Alasan Berlian menerima Bara menjadi dokter pribadinya karena dia menyukai pria itu sejak pertama kali membaca biografinya. Suka dalam artian hanya suka, bukan rasa suka seperti ia menyukai pacarnya. Terlihat dari biografi dan foto Bara, terlihat Bara baik hati. Hari ini Berlian bersiap untuk ke rumah sakit swasta, gadis itu sudah memakai pakaian lengkapnya. Berlian mengambil kopi instan dalam lemari pendingin dan meneguknya untuk sarapan.
"Mau kemana?" tanya seorang pria yang hanya bertelanjang dada dan hanya handuk sebatas pinggang yang menutupi tubuh bagian bawahnya.
Semalam Deon menginap di rumah Berlian dan tidur di ruang tamu. Pria itu kini mendekati Berlian dan memeluk tubuh gadis itu dari belakang.
"Kok udah rapi? Mau kerja?" tanya Deon lagi.
"Iya," jawab Berlian.
"Bisa gak sih kalau sarapan itu makan nasi? Setiap hari kamu hanya minum kopi. Itu gak baik buat kesehatan lambung kamu," ujar Deon menarik kopi yang saat ini dipegang Berlian.
"Deon, aku tidak bisa mulai aktifitas kalau tidak ngopi," jawab Berlian ingin menarik kopinya lagi. Namun Deon menyembunyikan kopi di belakang tubuhnya.
"Sekarang kamu duduk di ruang makan, aku yang akan memasakkan untuk kamu," ucap Deon menarik paksa tubuh Berlian untuk duduk di meja makan.
"Tapi aku akan berangkat kerja," kata Berlian. Berlian tidak jujur akan ke rumah sakit, gadis itu masih belum siap mengatakan yang sebenarnya.
"Kamu bos, Sayang. Bisa datang sewaktu-waktu."
"Tidak bisa. Aku juga harus disiplin," jawab Berlian.
"Duduk di situ dengan tenang. Aku akan masak dengan cepat," ucap Deon.
Deon menatap ricecooker Berlian yang dalam keadaan mati. Sudah pasti benda itu tidak pernah Berlian gunakan. Berlian sangat suka dengan makanan instan, perempuan itu tidak akan mau repot memasak.
Berlian menatap jam di pergelangan tangannya, masih pukul setengah delapan. Masih ada setengah jam lagi untuk ke rumah sakit. Berlian menatap pacarnya yang dengan cekatan memasak. Berlian mengetuk-ketuk ujung jarinya di meja, mata gadis itu tidak sengaja menatap pundak Deon yang basah karena rambut pria itu yang belum dikeringkan, membuat airna jatuh ke pundak. Dengan cepat Berlian berdiri, gadis itu menarik tissu dan mengusap pundak Deon.
Deon tersentak, pria itu sedikit menjauh. "Ada apa?" tanya Deon.
"Pundak kamu basah," jawab Berlian mencoba mengusap pundak Deon lagi. Namun Deon menangkap tangan Berlian.
"Aku sedang goreng telur, jangan sentuh-sentuh, bahaya," kata Deon.
"Itu dada kamu juga basah, biar aku usap," ujar Berlian mengulurkan tangannya ke dada Berlian. Namun Deon menepisnya sedikit kasar membuat tangan Berlian tanpa sadar mengenai pan. Pan panas berisi telur itu jatuh dengan mengenaskan setelah mengenai tangan Berlian. Cipratan minyak juga mengenai tangan gadis itu.
"Akhh," pekik Berlian memundurkan tubuhnya.
Buru-buru Deon mematikan kompornya, pria itu segera mendekati Berlian dan menarik tangannya.
"Berlian, maafkan aku. Aku tidak bermaksud melukaimu," ujar Deon membawa Berlian ke wastafel. Deon mengguyur tangan Berlian yang terkena minyak. Punggung tangan gadis itu sedikit melepuh.
Mata Deon menangkap luka di pergelangan tangan Berlian, "Kenapa dengan tangan kamu?" tanya Deon.
"Ah tidak apa-apa, aku baik-baik saja," jawab Berlian.
"Tapi itu seperti luka-"
"Ini baik-baik saja, Deon."
"Semalam aku tidak melihatnya, maafkan aku. Hari ini aku juga melukai kamu. Aku benar-benar tidak sengaja," kata Deon meniu-niup tangan Berlian.
"Kamu pikir aku gadis yang lemah? Tidak ada yang bisa melukaiku, Deon." Berlian menarik tangannya dan bergegas mengeringkannya dengan tissu.
"Berlian, semandiri apapun seorang perempuan, pasti butuh laki-laki untuk melindungi. Bisakah kamu sedikit bergantung sama aku?" tanya Deon dengan pandangan nanarnya. Saat ia tidak perhatian, Berlian akan menelfonnya bolak balik dan bertanya. Saat ia perhatian, Berlian selalu mengatakan dia baik-baik saja. Lalu Deon harus bersikap seperti apa?
"Deon, bukan maksudku begitu, tapi ini benar tidak apa-apa. Oh iya, aku harus berangkat kerja. Kalau kamu masih mau di sini, di sini saja. Aku akan cepat kembali," ujar Berlian segera keluar dari dapur. Deon menatap punggung Berlian dengan nanar, gadis itu kini pergi meninggalkannya seorang diri.
Berlian segera keluar dari rumahnya seraya menenteng tasnya, gadis itu menuju ke bawah di mana Bian sudah menunggunya seraya berdiri di samping mobilnya.
"Bu, silahkan masuk!" ucap Bian membuka pintu.
"Ke rumah sakit sekarang!" titah Berlian. Bian menganggukkan kepalanya, pria itu segera menutup pint mobil dan memutari mobil atasannya untuk duduk di bangku kemudi.
"Bian, bagaimana penampilanku hari ini?" tanya Berlian sembari menata rambutnya.
"Seperti biasa, menawan," jawab Bian.
"Apa kira-kira Dokter Bara akan tertarik?" tanya Berlian.
"Bukankah Bu Berlian sudah ada Pak Deon?" tanya Bian.
"Em, menurutmu siapa bibitnya yang lebih unggul?" tanya Berlian lagi yang membuat Bian dengan spontan terbatuk-batuk.
"Deon memang tampan, tapi kalau bibit sepertinya lebih unggul Bara. Bagaimana kalau saya menikah dengan Deon tapi punya anak dari Bara?"
"Uhuk uhukk ...." Bian semakin kencang terbatuk-batuk. Ia sungguh tidak tahu bagaimana jalan pikiran atasannya yang sangat absurd.
Berlian menghempaskan tubuhnya ke sandaran, gadis itu juga tidak tahu sebenarnya hubungannya mau dibawa kemana. Terkadang ia luluh dengan Deon, terkadang ia tidak bisa percaya dengan Deon.
"Bian, menurutmu bagaimana kalau saya menikah?" tanya Berlian.
"Itu bagus, karena Nyonya Risa tidak akan mendesak Anda lagi, Bu. Apalagi kalau Anda cepat memiliki keturunan, pasti bisa memperbaiki hubungan Anda dengan Nyonya."
"Tapi sayangnya Deon tidak kunjung menikahiku."
"Kalau begitu cari cowok lain saja," jawab Bian.
"Kamu pikir saya orang yang tidak setia apa? Bisa cari cowok seenaknya sendiri?" sembur Berlian yang membuat Bian meringis. Berlian bertanya dan dia menjawab, lalu salahnya dimana?
"Bukan begitu maksud saya, Bu. Kalau Deon tidak kunjung kasih kepastian, lalu buat apa?"
Berlian memejamkan matanya, gadis itu memijat kepalanya yang terasa sakit. Menikah, punya anak dan hidup bahagia, terlihat sederhana tapi sangat sulit Berlian gapai.