webnovel

Teror Ivana 3

Renee berjalan di samping Dylan sambil memegang pedang pendek dengan erat, matanya tidak berhenti bergulir kesana kemari melihat ke sekitar.

Dalam hitungan hari, Mansion keluarga Emmanuel telah menjadi bangunan terbengkalai, beberapa kaca jendela pecah, dinding yang retak dan runtuh, pepohonan tumbang diikuti dengan air kolam yang bocor serta airnya melimpah ruah kemana-mana, membuat suasana menjadi semakin suram.

"Jangan terkejut," kata Dylan sambil terkekeh, ia mengangkat kakinya menendang batang kayu yang melintang menghalangi jalan. "Hal seperti ini memang biasa terjadi di sini, bahkan kalau kau menemukan rumahmu menjadi abu, tidak akan ada yang peduli."

Renee tidak segera menjawabnya, meskipun Dylan terkesan bercanda, tapi ia paham dengan penderitaan yang mereka rasakan.

Mereka berdua keluar dari Mansion dan Renee harus mengedipkam matanya berkali-kali.

Persis seperti apa yang dikatakan oleh Dylan, situasi kota ini kembali seperti semula, meski ada beberapa bangunan yang hancur atau jalan yang rusak, semuanya terlihat baik-baik saja.

Lebih tepatnya, mereka berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

"Kalau seperti ini, bukankah mereka tidak akan menyerang kita?" tanya Renee ketika Dylan membawa dirinya menuju kedai roti, aroma manis bercampur keju menguar di udara, tumpukan roti yang baru saja mengembang menghampar di atas meja dan ramai pembeli.

"Jangan tertipu," sahut Dylan sambil tersenyum, ia menujuk beberapa roti pada seorang pelayan wanita yang mendekat, lalu menyerahkan beberapa koin uang. "Saat satu orang saja berubah, maka yang lain akan berubah. Di saat itu kau tidak akan bisa memilih mana yang akan kau tebas atau kau hindari."

"Oh, oke."

Renee mengangguk, lalu ia mengikuti Dylan lagi dari satu tempat ke tempat yang lainnya hingga sampai ke perbatasan, para prajurit kerajaan di sana masih sama dengan apa yang Renee lihat saat ia ingin kabur.

"Sesuatu terjadi?" tanya Dylan sambil melihat tumpukan sekop yang berlumuran lumpur.

"Ya, Tuan." Prajurit yang baru saja mencuci tanganya itu menyahut. "Beberapa warga ditemukan tewas tadi malam, kali ini lebih banyak daripada malam sebelumnya."

"Hah," dengkus Dylan sambil mengambil catatan yang diserahkan sang prajurit, mata abu-abunya itu terlihat sedih. "Sampaikan permintaan maafku pada keluarganya, lakukan seperti biasa."

"Baik, tuan."

Dylan tidak mengajak Renee bicara, catatan yang diserahkan oleh prajurit tadi ia kembalikan dan suasana hatinya menjadi lebih buruk.

Mereka terus berjalan melintasi pusat kota Dorthive yang mulai ramai, semakin ramai suasana, semakin Renee merasa tercekik.

Ia tidak tahu apakah ini hanya perasaannya saja atau tidak, tapi ia bisa merasakan kalau ada beberapa pasang mata tersembunyi yang menatap.

Hingga mereka sampai di dekat alun-alun, tangan Renee ditangkap oleh seseorang.

Renee langsung berbalik, mengangkat pedang pendek yang ia pegang sedari tadi, Dylan langsung menarik Renee mundur.

"Maaf!"

Orang yang memegang tangan Renee langsung mengangkat tangannya, ia adalah seorang gadis remaja dengan rambut pirang yang dikepang, pipinya merona dan bibirnya tipis. "Halo ... kakak, bisa bantu aku?"

"Siapa kau?"

Dylan melepas Rene dan ia melihat ke sekitar, orang-orang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. "Apakah orang tuamu tidak mengajarimu untuk tidak berbicara dengan orang asing?"

Gadis itu memiringkan kepalanya, jarinya yang lentik mengetuk bibirnya. "Aku pikir kakak ini terlihat baik."

Dylan langsung mengangkat pedang dan meletakkan di bahu gadis itu, Renee terkejut dan untuk sesaat ia bingung harus beraksi seperti apa.

"Oh, kau sudah lebih pintar ya?" Gadis itu tersenyum manis, tiba-tiba saja tangannya merebut pedang yang ada di bahunya.

SRATS!

Jari-jari gadis itu terpotong pedang, sebelum semua orang menyadari ada sesuatu yang salah di antara mereka, Dylan langsung mendorong gadis itu untuk pergi ke tempat yang terpencil.

"Lepas!" Gadis itu berteriak, tetesan darah jatuh di sepanjang jalan Dylan yang menyeretnya hingga ke belakang sebuah gedung tua, ia membanting gadis itu ke tanah.

"Dylan, bukankah kau … terlalu kasar."

Renee takut kalau gadis ini terluka, tapi ia tahu kalau semua orang di kota ini adalah monster.

"Tidak, aku terlalu lembut malah." Dylan mendengkus, ia menarik tangan yang berlumuran darah itu dan siap menggerakkan pedangnya.

"Badebah! Kau seharusnya mati!" Gadis itu tiba-tiba berteriak dengan suara yang berbeda, ia meludah ke wajah Dylan.

Wajah gadis itu dengan cepat berubah menghitam, jari-jarinya yang terputus memanjang membentuk kuku yang runcing.

Di saat itulah Renee sadar, rasa kasihan tidak lagi berlaku lagi. Jika mereka mengalah, mereka sendiri yang akan berakhir.

"Jangan diam saja! Kalau yang lain mendengar, mereka juga akan berubah dan menyerang kita!" Dylan meringis saat lengannya dicakar kuku yang runcing, Renee langsung memutar pedang untuk menyerang.

Penampilan gadis itu sepenuhnya telah berubah, tubuhnya yang cantik dan mungil itu memanjang dan membesar, kuku-kukunya yang runcing tidak berhenti bergerak.

Renee menahan napas, pedangnya terlalu pendek dan terkesan tidak terlalu berguna jika dibandingkan dengan pedang Dylan yang berusaha menebas ke arah sang monster.

"Khek!" Monster itu mengerang saat pedang pendek milik Renee mengenai punggungnya, ia langsung melompat dan menjatuhkan dirinya, menimpa Renee.

"Hei!" Dylan ingin mendekat, tapi monster itu dengan cepat melemparkan sebongkah batu ke arahnya.

BRUK!

Dylan menghindar, pedang di tangannya terlempar beberapa langkah darinya.

Renee menahan kuku yang panjang itu menggores tubuhnya, giginya gemerutuk penuh kemarahan.

Renee tahu kalau ia keluar dari Mansion, ia akan berhadapan dengan monster-monster menjijikkan seperti ini.

Dylan meraih pedangnya, begitu ia mendongak, ia melihat titik-titik cahaya jingga di sekitar tubuh Renee, ia langsung tertegun.

Sepertinya ia harus membiarkan Renee berjuang sendirian sampai cahaya jingga itu membesar.

"Dylan di belakangmu!" Renee berteriak, titik-titik cahaya jingga membesar di sekitar Renee, monster yang menindih Renee itu mengerang.

Dylan berguling, rupanya pertarungan mereka telah didengar oleh orang-orang sekitar, cepat atau lambat, jiwa-jiwa yang penasaran akan mendekat dan mulai menyerang mereka tanpa bisa dikendalikan.

Renee memutar pedangnya dan monster yang menindihnya itu mengerang lagi.

Seiring dengan cahaya jingga yang semakin berpendar, sang monster mengerang lebih nyaring, gerakan tangannya mulai mengendur, Renee langsung menyingkirkan monster itu dari tubuhnya.

"Maaf."

Renee menusuk pedangnya ke leher monster itu dan mencabut dengan cepat, sang monster jatuh ke tanah dengan tubuh yang tersentak.

Renee menggosok tangannya yang licin, lalu melihat ke sekitar.

"Renee," panggil Dylan dengan napas terengah-engah, pedangnya berlumuran darah dan monster yang menyerangnya tadi telah terpisah menjadi dua. "Tampaknya latihan pertamamu akan menjadi lebih berat, Ivana benar-benar tahu apa yang kita lakukan."

Dari segala sudut bangunan tua, warga kota Dorthive mulai bermunculan, awalnya mereka hanya terlihat penasaran, tapi lambat laun raut wajah mereka berubah seiring dengan perubahan di tubuh mereka.

Renee menelan ludah, mereka telah dikepung para monster.

ตอนถัดไป