webnovel

Desa Salak

Kringgg!

Suara jam walker berdering, Dino bangun tidur dan duduk sambil mengucek mata. Antara sadar dan tidak dia melihat Narsih di sudut atas lemari sedang menggerakkan kakinya sehingga lemari tadi berbunyi karena hentakkan kaki Winarsih.

Gubarkk! Gubrakk!

Ian dan Paijo yang kaget mendengar suara hentakkan langsung terduduk dengan nyawa yang masih perlahan turun ke dalam raganya.

"Ada apa? Kenapa suara lemari itu berbunyi sangat kencang? Apa gempa?" tanya Ian sambil mengusap salivanya di sudut bibirnya.

"Mbak lo tuh, pagi-pagi buta sudah buat aku terkejut," kata Dino.

Paijo melihat kearah jam walker dan memicingkan matanya. Paijo sukses kaget karena jam di walker baru jam 2 malam. itu artinya mereka baru tidur satu jam itu pun lima menit lagi jam 2.

"Dasar hantu sialan, kupret. Baru satu jam aku tidur dia sudah buat aku bangun lagi karena ulahnya," umpat Paijo.

Winasih membaretkan dinding dengan benda yang dia bawa apa lagi golok berdarah. Ian merebahkan kembali tubuhnya. dia lemas karena baru tidur sebentar.

"Aku benar-benar ngantuk. Sumpah demi nenek buyutku yang waktu mudanya cantik kali. Dino, kau kondisikan mbakmu itu. Aku nanti bisa darah rendah hadapi dia," kata Ian sekenaknya.

Dino juga sudah tak tahu harus apa lagi. dia merasakan ngantuk juga. Dia pikir sudah pagi, tapi malah lebih parah, matanya baru terkatup dan sudah bangun lagi.

"Mbak, tolong kami. Jika mbak punya dendam sama mereka, jangan libatkan kami dulu. Kami akan bantu, tapi mbak bantu juga kami bisa? Jangan ganggu kami tidur. Besok kami kan ke desa mbak kan. Jadi tolong sekali ya, Jangan buat kami ngantuk nantinya. Sampai sini paham kan?" Dino langsung tumbang dan tidur.

Ketiganya tak peduli lagi karena mata mereka sudah merekat seperti lem biru. Winarsih masih betah di tempat itu, dia memandang kearah ketiganya. Dengan senyum tipisnya dia langsung pergi dari kost mereka.

***

Pagi ini ketiganya bangun dengan wajah sedikit agak beda. Segar jawabnya tidak, karena Winarsih terus membuat dinding mereka bergaris dan hampir tembus keluar.

"Entah dendam apa sampai Winarsih membuat dinding kita kayak gitu," ucap Ian pada kedua sahabatnya.

Ian bisa mengintip dari lobang yang dibuat sama Winarsih. Ian geleng kepala karena kelakuan si hantu itu.

"Sudah ayo kita bersiap. Apa kalian tidak ada kerjaan dari bos?" tanya Dino.

"Tidak, kami tidak ada kerjaan. Lagian kasus ini akan jadi kasus yang akan membuat nama kita terkenal. Entar kita kasih judul Dendam Winarsih. Bagaimana apa kalian setuju dengan yang aku katakan?" tanya Ian.

"Terserah kalian saja, Ayo cepat, nanti bukan hanya dinding yang akan di bolongkan dia tapi kepala kalian yang akan di bolongkan, sumpal pakai lakban atau kain saja," kata Dino

Ketiganya akhirnya bersiap untuk ke Desa Salak. Selesai mandi dan bersiap, mereka langsung menjemput Nona.

"Kita sarapannya di warung bubur ayam saja. Sekalian ajak Nona juga. Kasihan anak itu, dia pasti kelaparan," kata Dino.

Keduanya tertawa geli karena Dino mengatakan hal itu. Ketiganya sudah tiba di kost Nona. Nona yang sudah menunggu langsung masuk ke dalam mobil.

Klekk!

"Kalian lama sekali, tahu tidak kalau aku sudah nunggu kalian sewindu," kata Nona sambil memonyongkan mulutnya.

Dino yang masuk kembali ke dalam mobil hanya bisa menghela nafas panjang. Nona kalau udah ngomel buat dirinya pusing.

"Bisa kita jalan? Jika bisa ayo kita berangkat, aku sudah lapar," ucap Dino.

Keempatnya langsung melaju menuju tempat tujuan, tapi sebelum itu mereka singgah ke salah satu warung bubur ayam. Ke empatnya makan dengan lahap. Mereka melihat ada beberapa anak buah berjaga. Tak lama, seorang datang dari dalam mobil mewah.

"Tuan Bram, silahkan duduk di sini," ucap penjual bubur ayam.

Nona yang mendengar nama itu mulai mengepalkan tangannya, entahlah perubahan itu terlihat dari wajah Nona. Apa lagi melihat tato ular melingkar.

"Non, kamu kenapa?" tanya Dino.

Nona menatap wajah lelaki yang di panggil Bram itu. Dia tak tahu kenapa saat mendengar nama lelaki itu dia langsung marah dan ingin membunuh lelaki itu.

Dino mendekati Ian dan berbisik pelan. "Aku rasa dia kerasukkan Narsih, lihat saja dia langsung beraksi. Yang aku bingungkan kenapa dia seperti itu saat penjual itu memanggil Bapak itu?" tanya Dino sembari berbisik kecil.

"Entah, mungkin Nona dulu suka sama Bapak itu, tapi karena Nona barbar, jadi lihat lah dia ditolak sama Bapak itu," ucap Ian lagi.

Ya, Bram orang yang sama 30 tahun lalu masuk ke dalam warung bubur ayam itu. Dia duduk di kursi yang benar-benar di peruntukkan untuk dia.

"Non, ayo di makan. Jangan buat dirimu kelaparan, nanti yang ada kau akan bahaya bisa pingsan karena kelaparan," kata Dino lagi.

Nona makan dengan pelan dan anggun. Nona sedikit berbeda dan tentunya kalem. Ian, Dino dan Paijo saling menatap kearah Nona. Selesai makan, mereka langsung pergi meninggalkan warung. Nona mulai bertingkah aneh dengan tersenyum kecil ke arah Bram.

Bram yang melihat Nona mirip seseorang hanya memasang wajah datar. Dia masih mencari siapa orang yang mirip sama wanita tadi.

"Pak, silahkan," jawab si Bapak yang menjual bubur ayam itu.

Bram menganggukkan kepalanya dan langsung menyantap makanan dengan lahap. Di mobil mereka masih belum dapat untuk membuka suara sama sekali. Ketiga lelaki itu melihat perubahan Nona yang tadi sama sekarang.

"Masih lama kita ke sana?" tanya Nona.

"Sekitar enam jam lah. Kenapa? Sudah lelah kau ya?" tanya Ian.

Nona mengganggukkan kepalanya pada Dino. Dia tak tahu kenapa lelah sekali. "Aku akhir-akhir ini sedikit lelah, dan amarahku juga makin meningkat. Entah kenapa bisa seperti itu," ucap Nona.

"Makanya, fokus jangan buat diri kamu itu lelah dan konsentrasi hilang. Ingat, fokus dan jangan buat kamu berpikiran negatif akan sesuatu terlebih melamun," kata Ian.

Nona menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Mereka berempat larut dalam keheningan. Tak terasa mereka sampai juga di Desa Salak yang sangat asri dan banyak pohon-pohon yang berjejer di sepanjang jalan.

"Desanya sangat asri ya, lihatlah masih banyak pohon-pohon yang masih hijau, udaranya juga masih sejuk dan tak berpolusi," ucap Paijo.

"Tapi, di koran ini. Kejadian pembunuhan itu tidak bisa terungkap. Apa mungkin, karena jaraknya jauh dan terbatasnya aset ke sini?" tanya Ian.

Mereka masih mencari cara untuk menyambungkan teka teki kasus kematian manten yang meninggal di malam pengantin bersama dengan pasangannya.

"Kita nginap mana ini?" tanya Nona.

"Cari saja. Siapa tahu ada vila yang bisa kita sewa," kata Paijo.

Ketiganya tertawa mendengar apa yang di katakan Paijo. "Vila dalam mimpi. Dah lah, kita cari penginapan dulu. Yang pasti, dekat dengan penduduk, biar tahu kita apa masalah sebenarnya," jawab Dino.

Hay sahabat Hyung, udah simpan di rak kalian, dan komentar juga dengan bintang-bintang kalian belum? Jika belum yuk lah merapat kita ya Mauliate Godang bagi yang sudah baca, maaf jika ada salah kata dan apapun itu karena Hyung hanya manusia biasa, sekali lagi Mauliate Godang.

Next chapter