webnovel

Bab 13. Pewarisan Jurus Tapak Dewa

Pelan namun pasti, air lubukan yang direnangi oleh La Mudu bergerak bergerak berolak. Olakan air itu semakin lama semakin kencang. Tubuh La Mudu pun ikut berputar cepat seperti benda kambang yang nyaris membentuk bayangan bulat hitam. Dato Hongli hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat kepala murid kesayangannya timbul tenggelam dalam pusingan air dan berjuang sekuat tenaga untuk membebaskan diri.

"Hentikan air ini, Ato..!" teriak La Mudu, membahana. Karena teriakan itu dalam keadaan berputar, maka menimbulkan kesan suara yang lucu namun menyayat hati.

Dato Hongli tidak ambil peduli. Dia melangkah ke sudut ruangan, membuka sebuah buntalan kain, mengambil jubah pengganti.

"Kamu begitu saja dulu, biar seluruh daki di tubuhnya rontok semua. Keh keh keh keh..." ejeknya santai sembari mengenakan jubah penggantinya.

Dengan santai pula Dato Hongli duduk bersila di atas sebuah permukaan batu alam yang menyerupai meja di depan dinding ruangan, tempat di mana ia biasa berkhalwat. Sebuah cangklong candu yang terletak di samping pelita ambil yang dipasang di dinding cadas diambilnya, dipanaskan, lalu disedotnya dan diembusnya dengan lembut.

"Ato, sudah Ato. Pandanganku berpusing juga, nih..!" teriak La Mudu tiada henti-hentinya.

"Haiya, dasar anak manja!" suara Dato Hongli pelan, namun tetap terdengar membahana dalam ruangan batu itu. Tetapi anehnya mulut orang tua itu tidak bergerak sama sekali yang menandakannya lagi berbicara. "Kenapa kau tidak menggunakan ilmu Dewa Bumi Meredam Badai atau sejenisnya, Mudu?"

Mendengar itu, La Mudu seakan-akan tersadar dengan kebodohannya. Suara teriakannya lenyap, berubah hening. Sesaat ia memusatkan pikirannya sembari melakukan gerakan-gerakan tangan melingkar. Kekuatan jurus Dewa Bumi Meredam Badai ia kerahkan. Dan air yang berpusing kencang itu laksana dikuasai oleh kekuatan yang sangat besar, terhenti mendadak, dan menyisakan sebuah permukaan danau kecil yang amat tenang. La Mudu mengakhiri perjuangannya, lalu menyadarkan tubuhnya di pinggir cerukan sambil mengatur kembali pernafasannya.

"Oh ya Ato, kayaknya masih sangat banyak ilmu yang belum Ato turunkan ke aku."

Dato Hongli terkekeh-kekeh mendengar ucapan La Mudu. "Dasar anak manusia, selalu saja ingin memenuhi kepuasan kehendak. Tentu saja kelak kau akan mewarisi seluruh ilmuku, Anak Nakal. Haiya..!"

Dan kelak itu pun kini hadir. Usia La Mudu sudah menginjak dua puluh dua tahun. Ia telah tumbuh sebagai seorang pemuda yang tampan dan berpostur tubuh tinggi kekar. Tingkat ketinggian ilmu olah kependekaran dan kedigdayaannya sudah sangat sulit diukur lagi. Dato Hongli begitu puas atas pencapaiannya telah mengasuh dan mendidik sang pewarisnya dengan sangat baik. Keduanya baru saja menyelesaikan suatu tarung latih yang begitu lama dan dahsyat. Bagian rimba bekas keduanya bertarung latih tampak porak-poranda di mana-mana. Ada pepohonan yang tumbang maupun onggokan bebatuan raksasa yang tampak hancur berkeping-keping dan rata dengan tanah. Asap dari bekas-bekas kayu pohon yang terbakar akibat terkena jurus Tapak Api dari La Mudu masih mengepul di mana-mana.

"Mudu..," ucap Dato Hongli. Ia duduk bersila di atas lantai di depan tempat yang biasanya dia berkhalwat.

"Iya, Ato..!"

"Sekarang kautelah menjadi seorang pendekar sejati. Ilmu-ilmu yang Ato turunkan telah mampu engkau serap dengan sangat baik. Tinggal satu ilmu pamungkas yang akan aku turunkan kepadamu, yaitu ilmu Jurus Tapak Seribu Dewa.”

“Baik, Ato. Aku siap untuk menerimanya...!”

“Tapi ingat, Anakku, jurus Tapak Dewa adalah sebuah jurus pamungkas yang tak boleh kaugunakan sembarangan ketika kemarahanmu tak mampu kaukendalikan. Sebab jurus ini memiliki dampak kehancuran yang besar. Jadi, Jurus Tapak Dewa hanya benar-benar pantas untuk digunakan dalam suatu pertempuran yang besar. Jika Jutus Tapak Dewa ini kaugabungkan dengan Jurus Tapak Api yang kaumiliki secara alami itu, maka Ato sulit membayangkan akibat yang ditimbukannya.”

“Aku akan selalu ingat dengan yang Ato nasihatkan kepadaku,” sahut La Mudu dengan wajah menunduk.

“Sebenarnya, dalam dirimu ada kekuatan titisan yang tak siapa pun memilikinya, yaitu kekuatan selain mahadaya api. Tapi karena Ato rasa dengan kedua jurus pamungkas itu, cukuplah dulu untukmu. Energi titisan yang ada dalam tubuhmu mampu melindungi tubuhmu dari segala marabahaya senjata apa pun. Terkadang mahadaya titisan itu akan muncul dengan sendirinya disaat amarahmu muncul. Ato berharap agar kauharus mampu mengendalikan amarahmu dan tidak zolim dalam bertindak. Pergunakan ilmu yang kaumiliki untuk membela kebenaran dan membasmi kemaksiatan dan kelaliman.”

“Baiklah, Ato...!”

“ Sesungguhnya tak ada ilmu yang hitam, yang ada hanyalah perilaku pemegang ilmulah yang hitam dan jahat. Kau adalah murid dari seorang pendekar agung dari suatu kemaharajaan yang agung pula. Maka kauharus benar-benar menjadi seorang pendekar yang agung berikut ahlakmu. Hindari sikap jumawa. Kejumawaan adalah hulunya kehancuran. Pergunakan ilmu menurut tingkat dan ukuran keperluannya. Ilmu pamungkas Tapak Dewa dan Tapak Api adalah dua kekuatan yang amat dahsyat dan hanya cocok dipergunakan ketika kausedang menghadapi kekuatan musuh yang besar pula. Ingat, hanya Ato yang memiliki ilmu Jurus Tapak Dewa di atas jagat raya ini, dan kini telah Ato turunkan kepadamu.. Jika ilmu warisanku ini kelak hendak kauturunkan pada muridmu, maka turunkanlah pada muridmu yang benar-benar memiliki watak yang mulia. Sebab, jika kausalah memilih murid, maka bencana besar akan terjadi di muka bumi. Camkan itu, Anakku!”

"Baiklah, Ato. Setiap nasihat dan ajaran Ato akan menjadi permadani sutera untuk aku dalam menapaki kehidupan. Aku berjanji untuk selalu tidak pernah mengecewakan Ato...!”

"Sekarang kamu mendekatlah, duduklah di hadapanku."

"Baik, Ato."

La Mudu mengambil tempat duduk bersila di hadapan sang guru. Jarak antara keduanya hanya sejangkauan tangan.

"Atur nafasmu dan pusatkan pikiranmu. Lenyapkan dulu segala rupa dunia di pikiranmu.

Tanpa menyahuti, La Mudu langsung mengikuti seperti apa yang diucapkan oleh sang guru.

Hal yang sama dilakukan oleh Dato Hongli. Laki-laki yang di masa mudanya sangat tampan dan gagah itu duduk mematung sembari meletakkan tangan kirinya menyilang di perutnya dan tangan kanannya diletakkan vertikal di depan dadanya. Pelan-pelan tubuh keduanya melayang ke udara, keluar dari mulut jurang, lalu terus melayang ke angkasa.

Di alam yang hanya Dato Hongli yang bisa tahu, melihat, dan mendengarnya, ia seperti sedang memanggil-manggil lewat suara batinnya. Suara batinnya memenuhi jagat. “Dewi...hadirlah, aku membutuhkanmu. Hadirlah...!”

Sesaat kemudian gumpalan-gumpalan cahaya putih kemilau di angkasa hadir satu persatu, lalu masing-masing cahaya itu memunculkan sosok-sosok manusia yang berambut putih, berjanggut panjang putih, serta berpakaian serba putih, mengambang di angkasa melingkari setiap penjuru jagat atas awan. Wujud dari sosok-sosok itu semuanya mirip Dato Hongli sendiri. Lingkaran para sosok laki-laki itu duduk melingkari sesoso wanita yang sangat cantik. Mungkin itu seorang Dewi yang dipanggil oleh Dato Hongli.

Dewi yang sangat cantik jelita yang mengenakan busana kebesaran seperti kebanyakan yang dipakai oleh wanita-wanita Sinae (Tiongkok) dari kalangan bangsawan tinggi. Ia berdiri di atas sekuntum bunga teratai raksasa yang mekar. Sang Dewi berdiri tak jauh dari tubuh Dato Hongli dan La Mudu. Tatapan teduh mata indahnya tak berkedip pada Dato Hongli dan La Mudu.

"Hamba hendak menyelesaikan tugas yang Dewi embankan kepada hamba. Kini Sang Titisan telah berhasil hamba didik sebagai seorang pendekar sejati. Karena hamba tinggal menurunkan ilmu pamungkas, yaitu Ilmu Tapak Dewa, maka hamba bermohon ijin kepada Dewi," berkata Dato Hongli.

"Ijin diberikan. Segera lakukanlah Jenderal Hongli. Kami akan membantu," Sahut wanita jelita berwujud Sang Dewi.

"Baiklah, Dewi. Hamba laksanakan," Dato Hongli bertabik.

Next chapter