"Mengapa aku bisa sebodoh ini, mengapa semua bisa terjadi?" Hati Wisaka bertanya-tanya. Sementara Leli hanya memandangi suaminya tersebut, tersenyum penuh arti, penuh rasa kemenangan dalam hatinya.
"Kakang tak usahlah seperti itu, bukannya aku sudah menjadi istrimu?" tanya Leli.
Wisaka hanya diam, dia tidak habis pikir, mengapa semua bisa terjadi? Bukankah tadi dirinya tertidur pulas, lalu mimpi itu? Mengapa seolah-olah bermimpi tapi nyata? Apakah ada ilmu seperti itu? Wisaka terlonjak dari tidurnya, kemudian duduk sambil memandang istrinya.
"Apakah kamu mempunyai ilmu meraga sukma?" tanya Wisaka.
"Tidak, Kakang, aku tidak tahu tentang ilmu itu," jawab Leli sambil menunduk.
"Katakan dengan jujur!" Wisaka berkata tegas.
"Tidak, Kakang," kata Leli ketakutan, dia mulai terisak.
Wisaka tak tega kalau melihat perempuan menangis, diraihnya kepala istrinya mengusapnya sekilas.
"Ya sudahlah, ayo tidur lagi," kata Wisaka.
Akhirnya Leli terlelap lagi, membiarkan Wisaka yang tetap terjaga dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. Teringat akan tujuannya, teringat Cempaka yang telah dikhianatinya, juga Onet yang nasibnya entah bagaimana. Hari yang bertambah larut membuat mata Wisaka takluk, dia tertidur dengan resah di hati.
Suatu pagi, Wisaka tak mendapati istrinya di sampingnya, rupanya dia terlambat bangun. Hari sudah beranjak siang. Leli sedang memasak di dapur.
"Kakang, sudah bangun," sapa Leli.
Gadis itu menyapa Wisaka yang memasuki dapur.
"Iya," jawab Wisaka.
"Kang, bisakah tolong ambilkan kayu di para --tempat kayu bakar atas perapian itu?"
"Bisa," jawab Wisaka.
Wisaka meraba-raba kayu di atas para, tiba-tiba dia merasakan sesuatu. Ketika tangannya menggapai ke atas sepertinya ia menyentuh rerumputan. Dengan rasa penasaran dicobanya lagi. Memang iya, ia menyentuh rumput.
"Mana, Kang?" tanya Leli mengagetkan Wisaka.
"Eh ... ini," jawab Wisaka gugup sambil menyodorkan kayu bakar.
"Kakang kenapa?" tanya Leli merasa heran dengan Wisaka yang tiba-tiba gugup.
"Gak ada apa-apa, Akang mau mandi dulu," jawab Wisaka.
Wisaka secepatnya pergi dari dapur, dia tak habis pikir mengapa ada rerumputan di atas tempat kayu bakar itu. Pemuda itupunpenasaran dan harus mengulanginya lagi untuk meyakinkan dan memastikan.
Selesai masak, Leli dan Wisaka makan bersama, dilanjutkan ngobrol kesana-kemari, sampai pada akhirnya Leli bercerita tentang sesuatu.
"Kang, tahu enggak, entah mengapa, Bapak selalu melarang aku melongok ke dalam sumur juga melihat ke atas tempat kayu bakar itu," kata Leli.
"Alasannya?" tanya Wisaka.
"Entahlah," jawab Leli.
"Ooh, mungkin, Bapak tidak mau kamu terjatuh ke dalam sumur atau terjatuh saat mengambil kayu bakar," kata Wisaka, dia sengaja tidak menceritakan tentang penemuannya saat meraba kayu bakar.
"Iya juga, ya," ujar Leli sambil manggut-manggut.
Di saat semua penghuni rumah sedang tidur siang, Wisaka mengendap-endap pergi ke sumur di belakang rumah, diaa melongok ke dalam sumur. Terlihat satu keanehan, tak ada bayangan langit di sana. Wisaka cepat-cepat pergi ke dapur, mengulangi lagi meraba-raba di atas kayu bakar.
Terasa olehnya, banyak rumput-rumput yang terjamah, penasaran, dengan hati-hati ia naik dan melongok ke atas. Digenggamnya rumput sebagai pegangan, lalu kepalanya mengikuti tangannya.
Pemandangan di atas sana sungguh membuatnya tercengang. Rumput yang digenggamnya ternyata rumput dari tepi sungai. Dia melongok lebih ke atas lagi, ternyata selama ini Wisaka ada di dalam sungai. Wisaka melangkah keluar.
Onet yang selama ini setia menunggu, sejenak tertegun memperhatikan orang yang baru keluar dari dalam sungai. Setelah yakin ia melompat ke tepi sungai, lalu menguik dengan berisik. Wisaka tersenyum lebar menyambut Onet.
Onet melompat ke pangkuan Wisaka, menciumnya, seolah-olah ia berkata tak mau berpisah lagi.
"Kamu selamat, Onet?" tanya Wisaka sambil mengacak-acak rambut Onet.
Onet mengangguk-angguk. Saking bahagianya Onet jungkir balik di depan Wisaka, Wisaka pun tertawa dibuatnya. Tak cukup itu, dia melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Tubuhnya yang mulai kurus terayun-ayun di akar yang menggantung.
"Sudahlah, Onet, sini duduk, dengarkan dulu, aku mau bicara," kata Wisaka.
Onet duduk sambil memandang Wisaka, mulutnya komat-kamit seolah-olah bertanya. Hatinya merasa cemas takut ditinggalkan lagi.
"Dengar, aku harus kembali, Onet," kata Wisaka.
"Nguik ... nguik ... nguik," Onet berkata sambil meloncat-loncat.
Seandainya ia bisa berkata, ingin ikut menyertai perjalanan Wisaka ke mana pun pergi.
"Tidak, Onet, kali ini kau harus menunggu lagi, aku janji, besok atau nanti malam aku kembali, jadi kau tunggu di sini sekali lagi," ujar Wisaka meyakinkan Onet.
Seperti mengerti apa yang dikatakan Wisaka, Onet pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Wisaka lantas kembali lagi ke air, mencari lokasi tempat muncul tadi, lalu menyelam. Didapati dirinya tengah berada di atas tumpukan kayu bakar itu. Dengan hati-hati Wisaka melompat.
Seperti tak terjadi apa-apa, dia bergegas ke kamarnya, di mana Leli masih terlelap. Mereka tidak boleh tahu kalau sebenarnya Wisaka sudah tahu jalan keluar. Wisaka berbaring di samping Leli pura-pura tidur. Leli bangun, dia memandang ke arah Wisaka, Wisaka menggeliat, kemudian bangun.
"Leli, bolehkah aku bertanya tentang sesuatu?" tanya Wisaka.
"Ya, Kakang."
"Seandainya aku kembali dan tidak balik lagi ke sini, apa yang akan kau lakukan?"
Leli terdiam, hanya matanya tiba-tiba mengembun,
berusaha menahan tangis.
"Jawablah," kata Wisaka.
"Entahlah, Kakang, mungkin kalau sudah lama sekali kau tak mengunjungiku, aku akan menyusul ke duniamu," kata Leli sambil terisak.
"Memangnya ini dunia apa?"
"Di sini adalah tempat siluman ikan, Kakang, tapi sama saja kami juga mahluk ciptaan-Nya," jawab Leli.
Walau sudah menduganya, tapi Wisaka tak urung merasa kaget juga. Pantesan selama ini tidak menemukan jalan keluar.
"Kalau kau sebangsa ikan, bagaimana pula kau akan bertahan hidup di darat?" tanya Wisaka penasaran.
"Aku punya ini, Kakang," jawab Leli sambil memegang liontin berbentuk mata ikan yang berkilauan di lehernya.
"Dengar Leli, aku sudah menemukan jalan keluar, dan aku akan pergi malam ini, kuharap kau tidak bersedih dengan kepergianku," kata Wisaka.
"Aku bisa bertahan dengan azimat ini untuk beberapa bulan, Kakang," Leli memohon.
Leli ingin ikut, air matanya yang mengalir menandakan kalau diq¹aaqa belum mau ditinggalkan Wisaka.
"Tujuanku melakukan perjalanan ini adalah untuk mencari dan berguru kepada Kyai Abdullah, membasmi mahluk penyebar teror yang mengakibatkan kematian para penduduk desa, kuharap kamu mengerti," kata Wisaka.
"Baiklah, Kakang, aku mengerti, sodorkan tanganmu," ujar Leli.
Dengan ragu Wisaka menyodorkan tangannya yang disambut oleh tangan Leli, Wisaka merasakan ada aliran tenaga yang memasuki tubuhnya. Rupanya Leli mentransfer ilmunya kepada Wisaka.
"Suatu saat kau akan memerlukannya, Kakang, ilmu itu bisa mengetahui jalan pikiran lawan, saat sedang bertarung," kata Leli.
"Terima kasih."
Saat hari berganti malam, Wisaka sudah bersiap pergi. Leli seharian ini murung dan bersedih. Sebenarnya ada sebuah rahasia yang dia sembunyikan. Kehidupannya agak berbeda dengan kehidupan manusia, dia dapat mendeteksi kehidupan yang lain di perutnya.
"Kakang, bolehkah aku berkata sesuatu?"
"Ya."
"Aku ... hamil," kata Leli gugup.
Wisaka kaget mendengar pengakuan Leli. Tidak menyangka istrinya berkata begitu.
"Secepat itukah?" tanya Wisaka.
Leli menganggukkan kepalanya.
"Dunia kami berbeda dengan duniamu, Kakang."
"Tapi aku tak bisa membatalkan kepergianku ini, aku minta maaf Leli, nanti kalau dia lahir laki-laki kasih nama Jaka, kalau perempuan kasih nama Mayang, suatu saat aku akan datang menjengukmu," kata Wisaka.
Keraguan menguasai hati Wisaka, tapi dengan cepat dikuatkan hatinya. Dia harus tetap dengan tujuannya yang utama.
"Haruskah kuurungkan niatku? " Bisik hati Wisaka tetap bimbang.