Aku langsung menoleh ke arah kiri tapi tak menemukan apapun disana. Perasaanku mulai terasa janggal dan tak enak karena sepertinya aku paham apa yang dimaksud oleh Adellia.
"Hmmm, maksud lo warna merah yang mana Del?" tanyaku untuk memastikan maksudnya dan berharap itu bukanlah makhluk tak kasat mata.
Dengan senyum tengilnya Adellia menjawabku "Dari wajahmu sih keliatannya paham apa yang aku maksud ram, tapi gausah keliatan takut gitu dong hahaha." ucapnya
"Gimana gak takut del, tau-tau ada hantu yang ngikutin gw." balasku dengan perasaan takut bercampur malu.
Adel cuma lanjut tertawa mendengar jawabanku.
"Emang bentuknya gimana del? kok lo cuma bilang warna merah doang?" tanyaku karena penasaran.
"Ciri-cirinya dia punya perawakan besar, wajahnya kayak pria paruh baya, terus dia pakai jubah warna merah Ram. Tatapan matanya keliatan garang, kayaknya dia itu tipe galak yang gak suka diganggu." jelas Adel perlahan sambil menatap sisi kiriku yang kosong.
Sebelum aku bertanya lebih lanjut, tiba-tiba Adellia mengernyitkan dahinya dan berkata. "Tapi kayaknya sih wujud aslinya bukan ini Ram. Waktu aku coba minta tunjukin yang aslinya, dia kekeh nolaknya sambil melotot."
Sebenarnya aku bingung, sebab aku merasa tidak melihat Adel berbicara selain denganku tadinya. Apa dia berkomunikasinya lewat telepati?. Selain itu, kenapa Adellia mau membahas hal-hal ghaib seperti ini dengan santainya? Berbeda dari ekspektasiku, yang kutau biasanya mereka yang memiliki kemampuan enggan membahas atau menunjukkannya.
Tetapi tanpa kusadari, entah kenapa aku mulai penasaran dan tertarik walau sebenarnya merasa takut. Rasa ketertarikan inilah yang akan menjadi awal bagiku untuk mengenal dan mempelajari sisi dunia yang lain.
"Duh, emang tujuannya ngikutin gw buat apa ya Del? malah yang ada bikin gw jadi parnoan." tanyaku dengan gugup
"Keliatannya sih dia ga ada niat jahat Ram. Dari yang aku lihat, kayaknya dia mau jagain kamu doang sih. Tapi energi dari dia itu sifatnya keras, jadi efeknya bisa bikin kamu gampang panas dan emosian Ram." jelas Adel
Sambil menepuk-nepuk pundakku Adellia berkata
"Udah gausah dipikirin Ram, anggap aja ada bodyguard yang bantu jagain kamu." ucapnya sambil terkekeh
Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan perkataan dari Adel. Sebenarnya aku masih ingin menanyakan banyak hal, tapi aku masih merasa canggung dan kurang begitu akrab dengannya. Sambil berjalan menuju kampus, aku berpikir keren juga ya kalau punya bodyguard pribadi. Tapi sayangnya sih, dia tidak bisa kulihat secara fisik di dunia nyata.
Hingga beberapa saat kemudian akhirnya kami sampai di kampus dan langsung bergegas menemui anggota kelompok kami yang lain. Seperti dugaanku mereka langsung menanyakan kenapa kami tidak datang di hari sebelumnya.
Gayatri mulai menyapa kami dan mulai membuka pembicaraan.
"Kalian pada kemana aja kemaren?" tanya Gayatri dengan bingung
"Sorry banget ya, soalnya kemaren kita dihukum karena telat Tri." jawab Adel
"Gpp kok Del, lagian kemarin kan acaranya bubar juga." Balas Gayatri
"Jadi hari ini ospeknya mau ngapain ya?" tanya Adel
"Kurang tau juga Del, belum ada kejelasannya dari kemarin." jawab Gayatri
Selagi berbincang-bincang, tiba-tiba terdengar suara panitia yang berteriak.
"Semua baris sesuai kelompoknya!."
Selanjutnya akupun mengikuti kegiatan ospek di ruangan kelas. Disana, kami digabungkan dengan beberapa kelompok dan seperti sedang ditunjukkan simulasi bagaimana kegiatan perkuliahan yang sebenarnya. Dengan cara dihadirkannya dosen yang mengajar kami di kelas. Mungkin di awal aku merasa ini sesuatu yang baru dan menarik. Tapi dalam satu hari itu, ada beberapa dosen yang mengajar kami bergantian. Lama-kelamaan aku merasa sangat bosan dan ingin bisa pulang saja secepat mungkin.
Setelah mengikuti kegiatan ospek yang terasa sangat lama dan membosankan itu, akhirnya jam menunjukkan angka lima yang artinya sudah waktunya untuk pulang. Aku langsung bergegas mengajak Adellia dan Steven untuk pulang bersama. Seperti biasanya kami hanya ngobrol dan bercanda santai saat diperjalanan pulang.
Saat berada di jalan sepi sebelum kami sampai di persimpangan gang kedua, tiba-tiba ada dua orang pria yang mencegat jalan kami. Saat kuperhatikan wajahnya, ternyata salah satu dari pria itu adalah Arif. Panitia ospek dengan suara cempreng yang bertengkar dengan kami kemarin.
"Berhenti lo pada!!!" teriak Arif
"Ada apa nih bang? ada urusan sama kita?" tanya Steven kebingungan.
"Tanya temen lo sana, yang jelas gw butuh ngomong sama dia." ucapnya sambil menunjuk ke arah Adel.
Steven memandangku dan Adel dengan ekspresi bingung dan bertanya-tanya lalu membalas perkataan Arif.
"Serius bang? mau sampe main kasar sama cewek?" sindir Steven
Arif pun menggertak dengan cara berlagak ingin memukul Steven
"Lo kira gw bencong kayak lo? cepet suruh dia minta maaf ke gw sekarang juga." bentaknya
"Masih anak baru dah berani-beraninya lo ngatain gw." ujarnya
"Ngomong langsung ke gw sini, gausah ngomong ke temen gw." balas Adel
"Ni jabl*y kurang ajar bener ya. Lo mau mancing gw supaya beneran maen kasar ya?" teriak Arif.
"Santai dong, gausah pake teriak-teriak gitu juga kali." balasku dengan kesal
"Lo berdua gausah ikut campur, sebelum gw bonyokin muka lu berdua." bentaknya sambil menunjuk kami dengan jarinya.
"Katanya gamau kasar sama cewek, gatau siapa yang sebenernya bencong nih." sarkas Steven
"Alah gak usah banyak omong, yok sikat aja bro." ucap temannya sambil bergerak ke arah kami.
Melihat mereka yang ingin menggunakan cara kasar, aku terpaksa harus meladeni mereka dengan cara yang sama.
"Lari aja Del." ucapku ke Adel lalu memposisikan diri untuk bersiap menghadang mereka.
Adel mengangguk dan berkata "Sabar ya Ram, aku cari bantuan dulu didekat sini."
"Jangan kasih dia kabur bro" teriak Arif.
Tak banyak omong aku dan Stevenpun langsung menghadang kedua orang itu dengan sekuat tenaga. Aku dan Steven hanya berfokus untuk menghalangi jalan mereka. Intinya kami hanya ingin mengulur waktu agar Adel bisa lari dengan selamat.
Hingga pada akhirnya pertarungan kami dilanjutkan dengan pertarungan satu lawan satu. Dimana aku melawan Arif sedangkan Steven melawan temannya.
Sebelum pertarungan terjadi, panitia ospek itu masih sempat berkata "Nama gw Arif, ingat baik-baik jangan sampe lupa sama orang yg bonyokin muka lo." ucapnya dengan sombong.
"Gw udah tau kali, nama lo Arif cempreng kan?" balasku dengan senyuman mengejek
"Bangs*t lo ya! Gw mampusin lo sekarang!!!" teriaknya lalu menerjangku.
Dia langsung melayangkan tinju pertamanya ke arah wajahku. Tetapi aku berhasil menghindarinya dengan bergerak kesamping. Sialnya dia tidak berhenti disitu saja, dia langsung melayangkan tendangan yang berhasil mengenai perutku. Rasanya sakit sekali sampai membuatku serasa ingin muntah, ditambah lagi nafasku yang terasa sesak. Efek tendangan itu spontan membuatku terjatuh ke lantai.
Aku menyadari sepertinya dia mempelajari beladiri. Tampak dari kuda-kudanya yang stabil saat menyerangku. Aku heran dan tidak terima, kenapa bajing*n seperti dia mempelajari ilmu beladiri. Berbanding terbalik denganku yang bahkan tidak memiliki basic untuk membela diri.
Dia mendekatiku lalu menunduk dan menatapku dengan senyum menyeringai.
"Segini doang yang lo bisa? hahaha" ejeknya sambil tertawa
Melihat tingkahnya, api amarahku mulai tersulut dan membakar seluruh tubuhku. Tubuhku yang sebenarnya sudah tak berdaya lagi kupaksa bangkit untuk bergerak menerjangnya. Yang ada dipikiranku adalah bagaimana caranya untuk menyiksa dan menghancurkannya.
Pukulan demi pukulan kuluncurkan ke arah wajahnya. Tapi dia dengan mudah menangkis dan menghindar dari pukulanku. Aku merasa semua seranganku tidak memiliki arti didepannya. Hingga kemudian, dia membalas seranganku mulai dari meninju wajahku lalu menendang betisku. Tidak berhenti disitu saja, dia mulai meninju tubuhku secara membabi buta. Aku hanya bisa berusaha menahan semua serangannya dengan kedua tanganku.
Hingga terakhir yang kuingat adalah pandangan dimana dia sedang melompat dan mengarahkan tendangannya ke arah wajahku. Setelah itu, aku tak bisa mengingat apa-apa lagi.
Hingga saat aku tersadar, yang ada dipandangaku adalah Arif yang sedang tergeletak ditanah dengan wajah yang berlumuran banyak darah. Aku sangat terkejut dan saat menoleh kesamping, aku melihat wajah Steven yang memandangku layaknya tak percaya. Sedangkan lawannya hanya bisa bergetar dan memandangku ketakutan. Disana juga ada beberapa orang yang tak kukenal yang sedang melihatku dengan tatapan aneh.
Tiba-tiba aku mendengar suara Adel di sebelahku
"Kamu udah sadar Ram?" tanyanya sambil memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.
"Emang ada apa ya Del? aku gak ingat apa-apa habis ditendang." jawabku bingung.
"Setelah manggil beberapa orang didekat sini, aku langung balik secepatnya. Tapi waktu aku udah ga jauh dari sini, aku denger ada jeritan orang minta ampun. Setelah mendekat, aku ngeliat kamu lagi mukulin wajahnya habis-habisan Ram." jelas Adel dengan suara yang bergetar.
Aku sangat terkejut mendengar ucapan Adel, hingga seketika aku termenung sejenak. Aku tak menyangka dan tak mengerti kenapa itu sampai bisa terjadi. Aku masih tak mempercayai ucapan Adellia, tetapi saat aku memandang kedua tanganku yang berlumuran darah, aku tak lagi bisa membantah ucapannya.
"Woi, yang penting kita bawa dia ke rumah sakit dulu." bentak Steven yang berhasil menyadarkan kami.
Saat aku mencoba menggerakkan badanku, rasanya benar-benar berat dan sakit sekali. Aku merasa luka dan efek dari serangan Arif belum menghilang dari badanku. Tapi sepertinya yang kurasakan ini dua kali lipat lebih berat dari yang kurasakan sebelum hilang kesadaran. Aku penasaran, sebenarnya separah apa tindakan yang kulakukan saat dalam keadaan tak sadar.
Akupun dibantu oleh Steven dan Adel untuk pergi ke rumah sakit terdekat. Sedangkan Arif dibantu temannya bersama beberapa orang yang dipanggil Adel tadi. Kami pergi bergegas secepat mungkin karena kondisi Arif sepertinya sangat parah.
Setelah sampai di rumah sakit, Arif langsung dibawa ke ruangan UGD. Dari reaksi yang kulihat, orang-orang berpikir kalau luka Arif itu dari hasil kecelakaan. Sedangkan aku memilih untuk pergi ke toilet untuk membersihkan lukaku. Setelahnya aku duduk dan menunggu dibangku yang ada diluar ruangan. Orang-orang yang lewatpun kerap memandangiku, efek dari wajahku yang babak belur. Tapi aku tidak terlalu memerdulikannya, aku masih merasa apa yang kualami barusan seperti tidak nyata.
Aku berpikir, apa aku sedang kerasukan? Atau aku memiliki kepribadian lain yang selama ini bersemayam dalam alam bawah sadarku?. Aku hanya bisa berspekulasi dan bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Hingga rasa sakit yang kualami sepertinya terasa berkurang, karena pikiranku yang sudah melayang kemana-mana.
Adellia pun duduk disampingku lalu memegangi pundakku.
"Badan kamu masih sakit gak Ram?" tanya Adel dengan ekspresi khawatirnya.
"Lo cek juga dong Ram, muka lo luka-luka juga tuh." ucap Steven
Aku tidak ingin repot dan menyusahkan mereka nantinya, lagian aku berpikir luka yang kualami sudah mendingan dan tidaklah parah.
"Gausah ven, ntar gw obatin di kost-an aja. Lagian cuma lecet sama kecapean doang kok gw." balasku
"Yaudah, kalo gitu kita mending balik aja sekarang. Jangan sampe lukanya Rama infeksi duluan." ucap Adel
"Jadi nanti dia gimana?" tanyaku dengan dia yang kumaksud Arif.
"Dia punya temen yang nungguin dia kok Ram." jawab Adel
"Kalo dia kenapa-napa nantinya gimana?" tanyaku gugup
Adel dan Steven pun diam tak merespon ucapanku. Sepertinya mereka juga tak tahu harus berbuat apalagi selain menunggu hasilnya. Sesaat kemudian, tenaga medis keluar dari ruangan dan mengabarkan kalau kondisi Arif sudah mulai stabil. Dia hanya memerlukan istirahat dan pengobatan beberapa hari untuk memulihkan lukanya.
Mendengar kabar itu, Adel langsung mengajakku pulang.
"Balik yuk Ram, kita obatin luka kamu dulu." lalu Adel memapahku dengan hati-hati.
"Bentar ya, gw ngomong dulu ke tuh orang." tunjuk Steven ke temannya Arif yang sedang mondar mandir didekat pintu.
Setelah Steven selesai berbicara dengan teman Arif, tak lupa kami juga berterimakasih kepada beberapa orang yang dipanggil Adel yang juga membantu kami hingga bisa sampai ke rumah sakit. Setelah itu kamipun pulang bersama dengan menaiki taxi menuju kost-an. Didalam taxi, kami hanya bisa terdiam dan tenggelam dalam lamunan kami sendiri. Sepertinya bukan aku saja yang merasa bingung dan shock akan kejadian ini, begitu juga dengan Adel dan Steven. Aku bisa mengetahuinya dari raut wajah mereka yang tampak linglung.
***
Sesampainya dilokasi, Adel mengajak kami masuk ke gerbang kostnya dan menyuruh kami menunggu di teras kostnya.
"Tunggu disini sebentar ya." ucapnya lalu pergi masuk ke dalam kost-an.
Tak lama, Adel muncul dengan kotak P3K ditangannya.
"Sini gw obatin dulu Ram." ucapnya lalu duduk disampingku.
Adel membuka kotak P3K ditangannya lalu mengeluarkan satu persatu obat yang bisa menangani lukaku.
"Jangan gerak dulu ya Ram." ucap Adel pelan
Lalu perlahan dia mulai mendekatkan wajahnya dengan wajahku untuk memeriksa luka. Melihat wajahnya sedekat ini membuat jantungku berdetak cepat. Aku bisa memandang detail ekspresi khawatir dari wajahnya yang cantik. Bisa menjadi sedekat ini dengan Adel membuatku merasa tidak sia-sia sampai terluka saat membelanya.
Sementara itu Adel mulai membersihkan luka yang berada di wajahku dan sesekali menekannya untuk membuat pendarahan berhenti. Aku berusaha bertahan dan tidak menunjukkan rasa sakit melalui ekspresi wajahku. Walau sebenarnya rasanya sangat perih, sampai aku ingin mengeluarkan air mata.
Sepertinya Adel juga memahami keadaanku dan mencoba menyentuh lukaku selembut mungkin.
"Maaf ya Ram, karena masalahku kamu jadi luka begini." ucapnya
"Gapapa Del, lagian awal masalahnya karena aku telat juga." balasku
"Tapi aku ga nyangka bakal sampai begini efeknya." lirihnya sedih
"Gausah dipikirin lagi Del, anggap aja kita lagi apes." ucapku berusaha untuk menghilangkan keresahannya.
"Gw kapan diobatinnya nih?" gerutu Steven
Aku tak sadar sampai melupakan eksistensinya karena keasikan ngobrol dengan Adel.
"Oh iya, sorry kelupaan Ven." jawab Adellia sambil menahan tawa.
"Bukannya mau ngeganggu yang lagi mesra nih, tapi takut keburu pingsan duluan gw." ejeknya dengan ekspresi tengil.
"Gausah di dengerin Del, biarin dia obatin sendiri aja." candaku
"Yeee, asal gw ngomong sama Adel sewot mulu nih anak. Lo cemburu ya?" balas Steven
"Berisik lo kampret." ucapku
"Hahaha..." Adellia hanya tertawa melihat tingkah kami berdua.
Akhirnya suasananya bisa menjadi lebih ringan berkat candaan Steven, tidak terasa canggung dan menegangkan seperti sebelumnya. Setidaknya, kami bisa sejenak melupakan kenangan buruk tadi.
Setelah selesai mengobati dan membalut lukaku dengan perban, kini giliran luka Steven yang akan diobati.
"Sini gw obatin lukanya Ven." ucap Adel
"Gausah repot-repot Del, gw aja yang obatin dia." potongku
"Wah parah nih, belum jadian aja udah overprotektif banget lo." cibir Steven
"Bacot lo, cepet sini muka lo." balasku tak memedulikan ucapannya
"Ah ga asik bener lo Ram." keluh Steven
Aku tidak merespon ucapannya dan memegangi kepalanya dengan tangan kiriku sembari mengobati wajahnya dengan tangan kananku.
"Woi, yang bener ngobatinnya." ringis Steven kesakitan.
"Gausah lebay deh, luka lo kecil gini juga." ucapku
"Kecil dari hongkong. Bengkaknya udah segede gaban gini." protes Steven sambil memegangi dahinya.
Melihat benjolan besar sebesar bola pingpong di area dahinya membuatku tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha, gausah diobatin kali ya, udah cocok banget sama muka lo soalnya.
"Kampret emang lo." gerutu Steven
Selesai mengobati lukanya, aku dan Steven pun pamit untuk pulang kekost kami yang sebenarnya tetanggaan.
"Kita balik dulu ya Del." ucapku
"Makasih ya Ram, habis ini langsung istirahat ya." balas Adel dengan perhatian.
"Kok ke gw gak bilang makasih, ngambek nih gw." ucap Steven dengan nada dan gaya yang sok imut.
"Jijik woi, mending cabut cepet-cepet dah." ujarku
"Hahaha, makasih juga Ven." balas Adel yang tak kuasa menahan tawanya.
"Nah gitu dong. Kita balik dlu yak, byeee." ucap Steven sambil memapahku berjalan menuju kost.
Sesampainya di kost, aku langsung mandi membersihkan tubuhku yang sudah penuh dengan kotoran. Setelahnya aku masih harus mempersiapkan tugas dan peralatan untuk ospek terakhir besok. Walau kejadian yang tadi masih saja menghantui pikiranku. Sebab aku masih bisa mengingat wajah Arif yang berlumuran darah. Begitu juga dengan ekspresi sedih dari wajah Adellia.
Karena ingatan itu, aku menjadi sulit untuk mengerjakan tugasku dengan fokus. Batinku selalu bertanya, walaupun dalam keadaan tidak sadar, apakah yang kulakukan tadi benar?. Sedangkan otakku berkata, apa yang kulakukan itu hanyalah bentuk dari pertahanan diri. Debat antara otak dan batinku berlanjut hingga aku menyelesaikan tugas ospekku.
Ketimbang aku stress memikirkannya, aku langsung memutuskan untuk langsung tidur. Setelah berbaring diatas kasur, tak lama kemudian akupun terlelap. Mungkin karena aktivitas dan luka tadi berhasil menguras semua energi yang ada ditubuhku.
Pantai dengan pasir berwarna emas dan laut membentang yang tak terlihat ujungnya. "Bukannya ini tempat yang sama dengan tempat yang kemarin?" tanyaku dalam hati. Tapi berbeda dengan kondisi kemarin, aku merasa sedang tidak berdiri melayang diatas udara. Saat aku melihat kebawah, benar saja ternyata aku sedang berdiri diatas suatu makhluk bersisik seperti ular raksasa. Dan aku mulai menyadari, bahwa makhluk itu adalah makhluk yang sama seperti yang kulihat di mimpi kemarin. Makhluk itu dapat bergerak sangat cepat dipermukaan air dan dalam sekejap mata dia berhasil membawaku ke tengah lautan.
Aku hanya bisa diam terpaku diposisiku tanpa bisa bereaksi apapun. Sebab tubuhku rasanya kaku dan tak bisa kugerakkan sesuai keinginanku. Berbeda terbalik dengan kondisiku sebelumnya. Rasa takutpun muncul dihatiku, sebab yang kurasakan saat itu sangat nyata. Aku masih tak berpikir bahwa itu sebenarnya adalah mimpi.
Hingga tak lama kemudian, makhluk itu mencoba menyelam masuk ke dalam laut. Dan saat kusadari, aku sudah berdiri didepan beberapa pilar raksasa berwarna emas. Desainnya mirip dengan bangunan di film-film tentang dewa yunani seperti zeus, hercules dan semacamnya.
Sembari aku memerhatikan sekitarku, ternyata dibelakangku ada seorang pria yang sedang berdiri menatapku dengan sinar emas yang terpancar dari bola matanya. Jika kuperhatikan. dia sedang berdiri didepan sebuah gerbang dan bangunan yang tampak sangat megah sebagai latarnya. Aku tak bisa mengingat jelas wajahnya, yang bisa kuingat hanyalah jubahnya yang berwarna merah darah dan tubuhnya yang tegap besar. Anehnya sesudah melihat pemandangan itu, pandanganku menjadi kabur dan tiba-tiba menghilang.
Semuanya menjadi gelap dan aku menyadari bahwa mataku sedang tertutup. Perlahan aku kembali merasakan tubuhku yang berada di dunia nyata. Saat aku membuka kedua mataku, aku sadar bahwa apa yang kulihat tadi hanyalah mimpi belaka. Tapi jika kuingat-ingat, kenapa pria itu terasa sangat familier ya?
Yang paling kuingat adalah matanya yang mengeluarkan sinar berwarna emas dan jubah merah yang dikenakannya.
"Tunggu… Jubah merah? Bukannya dia yang dimaksud Adel kemarin?" ucapku dalam batin
Bersambung…