webnovel

Chapter 8 Lead The Way

"Senpai, Imea," Uminoke menghampiri mereka.

"Jadi bagaimana?~" mereka berdua menatap iseng.

". . .Apanya?" Uminoke bingung.

"Jadi sudah kiss?" Mera menatap.

"Apa, apa yang kalian pikirkan?!?" Uminoke bermuka merah.

"Ya, kami pikir kamu dan dia sedang Uhm...." tatap Mera memperagakan sesuatu, membuat Uminoke benar-benar malu.

"Tidak, tidak, jangan jangan!!" Uminoke menggeleng cepat, membuat Mera tertawa iseng.

Malamnya, mereka semua ada di sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Imea berpapasan dengan Kella di lorong kamar mandi.

"Kella, kau sudah sembuh."

"Ya, ini semua berkat Mas Roland," Kella membalas.

"Apa yang dia lakukan padamu sehingga kamu langsung cepat? Apa dia memberikan obat?" tatap Imea.

"Entahlah, dia hanya memijat dan membuat tulang ku berbunyi, setelah itu sembuh begitu saja..."

"Hm.... (Apa Mas Roland pandai dalam hal terkilir?)" Imea menjadi terdiam.

Sementara itu, di dapur, Mera memasak telur dan di meja makan Roland memakan masakannya.

". . . Ini, kenapa enak banget?"

Mera menoleh padanya dan tersenyum.

"Aku memang pandai memasak."

Roland meliriknya bingung.

Di sisi lain, Uminoke berjalan ke atas rumah itu.

"(Kira-kira apakah Line memang di balkon, karena aku tadi tanya pada Roland, dia mengatakan Line ada di balkon....)" pikirnya lalu melihat dari pintu kaca balkon dan rupanya Line memang ada di sana.

Dia membuka pintu kaca balkon, dan di sana ada Line yang duduk sambil merokok bersender di pintu kaca. Uminoke ikut duduk di sampingnya. Mereka duduk lesehan di bawah dengan pagar balkon mengarah langsung ke depan. Line menoleh padanya dan mematikan rokoknya.

"Kenapa kau mematikannya? Jika dipikir-pikir, ketika pertama kali bertemu, kau juga mematikan rokokmu itu ketika aku datang," Uminoke menatap.

"Aku tidak mau kau menghirupnya," Line membalas dengan wajah biasanya. Membuat Uminoke terdiam sejenak.

Suasana menjadi terdiam dan Line hanya membisu dengan wajah datar tak menatap Uminoke yang saat ini ragu ingin mengatakan sesuatu.

Hingga ia benar-benar akan mengatakan sesuatu. "Line," panggilnya membuat Line menoleh sedikit padanya.

"Aku benar-benar berterima kasih padamu, jika tidak ada kamu waktu itu, pasti aku sudah mati dan tidak akan sampai kesini," kata Uminoke.

"Tidak masalah, lagi pula kita tidak bertemu satu atau dua kali."

". . Apa maksudmu.... Kau membicarakan itu lagi... Kita memang bertemu tapi aku hanya melihatmu saja sedang duduk di atas balkon gedung dengan hujan deras itu."

"Kau pastinya pernah melihatku selain pada saat hujan itu bukan," Line menatap.

Uminoke terdiam dan mengingat sesuatu. Tapi ia tetap tak bisa mengingat. "Aku tak ingat apapun soal kamu."

"Ck, kau ingat ketika kau tertarik naik ke kuil?" Line menatap dan di saat itu juga Uminoke melamun mengingat.

---

Beberapa tahun yang lalu, Uminoke berjalan di kota seperti biasanya. Ia masih SMA, dalam jalan pulangnya ia melihat tangga batu naik sebuah kuil. Saat itu juga ada kucing di pijakan tengah.

Kucing itu sama seperti kucing milik Line, dia menatap Uminoke dengan mata kuningnya.

"Halo, kamu lucu sekali, boleh aku menyentuhmu?" Uminoke berjalan mendekat, tapi mendadak kucing itu naik ke tangga itu, dan kucing itu juga naik mendahuluinya.

"Hei tunggu!" Uminoke mengikuti. Alhasil ia berlari menaiki tangga untuk mengejar kucing itu.

Tapi tiba-tiba saat sampai di atas ia bertabrakan dengan seorang lelaki.

"Aaaah," Uminoke terkejut berteriak.

Mereka sama-sama tertabrak dan Uminoke akan terjatuh ke bawah tangga, dengan cepat pria itu menarik tangannya dan menahan pinggang Uminoke. "Kau baik-baik saja?"

Uminoke tak bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu karena sinar matahari. Lelaki itu melepas pegangannya dan terlihat bahwa dia adalah Line yang memakai jas hitam.

". . . Terima kasih banyak," Uminoke menundukkan badan dan berlari pergi menuruni tangga. Sudah terlihat bahwa dia hanya sekilas melihat wajah Line saat itu. Dan begitulah bagaimana cara dia mengingat apa yang dikatakan Line bahwa mereka pernah bertemu lagi.

---

"Hah, kau yang waktu itu, bagaimana aku bisa lupa," Uminoke terkejut.

"(Line saat itu terlihat sangat bagus dan tampan dengan pakaian yang ia pakai saat di kuil itu.... Pakaiannya memang formal... Saat dia menyelamatkan ku dari zombie pertama itu pakaiannya juga formal... Apa dia hidup di dunia bisnis besar tapi kenapa dia punya tato tribal dan kalung liontin militer itu?) Saat itu kenapa kau ada di sana?" Uminoke menatap.

"Rumahku memang ada di sana, aku akan berangkat bekerja tapi kau malah menabrak ku," Line membalas.

"Saat itu, aku benar-benar malu, ya ampun, kenapa bisa begini," Uminoke panik.

"Tenang saja, lagipula kau sudah terlihat dewasa."

".. . Terima kasih," Uminoke sedikit tersenyum.

"Kau benar-benar tidak ingin bertanya apa lagi soal aku?" tatap Line.

"Um.... Aku ingin tahu... Soal liontin itu," Uminoke menunjuk liontin yang masuk ke baju Line. Lalu Line mengambil dan melepasnya.

"Dengar Uminoke.... Jika kau ingin tahu, aku mohon jangan takut padaku setelah aku memberitahu ini," kata Line lalu Uminoke mengangguk serius.

"Bisa kau baca angka di liontin ini."

Lalu Uminoke melihat bertuliskan A/0.

"A/0?"

"Itu adalah pangkat dan tingkatan dalam militer... Aku tidak akan memberitahumu apa arti pangkat ini aku hanya memberitahumu aku dari militer dan itu sudah sangat lama."

"Jadi memang benar.... Lalu bagaimana dengan tato tribal itu?"

". . . Itu.... Tato tanda."

"Tanda apa?"

"Aku juga seseorang yang mengerikan..." balas Line dengan wajah yang khawatir tak mau memberitahu semuanya dan itu membuat Uminoke terdiam. Ia berpikir Line benar-benar menyembunyikan sesuatu yang harus diberitahukan.

"Jadi, bisa sekarang berikan aku kiss-nya," Line mendekat.

"Tidak, apa maksudmu, Kau ini apaan sih, aku tidak mengerti maksudmu," Uminoke mendorongnya dan berjalan masuk tapi Mera menghadangnya.

"Wah, ternyata kalian memang pacaran ya," ia menatap iseng.

"Pa-pacar, apa maksudmu? Kita bukan pacar benarkan Line?" Uminoke menoleh tapi Line hanya terdiam dan berdiri lalu jalan masuk ke sebuah kamar.

Uminoke menjadi bingung padanya. "(Apa yang terjadi pada Line?)"

Roland yang ada di dapur melihat mereka secara diam. "(Line mengatakan kalau gadis itu pacarnya, tapi gadis itu tidak mau mengakuinya, rupanya hanya gadis biasa, aku benar-benar bingung kenapa dia mau sama gadis itu,)" ia berpikir sendiri.

Hari selanjutnya terlihat Roland memperbaiki bagian bawah mobil jeep di depan rumah.

"Ck Ck... Ini agak rusak setelah ledakan kemarin... Untungnya sudah berada agak jauh sebelum terkena ledakan... Aku akan memperbaikinya sedikit demi sedikit," ia sibuk memperbaikinya di bawah mobil.

Ia tidak tahu ada satu zombie yang akan menerkamnya dan berjalan ke arah kakinya tapi tiba-tiba zombie itu terpukul tongkat hingga terjatuh. Roland yang sedikit terkejut itu langsung keluar dari bawah. Ia melihat Imea yang ketakutan sambil memegang tongkat kayu.

". . . Kau yang membunuhnya?" Roland menatap zombie yang terbaring itu. Tapi Imea hanya terdiam masih gemetar.

"Cara memegangmu salah," Roland mengambil tongkat yang dibawa Imea.

"Ma.... Maaf Mas Roland aku baru pertama kali memukul orang."

"Sudah jelas itu bukan orang lah."

"M.... Maksudku.... Zombie... M... Mas Roland juga harus hati-hati soal yang tadi...Jika tidak ada aku.... Mas Roland mungkin sudah tergigit."

"Tak apa... Tapi ya terima kasih... Ngomong-ngomong apa kau punya seorang pacar?" Roland mendekat. Hal itu membuat Imea terkejut.

"Ti, ti, ti dak, aku tidak punya, mungkin karena sikapku yang aneh ini."

". . . Aneh? Menurutku kau tidak aneh. (Entah kenapa aku seperti pernah melihat gadis ini... Tapi dimana yah?)" kata Roland lalu Imea tersenyum suka pada Roland.

Imea juga terdiam dengan wajah yang tambah merah. Dia benar-benar bersikap malu dan sepertinya ada aroma cinta di sini.

---

Uminoke melihat Line yang ada di balkon merokok sambil melihat Roland dan Imea yang ada di bawah.

"(Apa Line marah padaku?)" Uminoke menatap khawatir.

Line membuang rokoknya dan berbalik masuk ke dalam. Ia menatap Uminoke yang ada di belakangnya dari tadi. "Ada apa?"

"Apa kau marah padaku?" Uminoke menatap. Tapi Line hanya diam dan menundukkan kepalanya lalu berjalan pergi. Uminoke kecewa melihat sikapnya.

"(Kenapa.... Apa hanya karena aku menolak-nya.... Dia tak mau... Padahal aku hanya ingin dia terus berjuang mendapatkan keyakinan dariku, aku hanya sengaja mempermainkan perasaannya agar aku bisa tahu apakah dia benar-benar suka padaku....)"

---

"Kau mau ikut?" Roland menatap.

"Eh kemana?" Imea bingung.

"Aku dan Line akan mencari jalan agar nanti saat kita akan ke Kyoto tidak ada kendala sama sekali."

"Em, aku ingin tapi aku tidak bisa bertarung, mungkin aku hanya akan menjadi beban," Imea membalas.

"Tapi aku ingin kau ikut," Roland menatap tajam. Membuat Imea terkaku. Akhirnya ia ikut bersama Line dan Roland.

Setelah beberapa lama, Roland menghentikan mobilnya. "Maaf dulu, aku harus buang air," kata Roland sambil melepas sabuk pengaman dan keluar meninggalkan mereka.

"(Em, Mas Line menjadi aneh, aku ingin bicara padanya,)" anu Mas Line," Imea memanggil tapi tiba-tiba Line menoleh padanya sambil menembak peluru ke arahnya. Imea terkejut tapi untungnya Line tidak menembaknya, dia hanya menembak zombie yang akan naik mobil dari belakang Imea.

"Hah, aaah," ia terkejut saat menoleh.

"Jadi, ada apa?" kata Line.

". . . Em, anu Mas Line, apa kau sedang merasa tidak enak badan?"

"Kenapa kau berpikir begitu?" Line menyela.

"E eem anu sebenarnya apa kau benar-benar menyukai Mbak Uminoke?"

"Bukankah aku sudah mengakuinya di depan kalian?"

"Lalu apa yang membuatmu terdiam aneh seperti ini... Ini mulai membuatku dan Mbak Uminoke khawatir... Asal Mas Line tahu dia juga sedang memikirkan Mas Line," tatap Imea dengan membela Uminoke. Tapi itu membuat Line bingung.

"(Apa yang sebenarnya dibicarakan ya...) . . . Sebenarnya aku hanya sedang berpikir sebenarnya siapa itu gadis Iran itu... Logatnya bukan dari Iran asli," kata Line. Seketika Imea terdiam.

"Ja.... Jadi kau diam bukan karena kecewa sama Mbak Uminoke karena dia menolakmu?"

"Dia tidak menolak ku.... Hanya saja dia butuh waktu untuk menerimaku..."

Next chapter