webnovel

Jatuhu

Suara keras hasil benturan itu telah sepenuhnya mengisi telingaku. Begitu juga dengan guncangan kuat hasil dari tabrakan itu. Saking kuatnya benturan itu, sampai berhasil membuat kepalaku terbentur dengan keras. Aku seketika shock dan tidak bisa menggerakkan tubuhku sama sekali. Tubuhku terasa sangat lemas… aku hanya bisa melihat ke depan dengan pandangan mata yang tampak kabur.

Detik demi detik berlalu dan setiap dari detik yang berjalan terasa sangat lama bagiku. Suara tawa yang kudengar tadi juga tak kunjung hilang. Suara tawa itu malah menjadi semakin keras terngiang-ngiang di telingaku. Hingga perlahan-lahan, mataku terasa semakin berat.

"Apakah aku akan mati sekarang?" ucapku dalam benak.

Menyadari itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk tetap sadar dan membuka kedua mataku lebar-lebar. Tapi sayangnya, walau sudah kulawan dengan sekuat tenaga, pada akhirnya pandanganku telah berubah menjadi gelap.

"…."

"...."

"...…."

Saat aku sudah pasrah dan berpikir bahwa semuanya sudah berakhir, perlahan aku menyadari bahwa saat ini aku masih sadar dan bisa merasakan tubuhku seperti sedang melayang di udara. Aku bahkan bisa merasakan tekanan angin di sekujur tubuhku, ditambah lagi dengan suara bagaikan badai yang memenuhi pendengaranku. Tetapi saat berada di dalam keadaan yang gelap gulita seperti ini membuatku bertanya-tanya di dalam hati.

"Apakah aku sudah mati?"

"Apakah aku sedang berada di akhirat?"

"Apakah aku masuk surga atau neraka?"

"Kenapa tidak ada apapun di sini?"

Hingga beberapa saat kemudian, entah kenapa aku merasa bahwa tempat ini terasa sangat familiar. Aku merasa pernah berada di tempat ini sebelumnya. Tak lama kemudian, aku menyadari bahwa aku pernah berada di tempat ini saat pertama kali mencoba berlatih meditasi. Dimana aku pertama kali bertemu wujud manusia si pria berjubah merah di depan sebuah istana.

Tapi perlahan-lahan aku mulai berpikir, "Kalau aku sedang berada di alam ghoib… bagaimana nasib dan keadaan tubuhku yang sedang kecelakaan?"

"Atau jangan-jangan aku sebenarnya aku sudah mati dan akan berada di sini selamanya?"

Menyadari itu, aku langsung mencoba menggerak-gerakkan tubuhku sesuai keinginanku. Walau masih terasa sedikit janggal, akhirnya perlahan-lahan aku mulai bisa menggerakkan tubuhku sesuai dengan keinginanku. Di dalam keadaan yang gelap gulita, aku memberanikan diriku untuk bergerak ke arah depan. Berharap bahwa apa yang sedang kucari masih berada di tempat yang semula, berharap untuk menemukan suatu jawaban di sana.

Anehnya, aku merasa kecepatanku bertambah berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan dengan pengalamanku saat pertama kali berada di tempat ini. Semakin lama aku terbang melayang… semakin cepat pula laju kecepatannya. Saat itu aku merasa diriku bagaikan karakter super saiyan yang ada di dalam serial kartun dragon ball.

Hingga beberapa saat kemudian, akhirnya aku dapat melihat sebuah sinar putih yang muncul dari kejauhan. Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergerak menuju arah sana dengan cepat. Tapi setelah bergerak dalam beberapa saat, aku mulai merasakan suatu kejanggalan. Aku menyadari bahwa jarak sinar putih itu masih tetap sama. Kemungkinannya hanya ada ada dua, antara bahwa jarak sinar itu dengan posisiku yang memang jauh, atau memang aku masih berada di tempat yang sama sejak tadi.

Tapi aku merasa bahwa hanya berpikir saja tidak akan mengubah hasilnya. Jadi aku memutuskan untuk tetap bergerak menuju sinar itu dengan perasaan khawatir. Di sepanjang perjalanan, aku hanya memusatkan perhatianku menuju sinar putih yang ada di pandanganku. Tetapi aku tetap saja masih tak bisa meraihnya… aku hanya bisa memandang sinar yang tak berujung itu. Seraya kebingungan, aku pun hanya bisa bertanya-tanya di dalam hati… kenapa bisa seperti itu. Hingga perlahan-lahan, rasa frustasi dan rasa panik pun mulai menghampiriku.

Hingga tak tahu sudah berapa lama aku mengejar sinar yang tak pasti itu. Akhirnya aku sampai di suatu titik, dimana aku merasa sudah tak berdaya lagi. Jadi aku memutuskan untuk berhenti dan pasrah menerima nasibku. Sebab aku menyadari… untuk apa aku khawatir akan semua hal yang ada di luar jangkauanku. Realitanya… saat ini aku tak bisa berbuat apa-apa walau sudah mencoba sebisaku. Aku menyadari… bahwa aku sudah berusaha sekuat mungkin, tetapi hasil belum tentu sesuai dengan harapanku.

Memori semasa aku hidup muncul satu persatu. Mulai dari memori saat aku kecil, dimana aku masih polos dan senang akan hal-hal yang sepele. Dimana aku bisa mengungkapkan perasaanku kepada orang-orang di sekitarku tanpa perlu berpikir panjang. Dimana semua orang masih perhatian dan peduli akan diriku. Walau memori itu hanya sedikit dan samar-samar, aku yakin itulah masa terindah yang pernah kualami.

Dilanjut dengan memori remaja… dimana aku mulai mengalami pubertas. Dimana aku sensitif dan menanam dendam akan semua hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarku. Aku masih bisa mengingat… dimana aku merasa tersinggung akan candaan-candaan kecil yang dilantunkan orang lain kepadaku. Masa dimana aku menjadi seseorang yang pendiam dikarenakan situasi keluarga yang kurang harmonis. Dimana kepercayaan diriku yang memudar karena seringnya mendengar suara teriakan dan barang-barang yang pecah terbanting.

Walau berusaha mengabaikannya, tubuh dan batinku tak bisa berbohong. Saat berbicara dengan orang lain… aku bahkan sulit memandang mata lawan bicaraku. Tubuhku bahkan terkadang gemetaran karena merasa gugup. Karena itulah aku perlahan menjadi seorang penyendiri. Bukan karena aku ingin… tetapi karena aku tak tahan akan tekanan dan pandangan mata orang lain yang menatapku. Saat aku melihat teman-temanku yang tampil di depan kelas… atau bahkan di sebuah panggung… dari lubuk hati yang paling dalam… aku iri akan mereka.

Hingga suatu saat itu berubah… semenjak aku bertemu dengan dia… seorang wanita yang berhasil menembus paksa dan masuk ke duniaku yang gelap. Dia bagaikan sepintas cahaya bulan yang muncul di tengah gelapnya malam. Aku masih bisa mengingat senyuman manis di wajahnya. Figur dengan kesan yang tampak dingin dari luar, walau sebenarnya hatinya sangat lembut di dalam. Dia adalah orang yang membuatku menyadari… bahwa sebenarnya aku memiliki sebuah kelebihan. Sedikit demi sedikit… aku mulai berani untuk membuka diriku. Aku mulai berani mengungkapkan pikiran dan perasaanku kepada orang lain.

Berkatnya… aku mulai berani melangkah maju untuk menghadapi setiap masalah yang menghampiriku. Aku bahkan berani mencampuri masalah orang lain… jika merasa ada sesuatu yang salah. Semua hal yang kujalani bersamanya masih bisa kuingat dengan jelas… sebab dia telah menjadi bagian memori spesial… sebagai wanita pertama yang kucintai dan juga menjadi wanita pertama yang membuatku merasakan apa yang namanya patah hati. Dia… seorang wanita yang bernama Adellia.

Setelah itu… aku mulai mengingat figur dari kedua orangtuaku. Aku bisa membayangkan wajah mereka yang kian tampak menua seiring dengan berjalannya waktu. Walau selalu bertengkar dan kurangnya komunikasi denganku, aku tahu bahwa mereka menyayangiku. Begitu juga denganku… walau tak pernah mengungkapkannya… aku mencintai mereka dari lubuk hatiku yang paling dalam.

Di saat itu… aku berpikir jika aku tidak bisa kembali… aku hanya akan menyesali satu hal di dalam hidupku… dimana aku tidak sempat berpamitan dan meminta maaf kepada mereka untuk terakhir kalinya. Pada saat pikiran itu terlintas di otakku, tiba-tiba sinar putih yang jauh itu membesar dengan sendirinya dengan cepat hingga berhasil menyelimuti seluruh pandanganku.

Setelah sadar, yang ada di pandanganku saat itu adalah sebuah mobil yang remuk akibat menabrak pohon. Di dalam mobil itu… jelas-jelas aku bisa melihat tubuhku dalam keadaan yang bersimbah darah. Begitu juga dengan kondisi Putra yang berada di sampingku.

Selagi aku masih dalam keadaan yang bingung, tiba-tiba muncul suara auman dari belakangku. Saat aku menoleh, ternyata khodam harimau dan pendekar milik Putra sedang bertarung dengan sesosok makhluk yang berwujud kelelawar raksasa bersayap empat. Ketiga khodam milik Putra dengan mudahnya langsung dilumpuhkan oleh cakar makhluk itu. Hanya dalam beberapa detik… semua khodam milik Putra telah musnah tercabik-cabik secara membabi buta oleh cakar makhluk itu. Mereka sungguh tak berdaya di hadapan kekuatan kelelawar raksasa itu.

Selesai menghabisi khodam milik Putra, sepertinya makhluk itu menyadari tatapanku dan langsung membalasnya dengan ucapan, "Sepertinya aku tak perlu bersusah payah lagi untuk mencarimu… HAHAHAHA!!!"

Semenjak aku sadar setelah diselimuti sinar putih itu, aku merasa semuanya berjalan dengan sangat cepat. Pertama aku dihadapkan dengan kondisi tubuhku… lalu aku langsung dihadapkan dengan pemandangan khodam Putra yang dibantai oleh makhluk itu. Belum lagi aku juga bingung, sebenarnya sudah berapa lama waktu yang telah berjalan semenjak aku mengalami kecelakaan.

Tetapi sialnya makhluk itu tak memberikanku waktu untuk bengong dan menganalisa situasiku di saat itu juga. Dia mulai mengepakkan sayapnya lalu terbang menuju posisiku. Dalam sekejap mata, dia telah berdiri persis tepat di depan mataku. Dia menatapku dengan mata merahnya yang besar membelalak. Begitu pula denganku yang juga membalas tatapan matanya.

"Apa kau tak mengenaliku?" tanya makhluk itu dengan suara yang menggelegar.

"…." Aku hanya diam tak merespon ucapannya.

"Pasti kau mengira aku telah mati bersama dengan ular itu ya? HAHAHAHA!!!"

"…." Aku masih tetap diam sambil menatap matanya.

Melihat responku yang dingin… ekspresi makhluk itu berubah menjadi bingung. Dia mulai mencoba menatap dan memerhatikanku dengan seksama.

Hingga beberapa saat kemudian, makhluk itu berbicara, "Aku merasakan ada sesuatu yang lain dari dirimu…" ucap makhluk itu dengan bingung.

"Aneh… kenapa hawamu bisa berubah menjadi sangat tenang?" tanya makhluk itu.

Aku juga merasa bingung… sebab entah kenapa, aku merasakan keheningan dari dalam diriku. Aku tak merasa takut saat melihat makhluk itu membantai khodam Putra, begitu juga saat aku menatapnya. Aku tak merasakan perasaan apapun saat itu. Pikiranku terasa sangat jernih layaknya tak berbeban. Batinku tenang bagaikan air tak beriak di kolam yang tenang.

"Kenapa kau cuma diam? Apa kau sudah sepenuhnya menyerah?" tanya makhluk itu lagi.

"…." Aku tetap menghiraukan ajakannya untuk berbicara.

"Baru kali ini aku diabaikan oleh manusia yang telah melihat wujud asliku. Aku jadi tak bisa bersenang-senang melihat ekspresimu yang ketakutan. Padahal aku ingin kau berusaha berjuang melawanku dengan sepenuh tenaga. Menyerangku dengan semua pusaka dan pasukan yang kau miliki… walau pada akhirnya kau akan sadar, bahwa kau tak memiliki harapan untuk bisa mengalahkanku." ucap makhluk itu dengan senyuman menyeringai.

"Karena kau tau… bahwa tak ada yang lebih menyenangkan daripada mempermainkan mangsamu."

"Biasanya aku terbiasa menghadapi manusia-manusia semacam itu dalam sepanjang hidupku. Emosi dan perasaan mereka itu bagaikan bumbu yang memperkaya rasa nikmat dari jiwa-jiwa mereka. Amarah, kesedihan, ketakutan, kebahagiaan, keserakahan, kesombongan, nafsu birahi, keputusasaan… semuanya sudah pernah kucicipi.

"Sekarang aku malah jadi penasaran untuk mencicipi rasa dari jiwa yang unik seperti dirimu." ucapnya seraya menunjukkan taringnya yang panjang.

"Sebelum memangsamu… sebagai hadiah bagi manusia yang unik sepertimu… aku akan memberitahu nama besarku padamu…"

"Ingatlah baik-baik… namaku adalah…."

"Jatuhu."

Bersambung…

Next chapter