Ting.
Pintu lift terbuka.
Maximilian diikuti Martin masuk ke dalam lift. Keduanya baru saja menghadiri meeting penting di lantai enam. Agenda meeting hari ini adalah bertemu dengan para petinggi The Alexander's Hotel untuk kepentingan acara pameran parfum dari seluruh dunia, yang diadakan setiap dua tahun sekali, yang kali ini akan diadakan di hotel ini.
"Agenda selanjutnya di aula lantai satu. Acara pemilihan gadis untuk milyader," kata Martin, asisten pribadi Maximilian Alexander.
Maximilian yang sering dipanggil Max, berdecak tidak suka sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Tidak bisakah kamu saja yang mewakiliku? Aku malas menghadiri acara yang pastinya banyak wanita suka mencari perhatianku. Pokoknya pemenangnya harus Marigold Flora. Ingat itu!"
"Tentu saja," jawab Martin sambil memutar bola matanya dengan sebal saat mendengar kata 'pokoknya' dari mulut atasannya.
Ting.
Lift telah tiba di lantai satu. Pintu lift terbuka. Namun belum melangkah keluar dari lift, tiba-tiba di depan mereka, ada seorang gadis yang melompat dengan menumpukan punggungnya pada punggung laki-laki yang kebetulan sedang berjongkok di depan lift, dengan ketepatan yang akurat.
"Astaga," seru Maximilian dan Martin bersamaan. Lalu keduanya saling melirik ketika mengenali siapa gadis yang melakukan akrobat di depan mata mereka itu.
"Pilihan gadismu memang luar biasa, Tuan Max," sindir Martin sambil melangkah keluar dari dalam lift, untuk membantu laki-laki yang terjatuh karena terkejut.
Kemudian terdengar suara teriakan gadis itu. "Maafkan aku, pak. Aku sedang terburu-buru."
Max memandang punggung gadis itu dengan tersenyum. Hanya dengan kedatangannya yang heboh, pasti dapat membawa keceriaan di hati Max. Kemudian Max melangkah mengikuti gadis ajaib itu menuju aula, tempat diadakan acara pemilihan gadis. Lupa pada keputusannya yang malas untuk datang ke acara banyak wanitanya.
"Kemana dia?" gumam Max sambil berjinjit dan memindai area sekitar aula.
"Oh Tuan Max sudah datang," sapa seorang staf yang memang sengaja menunggu kedatangannya. "Silakan duduk di depan panggung. Ibu anda sudah berada di sana."
"Mamaku?" ulang Max sambil berdecak.
"Benar. Nyonya Alexander sudah lebih dulu tiba. Mari, silakan Tuan Max," kata staf itu sambil mengantarkan Maximilian ke tempat yang sudah disediakan.
"Martin, cepat sekali kamu muncul," kata Max yang mengangkat alisnya, mendapati asisten pribadinya yang kini berdiri menyambutnya. "Bukannya kamu tadi masih diluar sana? Ilmu mu makin lama makin tinggi saja."
"Saya adalah asisten teladan. Jadi dimana anda membutuhkan, saya selalu hadir untuk anda," jawab Martin datar. "Lagipula anda juga yang menyuruh saya untuk menggantikan anda yang malas untuk hadir di acara ini."
"Ck, berapa kali aku harus mengatakan padamu, Martin... bahasamu itu sangat menjengkelkan, tahu tidak?! Jika hanya kita berdua saja, jangan menggunakan bahasa formal. Lama-lama aku bisa merinding di dekatmu."
"Pekerjaan dan hubungan personal harus dipisahkan secara tegas, Tuan Max."
"Sudahlah, terserah apa katamu saja," gerutu Max sambil membanting pantatnya di sofa di sebelah Nyonya Alexander, mamanya yang sedang serius berbicara dengan manajer acara ini.
"Tuan Max," panggil Martin dengan suara berbisik.
"Ada apa?" sahutnya sewot dengan mata terus menjelajah setiap sudut untuk mencari sosok gadis yang luar biasa tadi.
"Buka ponsel sekarang. Saya mengirimkan sesuatu."
Max melirik asistennya yang duduk di sebelahnya dengan tegak. Kemudian Max merogoh saku jasnya untuk mengambil ponsel. Sebuah pesan masuk ada di sana. Max membukanya dan membelakkan mata.
Pesan yang dibuka Max adalah sebuah pesan foto. Yaitu foto dari gadis yang diinginkan Max untuk keluar sebagai pemenang acara gadis perawan. Gadis itu sedang tertidur lelap dengan posisi duduk di jok mobil belakang Roll-Royce miliknya. Max menoleh cepat ke arah Martin yang mengedikkan dagu ke arah ponselnya sambil mengatakan 'baca' tanpa suara.
Mata Max kembali menatap ponselnya. Ada sebuah pesan dibawah foto itu.
"Dari Pak Umar. Siang ini, saya menemukan Nona Marigold sedang berlari di trotoar. Kemudian dengan sedikit memaksa, saya mengantarkannya ke The Alexander's Hotel, karena nona terus menolak untuk saya antarkan. Dari pengamatan saya, hari ini Nona Marigold terlihat kurang sehat. Dan selama perjalanan menuju The Alexander's Hotel, Nona Marigold tertidur lelap. Saya memberanikan diri untuk mengambil foto, lalu mengirimkannya sebagai laporan kepada Tuan Max. Maafkan saya, jika saya telah lancang memberikan tumpangan, karena saya tidak tega melihatnya kepayahan di jalan. Sekian."
"Apa lagi ini?" ucap bingung Max tanpa suara pada Martin yang mengangkat bahu sebagai jawaban. Rupanya ada kejadian seperti ini.
Max membaca pesan singkat dari Pak Umar, sopir pribadinya, sekali lagi dengan lebih teliti. Sejurus kemudian seulas senyum kembali muncul di bibirnya, saat matanya tidak bisa berhenti memandang raut wajah Marigold yang tertidur pulas di jok belakang mobil Rolls-Royce miliknya.
"Apakah dia baik-baik saja sekarang? Wajahnya memang terlihat kuyu," kata batinnya cemas. Kemudian Max mencondongkan tubuhnya, mendekati Martin yang duduk di sebelahnya.
"Tolong cek keadaan gadis itu untukku," bisiknya pada Martin.
"Baik. Permisi, Tuan Max."
"Martin mau pergi kemana?" tanya Nyonya Alexander yang duduk di sebelah Max, tiba-tiba.
"Toilet. Martin sedang sakit perut," jawab Max datar sambil memperbaiki posisi duduknya. "Awal sekali mama datang kemari. Apa meeting dengan pemegang saham sudah selesai?"
"Rapatnya ditunda minggu depan. Mama juga baru saja datang, beberapa menit sebelum kamu datang."
"Oh."
"Max, apa pilihan yang sudah kamu putuskan itu, tidak bisa diganti? Lihatlah, selain dia, masih ada banyak gadis yang cantik dan anggun bahkan memiliki kecerdasan yang bisa mengimbangimu," desak resah Nyonya Alexander sambil menyatukan kesepuluh jarinya diatas tas tangannya.
Maximilian menggeleng. "Aku sudah bosan dengan gadis yang sempurna."
"Bosan?!" seru Nyonya Alexander terkejut. "Lalu apa untungnya buatmu memiliki gadis yang tidak sempurna, Max? Untuk bersenang-senang dengan mempermainkan gadis itu?" desaknya lebih dalam. "Meski mama tidak setuju dengan pilihanmu, tetapi mama juga tidak suka dengan ide bahwa kamu memilih seorang gadis hanya untuk memuaskan ego mu saja. Gadis itu juga memiliki perasaan."
"Bukannya mama selalu mengatakan bahwa seorang wanita dalam hidupku hanya sebagai pelengkap saja. Kenapa sekarang mama harus mengkhawatirkan gadis yang akan kupilih?"
"Ck, dasar keras kepala," desis Nyonya Alexander. "Dengar ya Max. Pemilihan gadis ini juga menyangkut reputasimu, Max. Seorang milyader tampan dan terkenal, akan memilih seorang gadis biasa yang bahkan tidak memiliki kemampuan apapun selain berkelahi? Mau diletakkan dimana harga dirimu, harga diri keluarga Alexander kita, Max?!"
Max mengangkat bahu. "Bagaimana jika ternyata gadis itu adalah berlian yang masih murni, yang belum digosok dan diasah, sehingga belum memunculkan keindahannya yang sesungguhnya?"
Nyonya Alexander menghela nafas, frustasi. Kemudian mama Max menyodorkan berkas yang berisi foto-foto gadis para finalis, ke tangan putranya.
"Ini.. lihatlah gadis ini," tunjuknya pada sebuah foto gadis. "Dia bernama Alana Jasmine. Seorang gadis yang cantik, anggun, dan berkelas. Dia bisa menjadi calon pilihanmu, Max."
Max memandang datar pada foto gadis bernama Alana Jasmine. Memang benar apa kata mamanya. Alana adalah gadis yang cantik mempesona. Namun, hati Max sama sekali tidak bergetar melihatnya.
"Lalu..," lanjut Nyonya Alexander sambil memberikan sebuah foto gadis yang lain. "Coba bandingkan dengan foto gadis karate ini, bagaikan bumi dan langit, Max. Pikirkan sekali lagi, sayang."
"Maafkan aku, ma. Keputusanku sudah bulat. Marigold Flora adalah pilihanku."
Bersambung...