dan entah kenapa ketika cerita mu berhenti, kamu juga ikut membisu dan pandangan mu kosong, apa kau baik baik saja?" Dian menatap khwatir.
Lalu Nikol menghela napas panjang. "Sial, ini pasti karena luka terbentur di kepala itu, aku juga sedang tidak memikirkan apapun..." dia menghindari untuk mengakui.
Tapi ia terdiam ketika menatap kembali pada Dian yang juga menatap padanya. "Kau tahu kau sama seperti nya," kata Nikol.
Seketika Dian terkejut. "Maksudmu, Handaru itu?!"
"Yah.... Dia kelihatan sangat lemah sekali, karena itulah dia suka pada wanita seperti ku, aku juga belum tahu riwayat aslinya, kami hanya menikmati waktu sebentar kemudian aku lebih memilih mencintai pekerjaan ku... Mungkin jika kiamat ini tak terjadi, aku akan gila duluan dan malah menikahi pekerjaan ku...." kata Nikol yang dari tadi hanya curhat dan Dian dari tadi juga dengan senang hati mendengar nya.
"Kau pasti gila sekarang..." tatap Dian dengan polos.
"Haiz.... Yah, begitulah... Baiklah, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan...." Nikol mengakhiri topik dan berjalan duluan dan Dian pun juga mengikutinya dengan patuh.
Tapi dia terus saja ingin bertanya sesuatu. "Nikol, apa menjadi polisi atau bisa di bilang menjadi wanita kuat, adalah keinginan mu?" tatapnya.
Seketika Nikol terdiam sebentar, lalu dia tersenyum kecil dan berbalik menatap nya. "Sejujurnya, tidak, aku hanya ingin menjadi wanita yang biasa... Wanita yang bisa menebarkan pesona... Tapi karena ini sudah menjadi pekerjaan ku, aku hanya bisa berangkat buru buru untuk bekerja, kemudian pulang dengan berantakan setelah menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan fisik. Itu semua melelahkan, tapi aku sadar, bahwa kemampuan itu sangat penting di butuhkan sekarang..." kata Nikol membuat Dian tersenyum mendengar nya.
"Yah, benar, kau wanita kuat dalam hal apapun..."