webnovel

Energi Huddwake

"Apa yang kau lakukan ?!" Kutepis tangan Huddwake dengan kasar.

"Wow. Wow. Tenanglah, aku hanya menyingkirkan ini dari punggungmu." Huddwake mengangkat kedua tangannya seperti buronan yang sudah kepergok polisi. Ada selembar kertas di tangan kanan Huddwake.

Aku mengernyit. Huddwake membalik kertas itu agar aku bisa membacanya.

AKU WANITA PENGGODA.

Aku memutar bola mata, kemudian merebut kertas itu dari tangan Huddwake dan meremasnya. Sejak kapan kertas konyol ini menempel di punggungku?

"Aku tidak akan berterima kasih padamu, jadi pergilah," kataku sambil memalingkan muka dari Huddwake.

Huddwake tersenyum kecut. "Benarkah? Kau tak ingin menanyakan sesuatu padaku?"

Aku meliriknya tajam. Huddwake menelengkan kepala, seperti menantangku. Aku tetap terdiam seribu bahasa sambil memeluk buku-buku Matematika yang baru saja kupinjam di perpustakaan.

"Dia yang menciumku."

Aku mendelik. "Untuk apa kau mengatakannya padaku?"

Huddwake ganti terdiam, ia menghela nafas. "Kau pikir kenapa kau melarikan diri seperti itu?"

Aku tercekat. Pertanyaan Huddwake serasa menghunjam jatungku. Aku tahu kalau aku tak mampu menjawabnya. Kutatap lurus Huddwake dengan sorot penuh kebencian.

"Kenapa kau membiarkan Martinez menciummu?" Aku melirihkan suara. Huddwake mengernyitkan alisnya. "Kau tidak menyukainya bukan?" tanyaku lagi.

Huddwake menatapku dengan tatapan tidak percaya.

"Kau mengimprint Martinez untuk menyukaimu, bukan?" aku memberondong Huddwake dengan pertanyaan. "Apa sekarang kau mencoba mengambil keuntungan darinya?"

Huddwake terlihat sangat terkejut.

"Apa yang kau katakan?"

Aku tertawa mengejek. "Sudahlah, kau tak perlu berpura-pura lagi. Aku sudah mengetahui siapa penjahatnya. Aku tahu semua yang kau lakukan, Huddwake."

Huddwake mencengkeram lenganku tiba-tiba. Ia mendekat, menatap mataku. Aku refleks langsung memejamkan mata.

"Kau tak bisa melakukan apapun padaku." Aku menggertaknya.

Huddwake mencengkeram lenganku makin keras. "Apa yang sudah ia lakukan padamu, Serina?"

Apa yang ia katakan? Siapa yang dia maksud?

Aku menggeram, "Kau mencoba memengaruhiku? Hentikan bualanmu, Huddwake. Aku tahu kau adalah monster."

Huddwake melepaskan cengkeramannya perlahan. Aku memberanikan diri untuk membuka mata, tapi tak kutatap mata Huddwake.

"Kau tidak seharusnya melihatnya." Huddwake menggelengkan kepala lemah.

"Percuma." Aku berkata dengan nada dingin, "Apapun yang kau katakan, aku tak akan mendengarnya, jadi pergilah."

Huddwake tersenyum kecut.

Aku hanya menghela napas, kemudian berjalan meninggalkan Huddwake. Walaupun aku merasa agak sakit, aku tahu bahwa aku telah menyelamatkan diriku sendiri kali ini.

Ya. Aku telah menyelamatkan diriku dari jebakan Huddwake.

***

"Serina! Awas!"

Soo Hyun berteriak, menyadarkanku dari lamunan. Buru-buru ia menarik tanganku dari sebongkah batu besar di taman yang sedang kutembus. Ia berkacak pinggang sambil mendelik padaku.

"Kau pikir apa yang akan terjadi jika aku tidak menarik lenganmu?" Suara Soo Hyun melengking menusuk telingaku. "Kau hampir kehilangan kontrol kekuatanmu di tengah-tengah. Batu itu akan menjepit tanganmu dan…"

Soo Hyun memperagakan tangan yang patah.

Aku meringis. "Maaf..."

Ia menghela nafas, kemudian duduk di sampingku.

"Kau tidak konsentrasi hari ini. Apa ada sesuatu?" Ia menatapku dengan mata bundarnya.

Aku menelan ludah. Kejadian tadi benar-benar tidak ingin kuingat, tetapi anehnya itu malah terus menguasai pikiranku. Benar kata Jake, ketika kau ingin melupakan sesuatu, kau malah harus mengingatnya terlebih dahulu. Saat mengingat kata-kata Huddwake dan ekspresinya tadi rasanya sangat menyiksaku.

Sialan.

Perasaanku seperti diaduk-aduk. Aku mual. Bagaimana bisa perasaan bingung menyergapku lagi? Padahal Sergei sudah memberitahuku semuanya. Bagaimana secuil adegan dengan Huddwake tadi membuatku terombang-ambing lagi seperti ini? Aku sudah jelas tahu dialah penjahatnya. Apa lagi yang harus mengacaukan hatiku?

"Halo, Soo Hyun."

"Oh, Sergei."

Aku mengangkat wajah. Sergei menghampiri kami dari salah satu sudut taman.

"Latihannya belum selesai?"

"Aku tak tahu. Serina tidak bisa konsentrasi hari ini." Soo Hyun menepuk pundakku. "Ia hampir meremukkan tangannya di dalam batu itu."

Sergei mengernyit, berekspresi seperti orang yang kesakitan. Mata birunya menatapku. "Bisa kau beri kami waktu, Soo Hyun?"

Soo Hyun tersenyum kemudian beranjak dari duduknya. "Kurasa kita sudahi saja latihan hari ini, Serina." Ia mengedipkan mata padaku. "Aku akan menemui Kyu Jin di ruang organisasi. Sampai jumpa besok."

Aku melambaikan tangan pada Soo Hyun. Sergei duduk di sebelahku.

"Kau bertemu dengan Huddwake?"

Aku terkesiap. Sergei tahu.

"Yeah," jawabku lirih.

"Bisa aku melihatmu?"

Aku mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"

"Matamu."

"Oh." Aku hanya menatap Sergei, tanpa mengerti apa yang ia mau. Aku menatapnya canggung.

Sergei menghela napas. "Ia sedikit mengendalikanmu tadi."

"Apa?" aku terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu hanya dengan melihat mataku?"

"Aku hanya merasakan ada sisa energi Huddwake yang masuk melalui matamu." Sergei menyentuh wajahku. "Aku akan membersihkannya."

"Bagaimana bisa?" aku tidak mengerti. Namun, tiba-tiba beban dalam diriku seperti berkurang. Aku mengernyit heran. "Apa itu diajarkan di pelajaran Pemeliharaan Kekuatan Khusus?" Aku masih penasaran.

Sergei tersenyum. "Aku menghadapi seorang telepath sebagai musuhku, Serina. Aku tidak bisa hanya mengandalkan pelajaran di kelas."

Aku menggigit bibirku, malu. Aku bukan orang yang segigih Sergei.

"Terima kasih."

"Untuk?"

"Membantuku." Aku melotot padanya.

"Itu janjiku. Kau tak ingat?" Sergei tertawa.

Aku melengos. "Oke." Kurapikan tas dan buku-bukuku. "Mau ke Roxy Café?"

Sergei mengangkat alisnya. "Untuk?"

"Makan malam tentu." Aku mengangkat bahu.

Ia tertawa. "Ini baru jam lima sore."

"Aku lapar dan tanganku hampir terjepit batu tadi." Kuseret Sergei pergi dari taman. Ia hanya tertawa memperlihatkan gigi-giginya yang rapi.

"Oke."

***

Pukul sebelas malam.

Aku merebahkan tubuh ke kasurku yang empuk, masih mengenakan jubah mandi. Rasanya enak sekali mandi setelah seharian beraktivitas. Aku baru pulang dari Roxy Café setelah makan malam dua ronde sambil menonton Sergei menyanyi. Aku tersenyum tidak percaya mengingat tadi Sergei mendedikasikan sebuah lagu untukku—membuat seisi Roxy Café menatap ke arahku. Awalnya aku merasa seperti ingin hancur saja, tapi Sergei meyakinkan bahwa kami akan baik-baik saja karena kami tidak melakukan kesalahan apa pun.

"Tugas Matematimu sudah selesai, Serina?" Dara meraung dari ruang tamu. "Oh, ini benar-benar membuatku muak."

"Belum," sahutku pendek.

"Tinggal satu jam lagi sebelum jam malam, Sayang."

Aku menghela napas berat, kemudian bangkit meraih buku-bukuku dan menyusul Dara di ruang tamu. Dara geleng-geleng kepala melihatku hanya mengenakan jubah mandi.

"Gunakan ini untuk rumus dasarnya. Ini contoh soal yang hampir persis dengan itu, hanya perlu menambah variabel," jelasku sambil memperlihatkan buku yang kupinjam di perpustakaan pada Dara.

Dara membacanya sejenak, kemudian ekspresinya yang suram berubah cerah.

"Oh, kau sungguh genius." Dara mulai mencoret-coret bukunya.

"Aku juga berharap begitu." Aku mengangkat bahu, kemudian mulai menulis tugas. Menit-menit pertama aku bisa berkonsentrasi, sebelum tiba-tiba aku merasa kepalaku agak berat. Terkadang ada rasa sakit yang menusuk muncul di mataku. Kupijat-pijat sendiri keningku sambil terus mengerjakan soal Matematika—berusaha mengabaikan rasa sakit.

Apa yang telah ia lakukan padamu, Serina?

Aku terkesiap. Tiba-tiba bayangan Huddwake muncul di kepalaku.

Kau tidak seharusnya melihatnya.

Apa yang Huddwake maksud? Melihatnya berciuman dengan Martinez? Aku mengumpat dalam hati.

Ia mengendalikanmu.

Ia mengendalikanmu.

Aku tersentak. Kata-kata Sergei membawaku kembali kepada kesadaranku. Aku mendesah, apa pengaruh Huddwake masih tersisa walaupun Sergei sudah membersihkan sisa energi Huddwake tadi? Aku memikirkannya karena merasakan sakit di mataku. Sumpah, rasanya cukup menyiksaku.

ตอนถัดไป