"Kamu akan menyukainya, Nak." Pria itu berbisik. Rumi merasakan embusan napas menyapu sisi wajahnya. Gadis itu terkejut bukan main, berusaha untuk lepas. Mendorong pria itu, menjejakkan kakinya dengan kasar. Namun, tubuhnya terlalu kecil. Semut tak akan bisa melawan gajah yang besar tanpa persiapan.
"Ayolah, jangan malu ...." Dia meraih tubuh Rumi. Mencumbu paksa leher jenjang gadis itu. Satu ciuman mendarat di lehernya. Membuat Rumi kalang kabut bukan main. Pria itu terus saja memaksanya untuk membuka baju, di tempat umum! Sialan benar.
"Aku ...." Rumi merengek. "Tolong," ucapnya terbata-bata. Pria ini benar-benar beringas.
Gadis itu menangis. "Tolong lepaskan aku! Kamu bajingan sialan!" Rumi berteriak-teriak sembari memukul-mukul pria itu. Ingin menjauh, segala macam bentuk perlawanan dia lakukan sekarang. Hingga pukulan mendarat di sisi bibirnya. Membuatnya sedikit lebam.
"Aku tak ingin menyiksamu. Jadi jangan membuatku melakukannya. Menurut saja," ujarnya.
Dia bangkit dari tempat duduknya. Menarik tangan Rumi. "Aku akan membayarmu nanti, aku janji." Pria itu memaksa. Namun, Rumi masih kokoh. Dia tak mau ikut. Tiba-tiba saja pria ini memaksanya untuk melakukan adegan seks.
"Aku bilang aku akan membayarmu!" Ia menarik tubuh Rumi semakin kasar, sekuat tenaga menyeret tubuh gadis itu. Di bawa menuju ke bilik yang ada di pojok saja.
"Aku mohon ...." Rumi menangis. Memukul-mukul genggaman tangan pria itu. Menjejakkan kakinya sesekali, berusaha untuk kabur. Rontaan itu membuat pukulan mendarat lagi di sisi wajah Rumi. pria itu nampaknya ingin mangsanya diam dan menurut.
Naasnya, dia mulai kehabisan tenaganya. Tak mampu berbuat banyak lagi.
"Kenapa aku harus selalu menurut." Rumi menangis. Entah mengapa semua pria dewasa yang berada di sekitarnya selalu saja bersikap tak baik. Memaksa tanpa memikirkan perasaan Rumi. "Aku bukan anjing!"
Tiba-tiba saja seseorang datang dan menempelkan moncong pistol tepat di belakang kepala pak tua sialan satu ini. Membuat dirinya diam seketika mendengar pistol dikunci di belakangnya.
Rumi yang menangis terisak, ikut diam. Air matanya masih mengalir. Menatap perawakan tubuh besar di belakang pria asing di depannya.
"Lepaskan," ucapnya. Lirih nada bicara, tetapi dengan suara yang begitu dalam dan khas.
Pak tua itu melunakkan genggamannya. Bukannya menyerah, dia sedang mengantisipasi peluru menembus kepalanya.
"Tak mau?" Pria itu memindahkan moncong pistolnya. Berada di sisi pelipis lawan bicaranya.
"Cih," sahutnya. "Kamu pikir aku percaya dengan pistol mainan?" Dia tertawa bak orang gila. Kembali menarik Rumi untuk ikut dengannya.
Dia mengarahkan pistol ke udara.
Dor! Peluru lepas dari moncong pistol. Memuat siapapun yang mendengarnya lantas diam di tempat. Tak pernah ada yang membawa senjata api di sini.
"Kau pikir aku main-main dengan ini?" ujarnya. Kembali mengarahkan moncong pistol di belakang kepala lawan mainnya. Pria itu melepaskan topi yang menutupi wajahnya. "Lepaskan, sebelum aku melubangi kepalamu," tukasnya dengan tegas. Nada bicaranya mengisyaratkan keseriusan.
Rumi membulatkan matanya. Melihat wajah seorang pria yang tak asing untuknya. Superhero yang tak pernah diduga akan datang ke sini. Mr. Tonny Ayres.
"Aku sudah membayarnya!" Dia mengamuk. Tak mau kalah begitu saja. Memutar tubuhnya cepat. Namun, Mr. Tonny adalah ahli dalam keadaan seperti ini. Sigap menguasai kembali suasana. Dia mirip seorang penyandera.
"Lepaskan," ucapnya lagi. Kali ini mengarahkan pistol ke arah pergelangan kaki lawan mainnya. "Satu ...." Dia mulai berhitung. "Dua ...."
"Ah, sial!" Dia mengumpat. Melepaskan genggaman tangannya. "Kamu ini siapa!" Pria itu menggerutu. Memprotes.
Mr. Tonny tak menghiraukan. Dia mengulurkan tangannya untuk Rumi yang masih duduk bersimpuh dengan air mata dan keadaan yang kacau. "Kita pergi dari sini," ujarnya. Meminta Rumi untuk ikut dengannya.
"Aku sedang berbicara denganmu!" Pria gila di sisi Mr. Tonny menarik kerah bajunya. Membuat emosi memuncak di dalam diri Mr. Tonny sekarang.
Tiba-tiba saja Mr. Tonny mengarahkan pistol dan menarik pelatuknya. Suara tembakan kembali menggema di ruangan. Sekarang bersama dengan darah yang mengalir deras membasahi lantai ruangan.
Pria itu mengerang hebat. Tak kuasa menahan perih dan sakit di pergelangan kakinya. Mr. Tonny benar-benar melepaskan peluru. Tak pernah ragu dengan itu.
Melihat Mr. Tonny kembali mengarahkan pistolnya tepat di atas dahi pria yang kini meringkuk kesakitan, Rumi lantas meraih pergelangan tangannya. "Jangan lakukan itu," ucapnya dengan gemetar. Tatapannya sayu, mengarah padanya.
"Aku mohon. Kita pergi dari sini," imbuhnya menahan takut. Dia tak pernah melihat adegan seseram ini sebelumnya.
... To be continued....