webnovel

Jangan Mudah Meremehkan

Malam semakin sunyi dan hampa Barra terus membuka buku itu.

"Wah ... aku memang banyak meninggalkan catatan. Baca ah. Biografi Imam Al Ghazali. Lah ... ketemunya malah di sini," gumamnya.

"Jangan remehkan ibadah sekecil apa pun. Karena kita tidak tahu, ibadah manakah yang akan mendapat ridho dari Allah Swt. Kisah Imam Al Ghazali dengan seekor lalat ini akan memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk kita renungkan.

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Abu Hamid al-Ghazali al-Mujtahid al-Faqih al-Ushuli al-Mutakallim ath-Thusi asy-Syafi'i atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ghazali dilahirkan di Thus pada tahun 1058 M / 450 H. Dia juga wafat di sana pada tahun 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H pada umur 52–53 tahun.

Beliau adalah seorang teolog muslim Persia dan filosof besar pada masanya, yang dikenal sebagai Algazel di dunia barat abad pertengahan.

Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak dalam beragumentasi dan berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam.

Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan.

Sebelum dia memulai pengembaraan, dia telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami.

Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Makkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi.

Sejak kecil lagi dia telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan dia benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadah, wara', zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.

Ulama yang Produktif. Imam Ghazali dikenal sebagai ulama yang gemar menulis dan telah melahirkan ratusan karya ilmiah. Kitab-kitab karangan beliau selalu dijadikan sebagai rujukan dalam berbagai ilmu pengetahuan.

Salah satu karangan beliau yang paling monumental adalah Ihya Ulumuddin, yang dijadikan sebagai kitab kurikulum dalam berbagai universitas di dunia sampai saat ini di penjara suci alias pesantren. Selain demikian, Imam Ghazali juga dikenal memiliki pengetahuan ulung di setiap disiplin ilmu, sehingga boleh dikatakan bahwa beliau memiliki karya tulis di semua ilmu tersebut.

Imam Ghazali Masuk Syurga. Syaikh Abdullah dalam Hasyiah asy-Syarqawiy ala Syarh Hud-Dudy menceritakan, ketika Imam Ghazali telah meninggal, seseorang bertemu dengan beliau dalam mimpi. Lalu ia bertanya kepada Imam Ghazali,

"Apa yang Allah lakukan kepadamu?"

Imam Ghazali menjawab, "Allah mendirikanku di hadapanNya."

Lalu Allah bertanya,"Bekal apa yang engkau bawa untuk menghadap-Ku?"

Lalu Imam Ghazali menyebutkan satu persatu kebaikan yang pernah ia lakukan.

Kemudian Allah berfirman, "Sesungguhnya, dari sekian banyak kebaikan yang engkau lakukan, tidak ada satupun yang aku terima. Tidak ada satupun yang dapat memberikan manfaat kepadamu pada hari ini dan yang dapat menjadi sebab engkau masuk syurga."

Kecuali satu hal, yakni ketika engkau sedang menulis, lalu seekor lalat yang kehausan hinggap pada pena yang sedang kau gunakan. Kemudian kau biarkan lalat tersebut untuk minum hingga ia merasa puas tanpa mengganggu dan mengusiknya. Rasa sayangmu kepada lalat tersebut mengundang ridhaKu padamu dan dengan ridha itulah engkau Ku masukkan kedalam syurga. Aku belajar.

Jangan pernah meremehkan kebaikan walau sekecil apapun. Karena bisa saja dengan kebaikan itu kita akan dimasukkan kedalam syurga, sebagaimana sebaliknya jangan menganggap enteng keburukan walau itu kecil, karena bisa jadi itu adalah penyebab engkau di campakkan ke dalam neraka. Seperti yang kita maklumi, Allah tidak memasukkan seseorang ke dalam syurga karena amal kebaikan dan ibadah, dan tidak memasukkan seseorang kedalam neraka karena dosa dan kemaksiatan yang ia lakukan. Akan tetapi, seorang masuk syurga karena ridha Allah, sebagaimana ia masuk neraka karena murka Allah kepadanya."

"Aku malu rasanya. Ya Allah ... semoga taubat ku ini Engkau Ridhoi. Aamiin." Barra membalik buku itu.

"Kisah Menangkap angin. Kok lucu?"

Judul yang barusan dibaca Barra itu membuatnya geli.

"Wah ... kisah Abu Nawas, penasaran nih.

Abu Nawas yang memiliki nama asli Abu Ali Hasan bin Hani' al-Hakami adalah seorang pujangga dan penyair yang terkenal di zaman Bani Abbasiyah.

Ia pun dikenal pandai dalam membuat syair dan dianggap sebagai pemimpin para penyair di zamannya. Syair tersebut kini terkenal dengan Syair Al I'tiraf (sebuah pengakuan atau ilahilas tulilfirdausi ahla).

Abu Nawas kaget bukan main ketika seorang utusan Baginda Raja datang ke rumahnya. Ia harus menghadap Baginda secepatnya. Entah permainan apa lagi yang akan dihadapi kali ini. Pikiran Abu Nawas berloncatan ke sana keman Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman.

"Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin kata Baginda Raja memulai pembicaraan.

"Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil," tanya Abu Nawas.

"Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya," kata Baginda.

Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti, tetapi ia bingung bagaimana cara membuktikgn bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin. Karena tidak bisa di lihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa diiihat. Sedangkan angin tidak.

Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan, ia yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya.

Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum Juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar

tidak bisa tidur walau hanya sekejap. Mungkin sudah takdir, kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda, ia berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya.

"Bukankah Jin itu tidak teriihat?" Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri.

ia berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian manuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya. Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas.

"Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?" tanya Baginda Raja.

"Sudah Paduka yang mulia," jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat.

Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu. Baginda menimbang-nimang botol itu. "Mana angin itu, hai Abu Nawas?" tanya Baginda

"Di dalam, Tuanku yang mulia," jawab Abu  Nawas penuh takdim  "Aku tak melihat apa-apa," kata Baginda Raja

"Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu," kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dIbuka. Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung.Bau apa ini, hai Abu Nawas?!" tanya Baginda marah. 

"Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol," kata Abu Nawas ketakutan.

Belum selesai membaca Barra cekikian. Sampai sakit perut.

"Ini hamba sahaja tidak punya akhlak. Hahaha." Dia menahan tawanya lalu kembali membaca.

Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal.

"Ha ha ha ha kau memang pintar Abu Nawas," puji Baginda Raja. "Tapi, jangan keburu tertawa dulu, dengar dulu." Abu  Nawas terlihat takut.

"Ya Abu Nawas!" sahut Baginda.

"Hamba sebenarnya cukup pusing memikirkan cara melaksanakan tugas memenjarakan angin ini," kata Abu Nawas mulai melancarkan aksinya.

"Lalu apa maksudmu, Abu Nawas?" tanya Baginda Raja. 

"Hamba minta ganti rugi kata Abu Nawas lagi. 

"Kau hendak memeras seorang Raja?" hardik Baginda Raja. 

"Oh. bukan begitu Baginda," kata Abu Nawas mulai cemas. 

"Lalu apa maumu?" tanya Baginda.

"Baginda harus memberi saya hadiah berupa uang sekedar untuk bisa belanja dalam satu bulan," pinta Abu Nawas memelas.

"Kalau tidak?" tantang Baginda.

"Kalau tidak hamba akan menceritakan kepada khalayak ramai bahwa Baginda telah dengan sengaja mencium kentut hamba!" kata Abu Nawas.

"Hah ...?" Baginda kaget dan jengkel tapi kemudian tertawa terbahak-bahak. 

"Baik permintaanmu kukabulkan!" kata Baginda Raja.

Abu Nawas pun dapat tersenyum lega sambil membawa sekantung uang di tangannya ia pulang ke rumah. 

Barra terlihat masih tertawa sendiri karena membayangkan kisah unik itu. 

"Wallahu a'lam."

Bersambung.

Next chapter