webnovel

Janji Kelingking

Qelia terdiam mendengar kalimat yang menjadwalkannya untuk berlatih setelah selesai makan. Menghela napas pelan, dia mengangguk perlahan. Melirik kedua bocah yang ada di hadapannya. Ekspresi Qelia menjadi sangat lembut. "Okelah kalau gak mau kasih tau Mama sekarang, tapi nanti kasih tau. Sekarang ini, Mama harus pergi dulu sebentar keluar!" pamitnya mengelus lembut surai hitam Aksvar dan Vesko.

Bangkit dari posisi duduk, Qelia mulai melangkah keluar. Namun, dua tangan kecil menggenggam baju usangnya. Dia pun langsung berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya. Melihat si pemilik dua tangan kecil itu adalah Aksvar dan Vesko.

"Mama mau ke mana?" tanya Aksvar pelan, tak ingin sang mama keluar lagi. Vesko pun sama, keduanya memasang jurus andalan. Mata berkaca-kaca yang ingin menangis, membuat Qelia harus menahan napas karena gemas.

"Tuan, Anda bisa membawa keduanya untuk berlatih bersama Anda. Hitung-hitung untuk memperkuat keduanya ketika Anda sedang ada kesibukan, mereka bisa mempertahankan diri!" usul Xevanus dengan gaya khas orang rebahan di dalam alam bawah sadar.

'Itu sangat berbahaya! Ini bukan taman bermain atau perumahan kompleks, tapi sebuah kawasan hutan yang penuh hewan buas!' balas Qelia tak suka.

Apa yang Qelia katakan benar, mereka bukan tinggal di perumahan kompleks yang memiliki tetangga, atau taman bermain yang banyak anak sebaya seumuran mereka berdu. Tempat di mana mereka berpijak saat ini adalah alam bebas, di mana tidak ada aturan.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika ada hewan buas menyerang keduanya, sementara Qelia tak memiliki senjata untuk melawan. Apalagi dia sendiri berada di tubuh seorang perempuan yang tak memiliki basic fisik yang mumpuni untuk melawan hewan buas.

Xevanus terdiam tak bisa membantah. 'Lagi pula, aku juga berniat untuk membuat sebuah senjata kayu atau batu. Sampai saat itu, kau bisa membantuku untuk membantu menjaga keduanya bukan?' tanya Qelia membatin.

Xevanus mengangguk dari alam bawah sadar, dia lupa sesaat kalau majikannya ini memiliki rencana tersendiri dalam setiap pengambilan langkah besar. Tugasnya saat ini adalah membantu rencana itu, dan menyingkirkan beberapa halangan yang tak bisa Qelia atasi nanti.

"Baiklah Tuan!" jawab Xevanus mengembuskan napasnya pelan.

Hanya bisa pasrah kalau Qelia berkata seperti itu. Berhasil membuat Xevanus menyetujui keinginan dan membantu rencananya, Qelia pun lalu berjongkok untuk membuat tingginya menjadi sejajar dengan Aksvar dan Vesko.

Mengukir ekspresi lembut penuh pengertian, Qelia mengelus kepala keduanya. "Kalian berdua di sekitar sini aja ya, jangan ke mana-mana. Mama janji, kalau pulang nanti akan mengajari kalian bela diri!" tawar Qelia membujuk keduanya agar tak ke mana-mana. Sayangnya itu tak berhasil.

"Nanti, kalau kalian sudah menguasai bela diri. Kalian baru boleh temani Mama untuk berburu!" sambung Qelia membuat keduanya mengganti yang tadinya ratapan tak rela, menjadi tatapan penuh harapan.

"Mama janji?" tanya Vesko memastikan.

Ekspresi pada wajahnya begitu berharap, kepalanya mendongkak menunggu jawaban atas pertanyaan yang membutuhkan kepastian. Qelia tersenyum lembut, dia mengulurkan jari kelingking dari tangan kanan. Kemudian, tangan kirinya meraih tangan kanan Vesko agar jari kelingking mereka saling berkaitan.

Vesko menatap penuh kebingungan, sementara Aksvar cukup merasa dangkal melihat hanya si adik yang diperlakukan seperti itu. "Dengan ini, Mama berjanji untuk tidak mengingkari janji-janji Mama tadi, namanya ini Janji Kelingking," jawab Qelia.

Netra merah mudanya melirik pada Aksvar yang terlihat iri dan ingin juga. Cukup lucu di matanya. Namun, dia juga harus adil. "Aksvar juga ke sini, lakukan seperti yang Vesko lakukan tadi!" pinta Qelia, memberikan jari kelingking di tangan kiri.

Netra hitam legam dari si kembar yang lebih tua itu langsung berbinar dan mendekat, kemudian mengulurkan jari kelingking tangan kirinya, untuk bertautan bersama jari kelingking sang mama.

"Di hadapan hutan dan segala kesunyiannya, Mama berjanji untuk tidak mengingkari janji lain, kepada kedua bocah tampan Mama yang tersayang ini!" sumpah Qelia.

Secara tiba-tiba, angin berembus lembut dari segala penjuru arah mata angin. Membuat rambut ketiganya menjadi berlambai-lambai seakan sedang menari menebarkan pesona. Bertepatan saat itu, ketika Qelia mengukir senyum lembut. Sosok cantiknya berhasil menanamkan pesona luar biasa pada Aksvar dan Vesko.

Entah keberapa kalinya, Aksvar dan Vesko kembali terpesona pada sang mama yang begitu cantik di mata mereka.

Melepaskan jari kelingkingnya. Qelia bergerak mengusap bagian kening keduanya secara bersamaan, lalu mengecup bagian yang dielus tadi satu per satu.

"Mama selalu sayang kalian berdua. Jadi, jangan ke mana-mana. Mama pergi dulu!" Pamit Qelia di akhir kalimat dengan sangat lembut.

Qelia mencoba untuk bangkit dari posisi jongkoknya, tapi, Aksvar dan Vesko langsung menyerbu tubuhnya dengan pelukan erat penuh kasih sayang. "Kami juga sayang Mama," balas keduanya tulus penuh kasih sayang yang polos. Mencoba menenggelamkan kepala, dan mencari kehangatan di ceruk leher sang mama yang begitu halus.

Melihat perilaku kedua bocah itu, jari-jemari lentik Qelia bergerak secara spontan untuk mengusap surai hitam mereka. Dan di saat itu juga, Qelia merasakan sudut hatinya menghangat. Seperti dipenuhi kelembutan dan kehangatan, yang tanpa sadar membuat Xevanus di alam bawah sadar iri melihatnya.

Di lubuk hati terdalam, Xevanus yang selalu kesepian di atas langit sana merasa hangat di beberapa bagian sudut hatinya, sama seperti Qelia. Ada rasa iri tersendiri saat melihat mereka berpelukan. Bangkit dari posisi rebahan di atas kasur. Xevanus duduk.

Kedua tangannya mengepal di atas paha. 'Aku juga ingin berpelukan, ingin merasakan kehangatan.' Sudut mata indah yang seakan mencerminkan tatanan semesta itu dipenuhi bulir cairan bening, penuh rasa iri.

Ya, Xevanus hanya bisa iri tanpa pernah bisa merasakan kehangatan pelukan seseorang secara langsung. Andai dia bisa keluar dari alam bawah sadar, sudah pasti dia langsung keluar. Namun, jika dia keluar sekarang, nyawa Qelia akan terancam, dan semua akan menjadi sangat-sangat rumit.

Puas memeluk sang mama dan mencari kehangatan di dalamnya, Aksvar dan Vesko pun melepaskan diri mereka dari pelukan itu secara serentak. Membuat Qelia bangkit dengan senyum sambil mengelus kepala mereka berdua, penuh kasih sayang. Kemudian, dia pamit dan melangkah pergi menuju rimbunnya hutan yang mengelilingi gubuk.

Melihat sosok Qelia menghilang dari balik rimbunnya pepohonan, Aksvar dan Vesko menunduk dengan wajah yang sangat gelap karena dipenuhi bayangan. Biasanya, itu menggambarkan ekspresi kesal atau tak bisa berkata-kata dalam komik. Sayangnya, ituberbeda dengan Aksvar dan Vesko. Mereka berdua lalu mendongkak dan menatap satu sama lain.

"Dengar apa kata Mama tadi kan? Nanti kita belajar bela diri, baru bantu Mama berburu!" seru Aksvar dengan senyum lebar.

"Dengar dong! Yeyyy!" serunya membalas kalimat Aksvar, dengan senyum tak kalah lebar dan cerahnya dari sang kakak.

***

Berganti ke Qelia, kini dia berjalan menyusuri hutan untuk pergi ke tebing yang tadi ada lingkaran sihirnya. Namun, begitu sampai di sana. Keningnya kembali mengernyit, saat akan disentuh ....

"Tuan! Jangan disentuh, walau lingkaran sihirnya tak terlihat karena sudah kembali berkamuflase. Lingkaran sihir pelindungnya tadi tetap hancur secara tak sengaja karena saya. Jika Anda menyentuhnya, Anda akan mati seperti penjelasan saya sebelumnya!" peringat Xevanus.

Merasa de javu, Qelia terhenti untuk mengulurkan tangannya, dan terkekeh pelan. Namun, alisnya terangkat sebelah penuh tanda tanya ketika mendengar suara Xevanus tadi, suaranya seperti seorang gadis yang habis menangis.

Next chapter