webnovel

Perjalanang Menegangkan

Air mata bercucuran sepanjang jalan. Rasa takut, kalut dan juga sedih bercampur jadi satu. Aku merasa telah dipermainkan.

Sesekali mata terpejam ketika mau mengingat Mas Fadil yang melarangku pergi tapi aku kembali dibayangi para makhluk tak kasatmata yang kian mengganggu setiap harinya.

Wisnu untunglah mau mengerti dan dia tak sama sekali mau bertanya yang aneh-aneh kepadaku atau memberhentikan motornya di sembarang tempat lagi seperti tad karena dia takut dimarahi oleh Mas Fadil.

Aku menghapus air mata yang menganak sungai ini dengan punggung tangan. Mengenyahkan rasa sakit hati yang teramat sangat. Kehidupan perkotaan yang kurelakan harus menghilang demi rumah impian yang kami idamkan dan sudah jadi kenyataan, aku malah menggadaikan kebahagiaanku bersama para teman yang tak pernah berbuat seperti ini kepadaku.

Motor yang Wisnu kendarai terus saja membelah jalanan desa yang sepi. Lama juga kami keluar dar lingkungan terkutuk seperti ini. Dalam benak mau bertanya ke Wisnu, siapa orang yang menjadi pasangan Mas Fadil jika itu adalah kebenaran. Meskipun aku tak akan tahan mendengar ceritanya, tentu saja aku mau mendatangi orang itu dan juga bekerja sama memecahkan misteri mengerikan ini.

Akan tetapi, dia mau mengantarku saja sudah cukup, aku tak mau dia sampai mendapat masalah selepas aku minta diantar ke rumah.

Kami akhirnya siap meninggalkan desa. Gapura yang berdiri kokoh sebagai tanda masuk desa yang aku tempati dengan Mas Fadil, akhirnya mengucapkan selamat tinggal kepadaku yang merasa lega.

Motor Wisnu berhenti beberapa meter setelah kami melewati gapura dan dia melihatku lewat spion.

"Rumah Mba terlalu jauh jika kita tempuh dengan motor ini. Karena kendaraan ini sudah tua, dan tak akan bisa membawa Mba menjauh dari tempat ini. Rute ke luar desa, jarang saya lalui jika tak sedang perlu dan kepepet saja. Apa lebih baik Mba pergi dengan bis. Selain lebih aman, tentu lebih nyaman. Bisa sekaligus istirahat."

Aku terdiam dan merasa setuju juga dengan apa yang dia katakan. Karena tak mungkin aku yang tak pernah naik motor jauh-jauh nekat dengan baju yang setipis ini, terkena terpaan angin yang tadi saja membuatku diserang demam sekarang.

"Tapi saya ga ada uang dan hanya ada gelang yang kamu gak mau. Apa yang harus saya lakukan Wisnu."

Wisnu tersenyum kecil. Dia tak menjawab dan segera mengambil sesuatu dar kantong celananya. Tiga lembar uang ratusan ribu dia serahkan kepadaku.

Aku merasa tak enak. Kenapa dengan masalah berat ini, aku yang mengemis dengan orang lain yang notabenetak sama sekali ada hubungannya dan dia malah bisa saja jadi korban yang akan diincar oleh banyak orang , nantinya .

"Ambillah, saya tahu Mbak lebih butuh. Mba bisa ganti ini kalau kita ketemu lagi. Saya akan minta ganti sama Mbak.".

"Tapi …?" Aku masih menolak. Ini yang pertama. Melarang diriku untuk mengambil uang dari orang yang tidak memiliki banyak uang seperti Wisnu, aku sangat tak tega.

Wisnu meraih tanganku dan dia meletakkan lembaran uang itu ke dalam genaggaman tanganku.

Aku tersenyum dan menerimanya.

"Sesampainya di rumah mamahku, saya akan mengembalikan uangnya ke kamu, Wis."

'Iya, Mba, bagaimana enaknya aja, lagipula jangan dipikirkan, yasudah kita bisa terlambat dan sebaiknya berangkat sekarang saja, saya takut juga kalau terllau malam pulang nanti."

Wisnu tak mau banyak bicara lagi. Dia kembali menyalakan motornya dan membawaku ke arah terminal.

***

Aku sudah di dalam bis sekarang, dan Wisnu mendampingiku hingga bis yang mau ke kota sebelah, akhirnya berangkat, setelah penumpang sudah naik semua.

Beruntung aku tak perlu menunggu sampai jadwal yang kedua, atau aku akan bermalam di terminal yang sangat gelap dan sedikit sekali para pekerja di sini, kalaupun mereka berkumpul, kebanyakan hanya di luaran saja yang banyak lampunya, jika memaksakan diri menunggu di dalam terminal, aku akan kembali menguji nyali dengan setan yang lebih baru lagi.

Aku melambaikan tangan saat motor Wisnu menjauh ketika dia melihat bisku juga sudah jalan.

Posisiku duduk ada paling belakang, di bangku yang dekat dengan pintu, semua orang yang naik begitu pendiam, mereka seakan asing satu sama lain.

Ya, memang seperti itu seharusnya tapi kesunyian yang tercipta menambah rasa merinding di tubuhku ini yang juga dibelenggu dengan dinginnya AC.

Aku melihat beberapa penumpang yang dapat kujangkau dengan mata, mulai memjamkan mata mereka, aku melakukannya juga, beruntung karena tak duduk dengan siapa pun di sini, aku dapat menaikkan kaki, setidaknya sampai kernet bus ini menyadarinya dan memintaku untuk duduk normal.

Aku memejamkan mata, berharap bisa menikmati perjalanan ini tanpa rasa bosan yang pasti akan menemaniku sepanjang jalan.

Akan tetapi, mataku yang tadi berat sekarang mendadak terbuka lebar ketika merasakan seseorang menggelitik kakiku yang sedikit keluar dari garis bangku.

Aku malu sekali takut yang melakukannya Kernet atau bisa saja penumpang yang lain, mungkin dia mau berjalan ke depan atau belakang dan aku penyebabya, makanya aku tidak mau melakukannya lagi dan ini terasa sangat tidak nyamann.

Aku mencoba menarik kakiku agar tidak menjuntai bahkan sampai menekuk perutku agar tak mengganggu jalanan orang lain.

Setelah tak ada pergerakkan dan kakiku tak digelitik seseorang, aku memberanikan bangun dari tempat duduk dan membuka mataku perlahan.

Seketika Gelap. Aku tak bisa menatap apa pun di sini, bahkan aku tak tahu apakah ini masih di dalam bis atau tidak, karena tak terasa juga kendaraan ini sebenarnya sedang melaju atau, bahkan tidak jalan sama sekali.

Aku berusaha menenangkan jantungku sendiri agar tak berdegup dengan kencang dan membuatku tak bisa bernapas dengan benar. Ini sangat menakutkan.

Dengan keberanian yang tersisa secuil ujung jari saja, aku berusaha untuk bangkit dan berjalan menemui kernet atau bahkan sopir, bisa juga penumpang yang kuingat duduk di sampingku.

Tangan ini berusaha meraba, sekaligus menghitung bangku yang ada di bis ini.

"Mas, Kernet, Mas!" kataku memanggil kernet yang tadi sangat amat ramah, bisa saja dia membantuku dan memberitahuku ini di mana.

Aku tak mampu menyimpan rasa panik dan ketakutan ini, yang tersisa hanya rasa kesal saja ke mana aku dibawa dengan bis yang bahkan jalanannya saja tak terlihat.

Aku terus melafalkan doa, dan berharap diberi pertolongan dari kejadian menegangkan ini. Aku mau pulang aku tak akan datang atau memikirkan lagi tentang desa menyeramkan itu, rumah itu dan juga Mas Fadil. Aku kapok saat pulang saja aku mengalami ini.

Aku tak bisa mundur lagi dan malah diam di tempat, hingga lampu di bis kembali menyala dan aku bisa melihat sekelilingku yang ternyata tak kalah menyeramkannya dibanding lampu bis mati.

Saat lampu bis mati, setidaknya aku tak perlu melihat pemandangan di bis ini, aku berharap waktu bisa kuulang dan aku bisa berhasil memaksa Wisnu untuk pergi mengantarku. Setidaknya dengan dia aku aman dan tak perlu menaiki bis di mana aku merasa mual yang luar biasa, perutku terasa terkoyak dan ingin memuntahkan semua isinya.

Next chapter