"Mohon perhatian pada semuanya, kereta tidak akan berhenti di stasiun-stasiun berikutnya. Kereta akan melaju dengan kecepatan tinggi agar sampai ke Kyoto," suara dari petugas kereta terdengar.
"Apa, tapi bagaimana dengan makanan yang hampir menipis?!" semuanya menjadi protes.
"Senpai, kita harus turun di stasiun berikutnya," tatap Uminoke.
"Apa, tapi apa kau tidak dengar, kita tidak akan berhenti?"
"Tapi aku ingin kereta ini kembali."
"Umin, dengarkan aku. Kau bilang kakakmu terjebak di Kyoto. Kau lebih memilih orang yang baru saja kau kenal atau memilih kakakmu yang sudah menjadi keluargamu?" Mera menatap serius.
"Aku tidak tahu, aku tidak yakin Kachi akan selamat."
"Umin, aku juga berharap kita selamat," Mera memeluk kepalanya.
---
Kembali ke Imea, dia saat ini berhasil membawa Line ke minimarket terdekat sambil mengawasi tempat itu sepi. Ia meletakkan Line di pojokan dan mencari obat di minimarket tersebut. "Obat, obat di mana cepat... (Aku tidak mengerti kenapa Mas Line bisa kemari sendiri, apa Mbak Uminoke masih ada di dalam stasiun, tapi kenapa Mas Line berlumur darah,)" ia berpikir sambil mencari obat dan akhirnya ketemu bersama perbannya. "Mas Line," ia berjalan ke tempat Line tapi anehnya Line tidak ada, hanya meninggalkan bercak darah. Ia menjatuhkan obatnya dan melihat sekitar dengan panik tak percaya.
"Mas Line di mana kau?!" ia berjalan keluar dan sedikit terkejut melihat kucing hitam duduk membelakanginya, kucing itu menoleh dengan mata kuningnya. Ia mengangkat punggungnya dan berjalan ke bawah Imea. "Ada apa pus, apa kau melihat Mas Line?"
Kucing itu lalu berjalan pergi begitu saja.
"Tu-tunggu," Imea mengikutinya. Mereka ada di parkiran luas. Kucing itu berhenti dan duduk lalu menoleh ke atas samping. Meskipun agak bingung tapi Imea juga melihat ke atas samping, tak ada apa-apa sama sekali di sana. Imea terdiam bingung dan melihat ke kucing tadi. Tapi kucing itu benar-benar tidak ada.
"(?...)" dia menjadi bingung sendiri.
"Imea..." tiba-tiba seseorang memanggil membuatnya menoleh dengan cepat. Rupanya Line yang berjalan sempoyongan dengan masih adanya darah.
"Mas Line... Apa yang kau lakukan... Kau masih terluka?" Imea mendekat dan membuatnya duduk, ia segera mengobati luka Line dan menutupnya dengan perban. "Maaf jika ini tidak nyaman aku tidak tahu soal yang mengobati seperti ini... Mas Line... Kenapa kau pergi tadi... Dan, kenapa lukamu terbuka... Apa kau bertarung?"
"Aku harus mencari Uminoke... Dia benar-benar pergi ke dalam kereta... Dan apakah luka itu buruk?" tatap Line.
"Sepertinya begitu... Ini butuh jahitan agar tidak terbuka lagi... Di sini tak ada orang medis apalagi alatnya... Apa yang harus kita lakukan Mas Line?" Imea menjadi sedikit panik.
"Aku bisa menahan ini," Line berdiri dan memakai kemejarnya.
"Ta... Tapi..."
"Sudahlah, ayo cepat pergi," Line menyela.
"Kemana?"
"Menjemput Uminoke."
"Tunggu Mas Line, kau belum mengatakan apa yang sebenarnya terjadi."
". . . Ck, dia terbawa kereta dan kereta itu menuju ke Kyoto."
"Bukan itu maksudku... Maksudku... Bagaimana lukamu bisa terbuka?"
"Itu bisa kukatakan nanti, cepat pergi bersamaku."
"Lalu bagaimana kita ke sana?" Imea menatap panik. Lalu Line mengulur tangan. "Kau mau ikut denganku kan?" Line menatap, seketika Imea terpesona dengan tatapannya dan menerima uluran tangannya.
Tapi dari jauh ada seseorang membidik mereka dan menembak.
Tiba-tiba Line menarik tangan Imea memutar tubuhnya, seperti putaran dalam menari pasangan. Di saat itu juga peluru itu meleset saat akan mengenai mereka.
". . .Wooo apa itu tadi?" Imea menatap terkejut ada peluru meleset.
Line menunjuk ke samping lalu Imea melihat seorang lelaki yang sepertinya sebaya dengan penampilan Line datang berjalan arogan membawa sebuah senapan. "Kau masih hebat seperti dulu," ia menatap Line yang hanya tersenyum kecil. Imea masih bingung. "Apa kalian..."
"Gadis yang seksi, di mana kau mendapatkannya?"
"Aku tidak mendapatkannya, Imea, dia adalah Roland," kata Line, Roland mengedipkan satu mata membuat Imea agak terpaku.
"(Kenapa lelaki ini... Aku seperti pernah melihatnya... Tapi, di mana,)" dia juga terdiam berpikir.
"Aku berjalan mencari persediaan, aku keluar dari rumah baru saja. Mau mampir dulu?" lelaki yang bernama Roland itu menawar.
"Tidak ada waktu, aku harus menyelamatkan Uminoke."
"Siapa itu, pacarmu?"
". . ." Line menjadi terdiam mendengar itu.
"(Mas Line ditanyai begitu, apakah jawabannya tidak... Jika mereka pacar pasti dia akan menjawab 'Iya'... Astaga aku penasaran,)" Imea menjadi penasaran.
"Yah, dia pacarku, aku sangat menyukainya," Line menatap.
Seketika Imea terkejut. Rupanya benar, Line mengakuinya dengan bangga.
"Aku penasaran, secantik apa dia sehingga kau yang tidak pernah tertarik pada wanita ini tertarik padanya begitu saja."
"Jangan banyak bicara, kau harus membantuku."
"Line, kita sudah lama tidak bertemu. Kau keluar dari agen itu secara diam-diam, apa kau sadar kau menjadi buronan mereka, para anggota termasuk diriku diminta untuk membunuhmu. Karena kau dianggap mengkhianati agen."
"Lalu apa kau akan membunuhku?" Line menatap tajam, mereka berdua sama-sama menatap tajam.
Imea yang ada di samping mereka merasa bingung dengan pembicaraan mereka.
Seketika Roland menodongkan pistol ke kepala Line, dan Line ikut memunculkan senjatanya yakni pisau dan menaruhnya di samping leher Roland.
"Hentiikaaan!!" Imea mendadak melerai mereka dengan mendorong dari tengah.
"Mas Line... Bukan kah kau akan menjemput Mbak Uminoke, kenapa kau malah mau berurusan dengan yang lain?!"
". . . Haizzz, baiklah, ayo pergi," Line berjalan duluan.
"Hei tunggu, Line... Kau harus bertanggung jawab dulu," Roland mengikutinya. Sebelum Imea berjalan, ia melihat ke belakang.
"(Di mana kucing hitam tadi ya?)" ia bingung. Lalu berjalan mengikuti mereka berdua.
---
Sementara itu, kereta berhenti di stasiun yang sangat sepi dan berantakan. Masinis terpaksa menghentikannya karena kereta harus mengumpulkan energi untuk langsung ke Kyoto.
"Senpai ayo turun di sini," kata Uminoke.
"Apa, tidak Umin, aku tidak mau, kita harus tetap di dalam."
"Senpai, aku ingin kau menemaniku."
"Tapi Umin aku harus tetap di sini."
"Untuk apa ke sana jika kau tidak punya siapa-siapa di Kyoto?" Uminoke menyela, seketika Mera terdiam. Lalu mengangguk terpaksa. Mereka berjalan turun.
"Hei apa yang kalian lakukan, kalian akan terbunuh!!" Para orang-orang kereta menatap.
"Kami akan pergi daripada harus lapar di dalam," Uminoke membalas sambil terus menarik tangan Mera untuk berjalan menjauh dari kereta. Lalu kereta berjalan perlahan menjauh dari mereka.
"Umin, aku akan menemanimu."
"Benarkah?"
"Karena keretanya pergi," Mera membalas sambil lemas putus asa.
"Sudahlah, biarkan saja. Ayo Senpai, kita cari makanan dulu."
Lalu mereka berjalan sekitar kurang dari 1 kilometer dan menemukan supermarket di sana.
Uminoke masih melamun saat di supermarket. Ia masih mengingat kata-kata Line untuk terakhir kali.
Mera menatapnya bingung.
"Senpai, seharusnya aku tidak menyuruhnya untuk maju sendirian, aku benar-benar lupa kalau dia punya luka. Sekarang aku tahu kenapa dia tak mau menyelamatkan kalian karena dia tak punya niat sama sekali dan khawatir akan kondisi lukanya... Aku benar-benar sangat bodoh Senpai, apa aku bersalah, aku telah membuatnya mati," Uminoke perlahan menangis menyesal lalu Mera juga merasakan perasaan Uminoke.
"Ya... Ini memang kesalahanmu Umin."
"Ha... Apa maksudmu..." Uminoke menjadi terkejut dengan perkataan Mera. Lalu Mera tersenyum dan memeluknya.
"Maksudku itu bagus kau sudah menyesal," kata Mera. Lalu Uminoke terdiam.
"(Aku memang menyesal tapi apa aku masih bisa bertemu dengan Line lagi.)"
"Umin... Apa kau mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia ini?"
"Line bilang ini karena virus."
"Itu memang benar tapi aku baru saja mendapatkan video langsung yang aku rekam tadi di ponsel," Imea mengambil ponselnya di sakunya dan memutar sebuah video.
"Laboratorium kota saat ini sedang dijaga ketat dan banyak agen, militer maupun pengawalan kuat dari yang dikerahkan pemerintah diminta membangun benteng pertahanan mulai dari sekarang. Laboratorium juga sedang mencoba membuat serum penawar untuk ini semua," kata Mera.
"Itu ada benarnya, tapi aku masih berpikir bagaimana mereka semua bisa terjangkit virus itu... Sementara kita tidak?"
"Mungkin seseorang bisa menjelaskan nanti," balas Mera.
Tapi Uminoke kembali terdiam dan menghela napas panjang. "Aku benar-benar masih menyesal soal Line."
"Itu bagus kau sudah menyesal," tiba-tiba seseorang menyela berbicara dari pintu supermarket membuat mereka berdua terdiam mendengar suaranya. Uminoke langsung mengenalinya dan menoleh. Terlihat Line bersandar di samping pintu.
"LINE!!" Uminoke tersenyum dan menangis senang. Lalu ia berlari memeluknya.
"Line, maafkan aku."
Line hanya tersenyum sambil membelai rambutnya.
"Mbak Uminoke, kau baik-baik saja?" Imea datang dari luar dan melihat mereka.
"E...." ia terdiam melihat hal itu. Lalu Mera berjalan ke arahnya dan merangkulnya. "Aku Mera, Senpainya Uminoke," ia menatap sambil membawa Imea pergi agar mereka tidak mengganggu Uminoke dan Line.
---
"Line, aku benar-benar minta maaf. Se... seharusnya aku tidak memaksamu... Aku benar-benar menyesal dan maafkan aku."
"Tidak usah dipikirkan, aku malah lebih senang kau selamat. (Dia benar-benar seperti kucing kecil yang manis.)"
"Line, tapi bagaimana kau bisa selamat dan bagaimana kau bisa ke sini... Lalu lukamu?"
"Lukaku baik-baik saja dan soal aku bisa ke mari... Itu rahasia," Line membalas. Uminoke tersenyum menahan tawa lalu memeluknya lagi.
"Bagaimana jika kau beri aku satu kiss?" Line berbisik.
"Kenapa?... Kau benar-benar mesum," Uminoke langsung melepasnya.
"Baiklah, suatu hari nanti aku akan membuatmu memberikan kiss lebih dulu," kata Line.
"Hmp.... Akan kunantikan itu jika kau benar-benar berhasil... (Tunggu... Ini benar-benar sangat aneh... Line benar-benar bisa menyusul tepat waktu di sini dan kenapa dia tahu aku ada di sini... Dia benar-benar tidak langsung ke Kyoto... Apa ini kebetulan atau apa?)"
---
"Eh, jadi Mbak Mera adalah Senpai-nya Mbak Uminoke."
"Yap, itu benar... Uminoke sangatlah bertingkah seperti anak-anak, dia benar-benar terlalu berlebihan dalam apapun... Ngomong-ngomong, kau sangat cantik dan seksi ya," tatap Mera.
"Te... Terima kasih... (Aku anggap itu pujian.)... Bagaimana perasaan Mbak Mera... Apakah baik?"
"Yap, aku sangat baik karena habis makan... Untungnya Uminoke mengajakku ke supermarket tepat waktu."
"Syukurlah... Aku dan Mas Line juga kemari secepat mungkin."
"Oh ya... Bagaimana kalian bisa ke sini?" Mera menatap.
"Itu..." Imea terdiam menyembunyikan sesuatu membuat Mera bingung.